Menggulung-gulungnya ombak melukiskan pasang surutnya kehidupan. Menepis menjauhi pantai ketika dia datang perlahan menuju imajinasi. Butiran pasir setiap saat dapat berubah menghantui pejalan kaki. Karamnya sampan tersebut ia perhatikan, hancur runtuh dan tak dapat dibenahi kembali. Partikel zat cair menghujani tumpukan ikan-ikan asin yang terjemur sore lalu. Ketika merendamnya dengan air garam, sehari-semalam menunggu rasa asin itu muncul supaya kucing garong tetangga sebelah tak bisa mencuri pandang. Wanita tegar mudah ditemui para turis domestik. Namun Keindahan alamlah yang menjadi inspirasi bagi penikmatnya. Air laut warna biru adalah penghujung masa setelah mereka berada di pantai bilik cakrawala.
Berebut merebahkan badan, Nandang berperang menguntai keberkahan. Ketika kerang batu melekat pada karang pinggiran ia punguti satu per satu. Jaring-jaring nelayan membentuk ruang sempit untuk ikan kecil dan besarnya. Tantangan menggelegar semakin terbuka lebar. Kisahnya seru bila diikuti. Puluhan kantong plastik berisikan ikan asin pesanan toko kelontong belum ia hantarkan. Menjelang matahari hilang menghadang kayuhan sepeda gerigi roda karatan berkeliling masuk ke luar gang.
“Ini pesanan Ikan Tengiri dan asinnya Bu. Uangnya diambil besok saja, utang Emak masih menumpuk.” “Iya saya usahakan, kerang kecil yang kau cari berapa harga per kilonya?” “Belum diperkirakan, pasokan masih dicari.” “Nanti kalau ada, kemari ya Nak!”
Jalan menuju rumah kian padat pengunjung. Pemasok Ikan Tuna berbaris diantrean panjang putaran ular tangga. Menggeliat kesana-kemari ujung demi ujung berdiri menanti. Tawar menawar riuh resah bermukim di bibir penjual maupun pembelinya. Bila malam tiba keramaian yang semula mendera tiba-tiba menyeruak hilang. “Mak! Pesanan penjual di toko kelontong tadi suadah ku antarkan. Sekarang ngapain lagi?” “Sudahlah, duduk dan nikmati teh hangat ini. Sekarang memang jam 8 malam waktumu untuk beristirahat.” “Aku lapar Mak! Ikan asin sambel tomat adakah?” “Habis laku terjual, lekas berbaringlah supaya cacing di perutmu tidak bergumam.” Maka pada malam itu, pasukan cacing kremi bersorak-sorak ramai. Gendang mereka mainkan soundtrack akhir bulan ia nyanyikan. Semakin lama bukan malah mereda. Perut Nandang terasa sangat lapar, ia menekan gentongnya menunggu esok hari datang menjelang.
Rentetan benda-benda hitam mulus dari kejauhan membuat silau pengelihatan. Penduduk setempat kaget, tak biasanya mobil-mobil kota berjejeran di depan rumah sesepuh desa. Katanya dari Universitas kota yang ingin mensurvei bagaimana kegiatan sehari-hari warga Kampung Nelayan. Dibukakan pintu olehnya, langkah kaki mulus menginjak kulit kerang yang berserakan di jalan. Aura wajahnya lesu dianya ingin bermuka dua, tak disangka rasa letih yang ia rasakan tak bisa disembunyikan lagi. Nandang memang dari tadi mengamati sosok wanita berjas kulit itu. Gerangan hanya terkagum-kagum mendengar suara serak-serak basahnya. Mulanya biasa saja namun pada akhirnya semakin mempesona.
Pagi-pagi buta Nandang telah berada di lapak kesehariannya. Dorongan hati seraya menjadi puncak mengapa dia ada di sana. Berkecimpung di air garam memang tak pantas bagi Nandang. Berbasah-basahan dengan air laut yang asin membuat kulitnya agak tipis. Ketika ia senyum gigi-gigi ompong membuat ia tampak tidak percaya diri. Mungkin sebelumnya pernah terbayang jika hal ini akan terjadi. Padahal sesegera mungkin ia rajin memeriksakan giginya, tapi sore hari ketika mengantar dagangan Mamaknya, ia terpental ke luar trotoar karena tersenggol badan truk. Angin bersiul-siul tangan kelapa melambai-lambai mengajak wisatawan meminum buah kebanggaannya. Kerikil kecil mengarah ke kepala Nandang.
“Dek, kok masih di sini kamu bolos sekolah ya!” tanya Nona Elisa. “Aku nggak sekolah Mbak. Emak nggak ada duit dan aku minder karena gigiku ompong.” ke luar dari arena air asin lautan. “Memang kamu dulu kelas berapa?” duduk menghampiri di sudut pantai. “Kelas 2 SMP, terus aku nekat ke luar karena Bapak sakit-sakitan beliau meninggalkanku dan Emak seorang diri.” “Maaf jika aku menyinggung perasaanmu, Mbak boleh bantuin kamu?” “Boleh Mbak silakan, jangan takut hitam yaa!”
Ketika Agata Belisa berada di rumah Nandang. “Pendapatan sehari-hari Emak berapa?” mendata secara terperinci. “Pendapatan Emak bulanan, kalau ikan semua pada kering bisa dapat uang 300 ribuan. Itu pun hutang Emak belum dibayar,” jelas Emak. “Dari tadi Mbak nanya mulu, namamu siapa Mbak?” Nandang mengulurkan tangannya. “Namaku Agata Belisa, tapi temen-temenku manggilnya Elisa. Kamu juga belum kenalan sama Mbak!” “Namaku Sutejo Nandang, jadi bukan Sutejo Dandang, hahaaa!” “Lanjut Mak, mengenai pendidikan Emak lulusan apa?” “Emak lahir tahun 60-an jadi nggak bisa baca dan tulis. Emak cuma bisa menghitung pake pikiran.”
Dari sekian banyak warga Kampung Nelayan, Elisa berhasil mengungkap kenyataan. Dapat disimpulkan bahwa mereka adalah penduduk yang kurang memperhatikan pentingnya pendidikan. Faktor ekonomilah yang menghambat segalanya. Pendidikan dapat mengangkat harkat dan martabat seseorang. Prinsip mereka orang berpendidikan belum tentu bisa kaya tapi kalau orang bisa kerja harta niaga hadir di depan mata.
Elisa memang dari tadi termenung memikirkan nasib Nandang. Ternyata masih banyak orang yang kurang beruntung dari Elisa. Dia menyia-nyiakan peluang kerja demi trend mode anak remaja masa kini. Menghambur-hamburkan uang join sana join sini makan di kafe berbintang 5. Elisa meresapi segala bentuk kehidupan di Kampung Nelayan. Elisa menelpon kalangan donatur yang ingin menyumbangkan sebagian uangnya untuk merubah status pendidikan mereka. Rencana awal Elisa ingin membangun sebuah sekolahan kecil bagi ibu-ibu tuna aksara. Jika program itu berhasil, memungkinkan mereka tidak bisa dibodohi lagi oleh orang lain.
Truk pengangkut pasir dan material lainnya sudah disiapkan oleh Pak Jarwo. Beliau adalah salah satu donatur karena kekayaannya yang melimpah. Usaha karetnya tak pernah rugi, semakin ia menuai semakin banyak ia memanen. Surat izin telah sampai di tangan sesepeuh desa, jadi tak ada salahnya mereka membangun sekolahan di tanah milik Kampung Nelayan. keberadaaan Elisa menjadi tombak acuan meraih masa depan, Kampung Nelayan butuh pembaharuan tak sekedar janji-janji buta belaka.
“Ndang, truk-truk pasir kok ada di depan rumah kita? Mau bangun apa ini?” tanya Emak di teras rumah menyulam jaring yang bolong. “Oh itu Mak, kata Mbak Elisa mau dibuat sekolahan kecil bagi tuna aksara. Emak kan buta huruf jadi bisa belajar sama pengajarnya nanti Mak!” “Emakmu ini kan sudah tua apa bisa baca huruf lagi? Ah tidak Ndang Mak malu.” “Malu kenapa Mak? Aku saja menyanggupi amanat Mbak Elisa untuk ikut ujian paket C. Terus setelah itu Mbak Elisa menyekolahkanku ke luar negeri supaya jadi orang pintar Mak!” “Sudah lupakan saja Emak tak menyetujuinya. Tanpa restu dari orangtua kau tak bisa pergi kemana-mana,” wajah Emak terkesan marah. “Emak egois, berlebihan! Pendidikan itu penting Mak! aku tak mau terus menerus dibodohi lagi Mak. Itu terserah Emak, jika Emak tak menyukainya. Aku nggak jadi sekolah,” Nandang menangis mengusap air mata di pipi lesungnya.
Emak Nandang memang belum tahu benar arti kata pendidikan. Bisa jadi Emak malu belajar karena sudah tua dan pikun ataupun yang lainnya. Garis besarnya Emak tak ingin ditinggalkan Nandang pergi, tetaplah saja di rumah jangan kemana. Ia mengasingkan keberadaannya ke pantai seperti bisanya. “Ada apa Dek? Kok merenung begitu,” Elisa tiba-tiba mengelus pundak Nandang dan menghampirinya. “Sama Emak nggak boleh sekolah Mbak. Katanya dia takut ditingal sendirian,” memelintir rambut kriwul yang terkuncir. “Tenang saja Dek. Biar aku yang mengatasinya. Mungkin Emakmu itu kurang wawasan sikap menghadapimu seperti itu.”
Nandang meletakkan kepalanya ke pundak Nona Elisa. Pancaran sinar Sunset sejenak meringankan pedasnya kehidupan yang dialami Nandang. Bulan jingga separuh bola menuaikan senyuman muka merona. Ikan lumba-lumba berakrobat mengiringi berlayarnya perahu putih besar. Teruslah tertawa bulan merana. Sendiri kau di sana hanya bintang mungil di malam senja yang slalu bercengkrama.
Para pekerja bangunan mengolah semen dan pasir menjadi adonan yang siap pakai. Arsitek serta Pak mandor mengamati seluruh kegiatan yang ada. Elisa dan Pak Jarwo bercakap-cakap di pinggir area bagunan. Elisa membicarakan masalah Nandang yang tidak bisa sekolah karena pengaruh orangtuanya. Pak Jarwo memaklumi setiap perkataan yang diucapkan Elisa. Katanya Pak Jarwo sendiri yang akan membujuk Emaknya Nandang supaya bisa mengikhlaskan anaknya bersekolah. Pak Jarwo memang bukan siapa-siapa bagi warga Kampung Nelayan. Namun rasa simpatilah yang selalu ia tanamkan sejak beberapa tahun ini karena kesuksesannya. Mereka berdua jalan kaki menuju tempat bermukimnya Nandang dan Emaknya.
“Eh Emak, lagi ngapain?” Elisa bertanya. “Ini Nak lagi benahin jaring. Ikan tongkol gemar memakannya.” “Emak, boleh ngomong empat mata?” Tanya Pak Umar. “Gerangan ini siapa ya? Apa Ayahnya Elisa?” “Bukan Mak, saya Jarwo. Donatur yang mendanai sekolah tuna aksara bagi warga Kampung Nelayan,” menyeret Emak ke dalam rumah sesaat sebelum itu Nandang menguntit keberadaan Pak Jarwo.
Pak Jarwo membujuk Emak Sulikhah supaya mengizinkan anaknya sekolah. Emak tetap ngotot tidak setuju walaupun dengan syarat apapun. Karena mereka berdua saling ngotot warga tiba-tiba memenuhi rumah mereka. Warga membela pendapat yang diungkapkan Pak Jarwo. “Sulikhah kau ini orang biasa, izinkan anakmu sekolah supaya keluargamu tidak jadi bahan hinaan orang,” saran ibu Nori. “Emak dengarkan, warga Kampung Nelayan mendukung Nandang untuk bersekolah. Apakah kau tetap ngotot untuk tidak menyekolahkannya? Itu terserah Emak. Keputusan ada di tanganmu Mak,” tutur Pak Jarwo. “Mak, apakah ku harus meminum air cucian bekas kakimu? Itu adalah satu-satunya cara agar kata restu ke luar dari bibir Emak.”
Emak Sulikhah mendadak tak bisa berkata-kata. Matanya berkaca-kaca ternyata tekad Nandang sudah bulat dan tak dapat dirobohkan lagi. “Karena Ibu aku hidup. Air susu yang mengalir dari tubuhmu menyehatkanku hingga beranjak dewasa. Aku akan bersimpuh di hadapanmu memohon kata restu itu muncul. Apapun aku akan melakukannya. Membasuh kakimu dan aku akan meminum airnya. Mencium kaki yang menghidupiku selama ini. Surga letaknya memang ada di kaki Ibu. Kata restu yang ke luar dari mulutmu adalah surga kebahagiaan bagiku. Emak. Aku minta restumu!” Nandang bersimpuh di hadapan Emaknya. “Emak sadar Nak, tidaklah kau meminum air kakiku. Cukup kau melanjutkan pendidikanmu. Aku sudah bahagia,” Emak berderai air mata.
Warga yang menyaksikan tak dapat membendung air mata mereka. Seperti ombak di senja hari yang bergulung-gulung berputar demi mendapatkan ketenangan diri. Menyongsong ketentraman yang sulit dicari.
Cerpen Karangan: Citra Wardha Facebook: Manacerpenmu.blogspot.com