Aku tak pernah membayangkan akan bisa kuliah di perguruan tinggi. Hal itu mengingat akan pekerjaan orangtuaku sebagai tukang kayu. Pekerjaan tukang kayu sekarang sudah tidak menjanjikan, karena kayu-kayu untuk kerangka atap rumah sekarang sudah banyak digantikan oleh baja. Lagi pula penghasilannya hanya cukup untuk makan, Sedangkan Ibuku hanya sibuk mengurus rumah tangga. Hal itu sempat membuatku patah semangat untuk mengenyam bangku perkuliahan. Tapi, Ayah jugalah yang membangkitkan semangatku untuk semua itu. Karena ia melihat kalau anaknya ini masih memerlukan pendidikan.
“Dino, sekarang kamu sudah tamat SMA nak, apa langkah kamu selanjutnya untuk kedepan?” tanya Ayah dengan serius sewaktu kami sekeluarga sedang berkumpul bersama. “entahlah Ayah, saya sendiri juga bingung. Jalan mana yang mesti saya tempuh” jawabku dengan nada yang putus asa. “apakah kamu berminat untuk kuliah?” “minat!! Tapi…” “kalau kamu minat akan Ayah usahakan” jawab Ayah dengan cepat menyambar jawabanku. “yang benar Ayah?” “ya, supaya kamu tidak mengikuti jejak Ayah” jawab Ayah dengan menyakinkan.
Karena mendengar hal itulah semangatku untuk kuliah menjadi berapi-api. Hingga aku bisa kuliah perguruan tinggi swasta di Lubuk Alung Sumatra Barat. Untuk menghemat biaya, aku lebih memilih untuk mengontrak di salah satu rumah di sekitar tempatku kuliah. Kebetulan, saat itu ada kontrakan rumah yang super murah hanya Rp. 500.000 per tahun. Dalam satu kamar itu dihuni oleh tiga orang temanku yang juga merupakan mahasiswa di perguruan tinggi yang sama.
Hari itu merupakan hari pertamaku kuliah di kampus tersebut. Dalam perjalanan ke kampus terselip tanya-tanya. Apakah aku sanggup bersaing dengan teman-temanku yang lain? Tapi pertanyaan itu lenyap seketika, mungkin karena langkah-langkah yang tak sabar mengenyam bangku perkuliahan. Sesampainya di ruang perkuliahan, aku disambut dengan jejeran bangku-bangku yang tersusun rapi dan teman-teman yang datang lebih duluan. Di pojok kiri paling belakang menjadi tujuan tempat duduk. Seiring pinggul terhenyak, masuk seorang lelaki tua kurus mengenakan kupiah dan kacamata.
“oh rupanya begini tampilan seorang dosen itu” pikirku dalam hati. Karena semenjak SMA aku membayangkan kalau dosen itu masuk ke ruangan mengenakan jas. Hari pertama kuliah tidak langsung masuk ke pembelajaran. Kegiatan hari pertama waktu itu hanya diisi dengan penyampaian materi-materi yang akan diajarkan dalam satu semester serta pengenalan diri masing-masing ke depan. Perkuliahan hari itu tak berlangsung lama. Paling lama satu jam kami sudah ke luar.
Untuk sampai ke kontrakan, aku memilih untuk berjalan kaki. Kebetulan saat itu ada juga sekelompok teman yang perempuan pulang bareng. Ku putuskan untuk bergabung dengannya. “hei!! Kita satu lokal tadi kan? Tanyaku. “iya, namanya siapa tadi?” Ia menjulurkan tangannya untuk bersalaman, tanpa pikir panjang langsung saja ku jabat tangan mereka satu persatu sambil ku sebutkan namaku. Di perjalanan kami berbicara banyak, mulai dari kampung mereka sampai ke masa-masa SMA mereka. Pembicaraan kami diiringi oleh hiruk pikuknya jalanan yang didominasi oleh mobil-mobil yang berlalu lalang.
Seminggu telah berlalu. Sebagian besar dosen ada yang telah masuk ke materi perkuliahan. Pertama awal pembelajaran kami sudah dihadiahi oleh dosen serentetan tugas. Untuk meringankan tugas-tugas dari dosen, kami membentuk kelompok belajar yang beranggota terdiri dari 7 orang. Setiap tugas-tugas yang diberikan oleh dosen, selalu kami kerjakan bersama.
Mendekati akhir semester. Kuliahku makin sibuk, tugas tambah banyak. Sebal, gerakku terbatas tanpa motor. Gemas, buku di perpustakaan di tempatku tak begitu lengkap. Hampir saja semangat kuliahku hilang waktu itu. Tapi, kata-kata Ayah masih terngiang di telinga. Ia mengatakan kalau kuliahku ini tidak boleh putus di tengah jalan. Kami dari kelompok belajar menyimpulkan apa-apa saja yang tidak kami pahami, dan kami bahas bersama dengan bahan yang dibekali dari internet dan ada juga dari buku seadanya di pustaka. Selain belajar berkelompok, aku juga belajar penuh di kontrakan, karena minggu depan kami semua UAS. Aku tak ingin mengecewakan Ayah dengan memperlihatkan nilai yang rendah padanya.
Seiring berjalannya waktu, hari UAS pun datang dengan begitu cepatnya. Ku curahkan semua isi otak yang telah ku isi selama ini. Dan Alhamdulillah, hasilnya cukup memuaskan. Nilai itu langsung ku bawa ke kampung untuk ku perlihatkan kepada kedua orangtua. Betapa senangnya Ayah melihat nilaiku. Ia merasa jerih payahnya selama ini untuk menguliahkanku tidak sia-sia. Berkali-kali aku dipeluknya. Nilai semester satuku itu menjadi kado termanis untuk ulang tahun pernikahan kedua orangtuaku.
Tiga setengah tahun berlalu. Semester demi semester ku lalui sekarang tibalah pada tugasku yang terakhir, yaitu menyusun sebuah skripsi demi memperoleh ijazah S1. Ku tumpahkan segenap kemampuan yang ku punya. Dan hasilnya cukup memuaskan pembimbing, walaupun skripsi itu sudah berulang-ulang kali disuruh oleh pembimbing untuk mengulangnya. Gambaran untuk wisuda sudah ada di depan mata. Itulah saat yang paling ku dambakan. Saat itu adalah saat ku mengganti jerih payah yang orangtuaku untuk menjadikan aku orang yang penuh dengan pendidikan.
Tepat pada hari saat ku wisuda, terlihat Ayah dan Ibu berjalan dengan ukiran senyuman yang terpancar di mukanya. Air matanya sempat menetes ketika melihat anaknya mengenakan pakaian wisuda dan toga yang menutupi kepala. Ku cium tangan kedua orangtuaku, sebagai tanda untuk menyambut kedatangannya.
Cerpen Karangan: Dino Nilko Pratama Facebook: Dino Nilko Pratama