Aku terlahir di dusun pegunungan yang jauh dari Kota. Hawa di sini begitu dingin, jika hari berganti malam rasa dingin itu seperti menusuk tulang kecilku. Aku memiliki seorang Adik laki–laki yang berumur lebih muda 3 tahun dariku. Sepeninggal orangtua kami, kami ikut dengan Paman dan Bibi yang bertahun–tahun tidak memiliki buah hati. Paman bekerja di kebun teh milik juragan Herman dan Bibi hanya pembantu rumahan. Gaji mereka tidak seberapa, yang terpenting kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Aku terdidik oleh Paman dengan cara yang keras. Jika kami bermalas–malasan, Paman tak segan untuk memukuli kami. Walaupun begitu, aku tahu Paman menginginkan kami menjadi orang yang sukses kelak.
Siang itu, cuaca tidak mendukung. Hujan deras disertai petir tak berhenti. Aku duduk terpaku di teras rumah. Beberapa anak kecil sebaya denganku memakai jaket melewati rumahku dengan payung di atasnya. Terbersit keinginan untuk memiliki jaket seperti yang dikenakan anak tersebut. Aku mencuri uang 75.000 rupiah milik Paman, dan berniat setelah hujan terang aku akan membelinya di pasar. “Itu apa kak?” Tanya Adikku setelah aku sampai di rumah menenteng tas plastik pembumgkus jaket yang ku beli. “Husst diam, ini namanya jaket. Lihat deh…” aku membuka tas plastik dan memakai jaket itu.
“Dari mana Kakak dapat uang untuk membeli jaket sebagus itu?” Tanya Adikku penasaran. “Bagas, Kakak mencuri uang Paman.” Jawabku terus terang sambil memandangi cermin untuk berkaca. “Apa? Paman kan galak, nanti Kakak dimarahin.” Adikku terduduk lesu sambil memandangiku yang masih mengenakan jaket. “Tapikan Kakak pengen jaket ini, kalau kamu tidak bilang Paman semuanya akan baik–baik saja!” Jawabku setengah membentak. “Baiklah kak, aku akan tutup mulut.” Ujar Adikku sembari menuntup menutup mulutnya pakai tangan.
Hari berubah menjadi Pagi. Paman memanggil aku dan Adikku menghadapnya di ruang tengah. Paman menyuruh kami berlutut menghadap tembok, dengan membawa ikat pinggang di tangannya. “Siapa yang mencuri uangku? Dera! Bagas! Jawab pertanyaan Paman!” Bentak Pamanku, membuat aku dan Adikku menangis tersedu. Tidak ada jawaban di antara kami, aku terlalu takut untuk menjawab jujur. “Baiklah kalau kalian tidak mau mengakui, kalian layak dipukul..” Paman mengangkat ikat pinggang itu, namun dicegah Adikku.
“Jangan pukuli kak Dera Paman! Aku mencuri uang itu untuk membelikan kak Dera jaket..” Aku terbelalak memandangi Adikku. Aku menggelengkan kepala tak percaya dia melindungiku. “Kurang ajar! Apa kamu mau kita kelaparan demi sebuah jaket itu!” Ikat pinggang itu menghantam punggung kecilnya bertubi–tubi. Paman sangat marah hingga ia mencambuki Adikku hampir 10 menit lamanya.
Aku berlutut di hadapan Paman hendak mencium kakinya. “Cukup Paman, jangan lakukan lagi! Bagas masih kecil, tak pantas merasakan sakit ini…” Pintaku meraung raung, aku melihat Adikku, Adikku tetap tegar. Bahkan, aku tak menemukan setetes air mata membasahi pipinya. “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, besok kalau udah besar mau jadi apa kamu? Pencopet hah? Paman mendidik kamu untuk menjadi penjabat bukan penjahat!”
Malamnya, aku dan Bibi memeluk Adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan goresan bekas cambukan, namun ia tidak bersedih. Aku tak hentinya menangis menatapnya dengan pilu, sungguh pengorbanan yang luar biasa. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya. “Kakak jangan menangis, semua sudah terjadi.” sudut–sudut bibirnya menyungging membentuk sebuah senyuman yang indah. Aku membenci diriku sendiri karena tidak berani mengakui bahwa aku yang salah bukan Bagas. Bertahun–tahun telah berlalu, namun insiden itu masih aku ingat ketika Adikku melindungi aku. Saat itu aku berumur 11 tahun dan Adikku berumur 8 tahun.
Adikku telah lulus di jenjang SMP dan akan meneruskan SMA di Desa sebelah. Pada saat yang sama aku diterima di Perguruan Tinggi Negeri di Kota. Paman duduk di teras rumah sambil menghisap rok*knya. Aku mendengar beliau menggerutu dengan Bibiku di sampingnya. “Kedua keponakan kita, Lulus dengan nilai yang terbaik..” Bibiku mengusap air matanya yang mengalir sambil menghela napas. “Bagaimana mungkin bu? kita dapat membiayai keduanya sekaligus?” Pamanku mendesah. “Kalau mungkin kita dapat membiayai, hanya salah satu dari mereka saja yang dapat meneruskan. Dera atau Bagas?” tambah Paman.
Saat itu juga, Adikku menghadap Pamanku. “Paman, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi. Sudah cukup aku membaca buku milik kak Dera.” Paman mengayunkan tangannya dan menampar wajah Adikku. “Mengapa kamu memiliki jiwa yang pecundang? Bahkan jika Paman terpaksa harus mengemis, Paman akan lakukan, untuk menjadikan kalian sukses. Pendidikan itu sangat penting!” Pamanku berlaku sambil menginjak putung rok*knya. Aku memegang wajah Adikku yang membiru, bekas tamparan Paman. “Kamu harus meneruskan sekolah. Kamu harus jadi Arsitek, itu kan cita–citamu.” Adikku tersenyum memandangiku.
Keesokan harinya, Adikku tak ada di rumah. Ia kabur dengan beberapa pakaian. Aku menemukan secarik kertas di bawah bantalku. “Kak Dera. Kakak tersayang. Kak, aku anak laki–laki. Aku akan bekerja mencari uang demi Kakak. Kakak harus nerusin ke Universitas itu. Kesempatan tidak datang 2 kali. Jangan cari aku, aku baik–baik saja. Kak. Adikmu.” Di kamar ini aku menangis memeluk secarik kertas dari Adikku. Aku begitu menyayanginya, sangat menyayanginya. Dengan uang yang Paman punya, dan kerja keras Adikku mengangkut semen di konstruksi pembangunan suatu gedung. Akhirnya aku telah mencapai semester ketujuh. Yang sebentar lagi aku akan diwisuda.
Suatu hari, aku tiduran di kostanku. Meemandangi foto aku dan Adikku saat kami masih kecil. Tiba–tiba, Reina teman kostanku memanggilku karena ada seseorang mencariku. Aku berjalan ke luar, memandangi punggung seseorang yang mencariku. Pakaiannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Dia membalik, aku terperangah karena orang tersebut adalah Adikku, Bagas. “Bagas?” Aku berlari menangis memeluknya. “Iya Kak?” Tangisanku tersedu mendengar suaranya. Yang lama tak terdengar di telinga ini. “Kenapa kamu tidak bilang pada temanku kalau kamu adalah Adikku?” Tanyaku menggerutu. Dia tersenyum. “Lihatlah penampilan aku, apa Kakak nggak malu jika mereka mengejek kalau aku adalah Adikmu?” Aku terenyuh, ku usap pakaian Adikku yang kotor itu. “Kamu adalah Adikku, aku nggak mau menjadi Kakak yang durhaka. Biarlah mereka berkata apa, kau tetap Adikku, Bagas…” jawabku mengusap air mata yang menetes.
Adikku mengeluarkan sebuah tas plastik dari ranselnya. Memberikanku tas tersebut. “Apa ini?” tanyaku penasaran. “Baju, yang nggak mahal tapi cocok untuk Kakak kenakan untuk kuliah.” “Makasih Bagas.” Setelah itu ia pamit untuk pulang ke rumah. Ku lihat punggungnya dari kejauhan. Aku berlari mengejar Adikku. Menariknya, dan menangis di pelukannya.
Setelah aku di wisuda, aku dilamar seorang pria yang mapan. Umurnya 2 tahun lebih tua dariku. Hari ini, kali pertamanya aku mengajaknya ke rumah. Kaca jendela yang terlah pecah diganti dengan yang baru, semua perkakas ditata dengan rapi. Setelah calonku pulang, aku menanyakan pada Bibi. “Bibi, bibi nggak perlu repot-repot membersihkan rumah. Biarkan Dera yang membersihkan.” “Dera, Adikmulah yang mebereskan rumah ini. Dia mengambil cuti karena ingin seharian merenovasi rumah ini.” jelasnya membuatku gugup. “Tangannya terluka ketika mengganti jendela.” tambah bibiku lagi.
Aku masuk ke kamar Adikku. Tubuhnya kurus tak terawat. Serasa beratus jarum menusukku. Ku kompres tangan Adikku dengan es batu untuk mengurangi rasa sakitnya. “Sakitkah?” tanyaku. “Tidak, Kakak tahu saat aku di kontruksi, kakiku kejatuhan semen dan batu–batu. Rasanya tidak sakit.” Aku menahan air mata untuk tidak menangis. “Cukuplah kau berkorban demi aku.” aku berlalu meninggalkannya.
Ketika aku menikah, aku tinggal di Kota bersama suamiku. Aku terpaksa meninggalkan Paman, Bibi dan Bagas. Sesekali ku meminta mereka berkunjung ke rumah kami untuk melepas rindu. Suamiku bekerja menjadi direktur di pabriknya, Dia meminta Adikku menjadi manager, namun Adikku menolak karena ia tidak bisa melakukan apa–apa, karena ia memang tidak berpendidikan. Aku terus memaksa namun ia tetap menolak dengan berbagai alasan. Suatu hari, ada kecelakaan kerja di lokasi konstruksi dimana Adikku bekerja. Yang salah satu korbannya adalah Adikku sendiri. Aku melihat gips putih membungkus kaki Adikku.
“Seharusnya kamu menerima tawaran suamiku, menjadi manager tidaklah melakukan hal yang berat? Kalau saja kamu menerima, kamu nggak akan seperti ini.” gerutuku. “Kakak iparku baru saja menjadi direktur, kalau saja aku menjadi manager yang hampir tidak berpendidikan, gosip apa yang akan terdengar di penjuru pabrik?” Dengan tampang yang serius, Adikku tetap membela. “Kamu tidak berpendidikan karena aku!” bentakku, suamiku yang berada di sampingku menenangkan aku. “Jangan ungkit masa lalu, aku melakukannya dengan ikhlas tanpa pamrih.” Aku menangis, mata suamiku berkaca–kaca.
Ketika Adikku berumur 30, ia menikah dengan gadis desa. Saat itu aku sudah memiliki seorang buah hati yang lucu, Keyna. Acara pernikahan Adikku tidak semeriah pernikahanku, namun dia terlihat bahagia menyalami penduduk dusun. Pembawa acara menanyakan kepada Adikku. “Siapa orang paling terpenting di hidupmu?” tanya pembawa acara. “Kakakku, kak Dera..” Jawab Adikku singkat. Ia menceritakan kisah waktu aku kita masih duduk di bangku SD dimana kisahnya sudah aku lupakan. “Waktu itu, saat hujan turun aku lupa membawa mantel. Padahal jarak rumah kami sangat jauh dari rumah kami. Kakakku dengan senang hati memberikan mantelnya. Aku nggak bisa berbuat apa. Setelah pulang ke rumah. Tubuh Kakakku basah kuyup. Badannya demam tinggi hingga berhari–hari. Setelah kejadian itu, aku berjanji dalam hidupku untuk selalu menjaga Kakak..”
Tepuk tangan tamu membanjiri ruangan itu, aku menangis tersedu memandangi Adikku. “Dan yang paling berharga adalah Adikku, dia rela berkorban demi aku. Sesungguhnya ketika aku mencuri uang Paman, Adikkulah yang mengaku bahwa dia yang mencuri. Pamanku mengajarinya untuk menjadi penjabat bukan penjahat. Paman mencambuk punggung Adikku agar tidak mengulanginya lagi. Hingga punggung Adikku penuh dengan luka. Aku sangat menyayangimu, Adikku…” seketika itu aku berlari memeluk Adikku.
Cerpen Karangan: Cristanova Leoni