– Cahaya negeri ini adalah kita –
“Peringatan HUT RI yang ke-70 tahun ini kenapa begitu sepi? Tidak meriah seperti tahun lalu.” “Pada sibuk mungkin.” “Sibuk? Tapi setiap tanggal 17 Agustus di kalender pasti bewarna merah, itu pertanda libur. Apa itu yang dinamakan sibuk sampai melupakan HUT negara sendiri?” Ku lemparkan bola volly kepada temanku yang sedari tadi mengomel soal sepinya perayaan HUT Republik Indonesia yang ke-70 tahun, panggil saja dia Rendra.
“Jangan mengeluh begitu kawan,” kataku yang mencoba menengahi omelan Rendra, jika tidak distop pasti dia akan terus mengomel. “Gue jadi ingat masa kecil, setiap tanggal 17an pasti akan ada lomba, seperti lomba makan kerupuk, lomba tangkap belut, sendok kelereng, lomba balap karung, panjat pinang. Ah gue benar-benar merindukan momen itu,” kata Rendra. Aku tersenyum saat mendengar ucapan Rendra, bukan hanya Rendra yang merindukan momen-momen itu, aku juga merindukannya, bahkan sangat merindukan. “Sudahlah, jangan ngomel mulu. Mending kita ke kelas sekarang, aku baru ingat jika bentar lagi ada ulangan sejarah.” Rendra menatapku tidak percaya, “Serius? Mati gue belum belajar.”
Namaku Yudha, Syudha Bahroni lebih tepatnya. Aku adalah murid kelas 12 di salah satu SMA favorit di kotaku. “Taruh tas dan buku kalian di depan, kita mulai ujian. Jika Bapak menemukan contekan atau buku yang kalian sembunyikan, Bapak tidak segan-segan untuk memberi nilai 0 di raport kalian.”
Mendengar perkataan Pak Brewok barusan membuat seisi kelas yang awalnya ramai karena sibuk mencari teman contekan mendadak hening. Kami anak XII-1 IPS cukup takut dengan Pak Brewok, karena kami memiliki masa lalu yang cukup kelam dengan beliau. Salah satu temanku dulu pernah ketahuan menyontek ketika ujian Sejarah, yaitu mata pelajaran yang diajarkan oleh Pak Brewok, dan sesuai janji.
Beliau memberikan nilai 0 untuk pelajaran Sejarah di raport, tapi bukan 1 orang yang mendapatkan nilai 0, tapi seluruh murid kelas XII-1 IPS mendapat nilai 0. Karena kesalahan 1 orang, semua orang terkena imbasnya. Peribahasa yang cocok adalah, seekor kerbau berkubang, semua kena lulutnya. Seseorang yang berbuat salah, semua menanggung akibatnya. Tenggorokan terasa kering seketika saat melihat kertas bertulisan ‘Ujian Sejarah’ yang baru saja dibagikan oleh pak Brewok, soal itu sudah berada di atas meja dan aku sama sekali belum menyentuh selain melihatnya.
“Waktu mengerjakan 45 menit,” seru Pak Brewok yang membuat aku dan seisi kelas tercengang, dengan tangkas ku ambil pensil dan membuka kertas-kertas berisi soal-soal. Soal-soal Sejarah yang sama sekali tidak ku pahami dan 1 soal harus dikerjakan dalam waktu kurang lebih 50 detik? “Mati aku, soal macam apa ini?” tanyaku sembari menggaruk rambut yang tidak gatal, pulang-pulang aku bisa gila ini. Mataku menyapu ke arah sekitar, saat Pak Brewok sedang tidak memperhatikan.
Teman-temanku memanfaatkan kesempatan itu untuk menyontek, meskipun buku LKS, buku tulis, atau buku paket berada di depan lebih tepatnya di meja Pak Brewok tapi mereka sebelumnya telah membuatnya contekan atau replekan yang berisi materi Sejarah di kertas lain lalu menyalinnya di kertas ujian, ada juga yang dengan melakukan bisik-bisik tetangga untuk mencari jawaban saat pak Brewok lengah.
Cara kuno memang, tapi terbukti masih banyak yang menggunakan cara itu hanya demi sebuah nilai bagus di raport. Apa gunanya nilai bagus jika mendapatkannya dengan cara yang tidak halal atau dengan kata lain curang? Aku memang tidak bisa Sejarah, tapi aku berusaha mengerjakan semua ini jujur walau dengan resiko nilai jelek, tapi aku tidak peduli, yang terpenting aku sudah berusaha dan yakin dengan kemampuanku.
“Ya Allah, semoga nilai ulangan ini bagus amin…”
—
Selama 45 menit aku mengerjakan ulangan, dan selama 45 menit aku hanya bisa bertawakal kepada Allah setelah mati-matian mengerjakan ulangan Sejarah yang sama sekali tidak ku pahami. Hari ini ku putuskan untuk pulang lebih cepat, tidak berminat ke manapun untuk hari ini. Jarak antara rumahku dan sekolah tidak sebegitu jauh, mungkin sekitar 15 menit jika ditempuh dengan jalan kaki. “Kak Yudha!!”
Langkahku terhenti, aku menoleh ke asal sumber suara yang memanggilku, oh Kinal. Adik kelas yang kebetulan 1 ekstrakulikuler denganku, Teater. “Kinal?” tanyaku heran, wajar jika aku heran. Kinal dan aku tidak pernah mengobrol jika di luar jam ekstra. “Kak Yudha boleh ngobrol bentar?” tanya gadis berpotongan rambut bob itu. “Apa Kinal? Mau ngomong soal teater?” “Bukan, cuma mau nanya gini. Kakak sudah punya pacar?” Dahiku mengernyit, “kenapa kamu bertanya begitu? Kakak belum punya pacar.” “Kakak serius?! Kakak mau gak jadi pacar Kinal?”
Dahiku semakin mengernyit, menatap keheranan ke arah Kinal namun dengan cepat aku menetralkan mimikku, “gini loh Kinal, Kakak lagi gak minat pacaran atau gak mau punya pacar dulu. Kakak udah kelas 3, mau fokus ke ujian yang sudah di depan mata. Lagian ya belajar yang bener dulu terus kejar cita-citamu, setelah cita-citamu tercapai dan kamu jadi orang sukses kamu bebas mau pacaran atau langsung menikah. Maaf ya Kinal, Kakak balik dulu. Inget masih kecil gak boleh pacaran.” Ku lanjutkan langkahku yang sempat tertunda, meninggalkan Kinal seorang diri.
Sebenarnya aku juga penasaran dengan hubungan yang dinamakan ‘pacaran’, tapi jika mengingat kata pacaran pasti aku mengingat pesan dari ustad di TPA dulu aku pernah mengaji, ‘pacaran itu tidak ada gunanya, bukannya tambah bener malah tambah ngerusak iman kalian. Jadi ya mending belajar yang bener dulu, soal jodoh pikirin setelah kalian jadi orang sukses. Allah pasti akan ngasih jodoh terbaik bagi hambanya yang melaksanakan perintahnya dengan baik.’ Jadi karena pesan itu aku menahan rasa penasaranku untuk pacaran.
“Assalammualaikum.” “Waalaikumsalam, baru pulang? Gimana sekolahmu Yudha?” Ku cium tangan Bunda lalu menunjukkan senyum lebar, “pasti ada ulangan terus kamu gak belajar ya kan?” tanya Bunda dan aku mengangguk. “Astaga Yudha, makanya kamu itu jangan main volly terus.” “Udah hobi bun, susah dihilangin lagi. Yudha ke kamar dulu ya.”
Ku langkahkan kakiku menaiki tangga untuk berjalan menuju kamar yang terletak di dekat ruang keluarga, ku buka pintu yang terbuat dari kayu jati itu. Ini kamarku, tidak berbeda dari kamar laki-laki pada umumnya, berantakan dan terkesan kumuh, aku malas bersih-bersih. Bersih-bersih juga kalau dalam keadaan benar-benar darurat. “Negaraku, Indonesia sudah berumur 70 tahun. Itu berarti sudah 70 tahun lamanya mimpi para pahlawan yang telah gugur di medan perang terwujud.”
Aku memang tidak bisa sejarah, tapi aku tertarik dengan apa itu yang dinamakan Sejarah. Dinding kamarku terpajang foto-foto para pahlawan bangsa seperti Ir. Soekarno, Bung Tomo, Tengku Umar, Jenderal Sudirman. Aku ingin mengingat tokoh-tokoh yang ikut berperang untuk membuat negeri ini merdeka. Di sudut lain ada rak yang berisi buku-buku sejarah atau biografi tokoh-tokoh dunia, meskipun beberapa buku berserakan di lantai karena ku baca sekilas, malas menata lagi ke dalam rak.
Di kamarku juga terpasang bendera merah putih, bendera kebanggaan bangsa Indonesia. Kata Adikku yang masih kelas 2 SMP, kamarku ini lebih cocok menjadi perpustakaan atau museum daripada sebuah kamar. Apa salah jika aku memiliki rasa nasionalisme yang tinggi? Ku dudukkan tubuhku di atas kasur, mencari remote lalu menyalakan tv. Ku tekan tombol remote asal, mencari channel yang bagus dan pilihanku jatuh di acara berita.
“Korupsi lagi? Tidak adakah kasus yang menarik untuk diangkat selain korupsi?” tanyaku sembari menekan tombol off.
Tanganku menggeledah ke dalam tas, kutemukan 1 buku dan 1 pulpen, tanganku menyobek kertas lalu menuliskan sesuatu di kertas itu. Butuh waktu 10 menit untuk menulis dan membaca ulang untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan. Ku ambil sebuah double tipe, memotongnya kecil, menempelkannya ke kertas lalu ku tempelkan ke dinding bersama beberapa tulisanku sebelumnya. Tujuan aku melakukan ini cukup sederhana, aku menuangkan kata-kata yang ku utarakan ke tulisan setelah itu ku tempelkan agar aku selalu ingat. Tidak serta merta menulis lalu dibuang, it’s not me. Menulis membuat hidupmu lebih bewarna teman.
“Yudha, makan siang dulu!!” “Iya bun.”
Jika Bunda telah memanggil aku tidak bisa menolaknya, tanpa banyak pikir aku berjalan ke luar kamar. Negeri ini telah 70 tahun merdeka, selama 70 tahun pula para rakyat Indonesia merasakan kemerdekaan itu. Mereka berpikir bahwa mereka telah merdeka sepenuhnya, tapi mereka salah. Bangsa ini masih terjajah, tapi bukan pihak luar yang menjajah kita, tapi dari pihak kita sendiri. Jika korupsi di pihak pemerintahan masih ada dan kemiskinan di negara ini belum terhapuskan, maka negara ini belum bisa dikatakan merdeka. Miris memang, tapi itu semua dapat berubah.
Asalkan para penerus bangsa ini memiliki rasa nasionalisme dan tidak mementingkan kesenangan yang hanya sesaat dan sama sekali tidak memiliki manfaat yang baik untuk masa depan. Seperti menyontek atau pacaran, memang 2 hal itu menyenangkan. Namun akan membawa dampak negatif untuk kalian atau untuk negeri ini. Kalian tidak mau itu terjadi? Kalian tidak mau usaha para pahlawan selama ini musnah seketika hanya karena para penerus bangsanya yang tidak memilki rasa nasionalisme atau cinta tanah air?
“Ingatlah kawan, kita adalah para pemuda-pemudi bangsa Indonesia. Kita adalah cahaya sebenarnya Indonesia. Jangan redupkan cahaya ini karena itu sama saja kita meredupkan mimpi para pahlawan yang telah berusaha untuk menyalakan cahaya ini demi bangsa Indonesia yang merdeka.” Syudha Bahroni.
Tamat
Cerpen Karangan: Ayunda Hadi S