Langit senja begitu indah, berwarna kemerah-merahan dengan ditemani kicaun burung yang beterbangan di atas sana untuk pulang ke sarang mereka, serta gemericik air sungai yang menyejukkan hati, semua itu membuat senja ini begitu berkesan suara adzan pun berkumandang dengan lantang dan indahnya memanggil para hamba untuk menghadap pada-Nya setelah seharian ini sibuk bekerja, tak terkecuali aku, aku pun terus berjalan menyusuri jalan setapak tersebut.
Untuk berkunjung ke rumah-Nya dan melaksanakan kewajiban sebagai hamba yang taat pada perintah-Nya. Ku percepat jalanku, karena suara iqamah dari Masjid di seberang kali yang mengagetkanku dari lamunan panjangku ya tanpa ku sadari dari tadi aku hanya terdiam dan terpaku karena terpukau melihat lukisan indah dari tangan sang Ilahi. Setelah mengambil air wudu, aku bergegas masuk dan menyesuaikan imam.
“Le, tolong ke sini, simbok mau bicara sama kamu.” panggil simbok dari teras. “Ya. Ada apa Mbok?” Simbok pun menggeser posisi duduknya, dan menyuruhku duduk di samping beliau.” Sini, duduk di samping simbok. “Ada apa Mbok, kok sepertinya serius sekali?” Tanyaku penasaran. “Ini loh, tadi siang kan saat simbok pulang dari pasar tidak sengaja simbok melihat promosi tentang pendaftaran dan ujian untuk masuk sekolah untuk orang seperti kita ini le, Simbok ingin kamu ikut siapa tahu kamu diterima dan dapat sekolah lagi.” Jelas Simbok panjang lebar. “Oh, begitu ya Mbok tapi apa Ardi dapat diterima ikut ujian seperti itu.”
“Ya, coba saja le, kamu itu kan sebenarnya juga pintar, hanya karena usaha milik Bapak kamu bangkrut, kita jadi melarat seperti sekarang ini, mungkin kalau usaha Bapakmu dulu tidak bangkrut pasti sekarang kamu sudah sarjana le, dan gara-gara itu juga Bapakmu tidak kuat dan terkena serangan jantung dan akhirnya meninggal..” Jelas simbok dengan suara tuanya. “Sudahlah Mbok, yang dulu tidak usah diungkit-ungkit lagi.” “Ya, sudahlah tapi kamu mau kan menerima tawaran simbok tadi?” “O, soal itu ya Mbok, tapi sepertinya aku tidak yakin dengan diriku sendiri” “Ya sudahlah, kalau kamu maunya begitu, Simbok juga tidak mau memaksa, Simbok juga sudah tua hanya menunggu panggilan-Nya, simbok hanya ingin anak simbok berhasil.” Kata Simbok pasrah
Simbok pun masuk ke dalam, dan meninggalkanku di luar seorang diri, sepertinya simbok kecewa dengan jawabanku tadi. Aku masih duduk termangku sambil menatap rembulan dan taburan bintang di atas sana, sambil merenungi kata-kata simbok tadi. Tapi kenapa aku begitu sulit padahal benar kata simbok tadi, itu adalah kesempatan yang bagus buatku, tapi bagaimana dengan simbok? Kalau aku kuliah nanti simbok harus bekerja dan berjualan seorang diri karena tidak ada yang membantu, aku tidak tega melihatnya.
Wanita setua simbok masih harus bekerja, terkadang aku pun merasa iba dan kasihan saat di pasar sering aku jumpai ibu-ibu yang sudah sangat tua renta masih harus bekerja, untuk berjalan saja susah apalagi bekerja. Kadang aku juga bertanya kepada mereka di mana anak-anak mereka sehingga tega membiarkan orangtua mereka bekerja dan kebanyakan dari mereka menjawab kalau mereka tidak mempunyai anak, aku pun terkejut mendengar jawaban mereka itu. Apa saking bejatnya kelakuan anak-anak mereka itu sehingga orangtua mereka sendiri pun tidak mau mengakui anak mereka sendiri.
Tak ku sadari ternyata hari sudah sangat larut jam pun sudah menunjukkan pukul 11 malam, orang-orang pasti sudah terlelap dan jalan-jalan pun sudah sepi sudah tidak ada kendaraan ataupun orang-orang yang berlalu-lalang. Dan teryata tanpa ku sadari dari tadi Simbok menungguku masuk, dan berdiri di belakang pintu. “Simbok, aku kira simbok sudah tidur?”
“Belum le, simbok dari tadi nenunggu kamu masuk, ya sudahlah le, kalau kamu tidak mau mengikuti ujian itu tidak apa-apa kok. Ya sudah ayo masuk dan tidur kan besok pagi kita harus masih bangun pagi-pagi karena pekerjaan kita masih banyak.” Kata simbok sambil mengandeng tanganku ke masuk ke dalam dan ku lihat wajah simbok pasrah dan terlihat kecewa dengan keputusanku.
Embun pagi masih menetes, kabut tebal pun masih menyelimuti alam yang juga masih tertidur juga, terdengar kokok ayam di mana-mana. Matahari masih malu-malu menampakkan diri seutuhnya. Tapi tidak dengan aku, dan Simbok. Kami berdua harus bangun pagi-pagi sekali di saat semua orang masih asyik dengan mimpi indah mereka. Setiap pagi aku harus selalu memberi pakan ayam, harta satu-satunya selain sepeda tua yang sering aku pakai untuk berjualan di pasar dan sertifikat tanah serta ijazah SMA-ku. Sedangkan Simbok harus bersiap-siap membuat kue-kue tradisional seperti lemper, getuk, klepon dan masih banyak lagi yang akan aku jajakkan nanti siang di pasar.
“Le kamu sudah selesai memberi pakan ayamnya, kalau sudah selesai tolong timbakan air untuk menanak nasi ketan ini” Teriak Simbok dari dapur. “Iya, sebentar mbok. Ada apa mbok?” Tanyaku lagi. “kamu sudah selesai belum memberi pakan ayamnya? kalau sudah selesai tolong timbakan air di sumur.” “Oh, sudah selesai mbok, baiklah Mbok.” Kataku tanpa membantah sedikit pun.
Aku masih sibuk melayani para pembeli yang semakin hari semakin banyak saja. Belum sampai 1 jam jualanku sudah ludes tanpa sisa terjual semua. Aku pun menghitung hasil jualanku hari ini, alhamdulillah terima kasih ya Allah. Setelah membereskan semuanya aku pun pulang di tengah jalan saat aku sedang bersepeda ada poster yang menarik perhatianku ku sempatkan untuk melihat dan membaca poster tersebut.
“daftar sekarang juga. Mau kuliah tapi tidak punya biaya, ikutilah pendaftaran ujian gratis untuk masuk perguruan tinggi favorit kamu yang bertempat di ruang audiotorium universitas gajah mada jam 08:00-15:00 syarat cukup membawa fotokopi ijazah SMA/sederajat. Buruan daftar sekarang juga pendaftaran paling lambat tanggal 3 september.”
Ku baca poster itu berulang-ulang. Kelihatannya menarik. Apa ini ya yang dikatakan Simbok beberapa hari yang lalu. Apa aku ikut saja ya pendaftaran ini, ku tanya hati kecilku. “Ada apa anak muda, kamu berminat dengan pendaftaran yang ada di poster itu ya?” Tiba-tiba ada bapak-bapak berseragam rapi membawa tas besar berdiri di belakangku. “Eh… Bapak siapa ya?” tanyaku keheranan. “Saya Pak Widodo saya dosen di universitas gajah mada dan sayalah yang membuat poster yang kau baca itu. Sepertinya kamu berminat dengan tawaran yang ada di poster itu, kalau kamu berminat saya bisa membantu untuk mengurus semuanya asal kamu bawa persyaratannya dan kita bisa bertemu di tempat ini lagi besok di jam yang sama.”
“Oh, ya sebelumnya siapa namamu?” “Saya Ardi…” jawabku singkat. “Nak Ardi ini kesempatan yang bagus buat mu jangan sia-siakan,” Nasihat bapak tadi sebelum pergi meninggalkanku.
Sesampainya di rumah seperti biasa-biasa setelah pulang dari pasar aku harus masih membantu Simbok di sawah. “Mbok, Ardi pergi dulu ya Mbok, Assalamualaukum,” Pamitku. “Waalaikumsalam. Mau ke mana kamu itu to le,” “Ardi mau ketemu temen Mbok” Aku terpaksa berbohong karena ingin memberi kejutan pada Simbok. “Ya… sudah hati-hati ya le,”
“Eh… rupanya kamu berminat ya menerima tawaran saya kemarin?” Tanya Bapak yang aku temui kemarin siang. “Iya, pak saya berminat… saya ingin membuat Ibu saya bangga dengan saya dan saya ingin merubah hudup saya menjadi lebih baik” Kataku panjang lebar. “Wah… rupanya kau itu anak yang berbakti kepada orangtua, kalau soal itu saya bisa urus semua itu, pokoknya kamu tenang saja, kamu bawa persyaratannya kan?” Tanya bapak itu lagi. “Bawa… ini pak. Oh, ya pak kapan saya bisa ikut ujiannya?” “Secepatnya, kalau bisa hari ini kita bisa hari ini, kamu tidak jualan kan hari ini?” “Kebetulan hari ini saya tidak berjualan”
Setelah mendaftar pada panitia aku langsung masuk ke ruangan untuk mengikuti ujian. Soal demi soal sudah aku kerjakan ada soal yang mudah tapu juga ada soal yang sulit dan sekarang tibalah di saat penentuan siapa saja yang terpilih untuk dapat kuliah nanti. Dan di antara nama-nama tersebut tersebutlah namaku. “Ardiansyah Nur Wachid” Aku terpilih, wow aku tak percaya, setelah itu aku pun pulang dengan wajah yang sangat bahagia, tapi begitu sampai di rumah aku terkejut kenapa di rumahku banyak sekali orang dan kenapa ada bendera kuning, apa jangan-jangan oh, tidak Simbok.
Simbok aku langsung meninggalkan sepedaku begitu saja, “Nak Ardi kuatkan hatimu ya Nak,” kata salah seorang tetanggaku.
Tak kuhiraukan omongan ibu tadi dan begitu aku masuk aku melihat tubuh seorang wanita tua yang sudah terbujur kaku tak bernyawa, “Simbok” ya wanita itu adalah Simbok. Simbok telah meninggalkanku. Kenapa, kenapa Tuhan secepat ini kau memanggil Simbok? Simbok belum sempat melihat surat yang aku berikan. Aku terus menangis dan menangis. Kini aku berada di atas pembaringan terakhir Simbok, “Simbok maafkan aku. Ya Allah tempatkanlah Simbok di antara kekasih-kekasih-Mu dan di antara orang orang mukmin lainnya,”
Hari ini adalah hari pertama aku masuk kuliah, walaupun kesedihanku tentang kepergian Simbok belum juga reda. Aku harus tetap semangat dan tidak boleh berlarut sedih terlalu lama. Setelah sehari, 2 hari, 3 hari, 1minggu, 2 Minggu, 1 bulan, 2 bulan, 1 tahun, 2 tahun. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat dan hari ini adalah wisuda S2-ku. Dengan bangga aku menuju ke depan dan menerima penghargaan sebagai mahasiswa dengan nilai ipk terbaik yaitu 38,25. Sudah lama aku tidak pergi ke kampung untuk ziarah ke makam simbok.
“Simbok, lihatlah. Mbok aku bisa mewujudkan impian Simbok aku sekarang sudah berhasil sekarang, mbok, dan aku berencana meneruskan S3 di jerman mbok.”
24 Agustus 1988, akhirnya aku bisa mewujudkan impianku dan inilah aku yang sekarang dengan rentetan title yang begitu panjang Prof. Ir. Dr. Ardiansyah Nur Wachid aku yang dulunya hanyalah seorang pemuda kampung yang pekerjaannya hanya menjual getuk di pasar kini adalah salah seorang dosen terkenal di salah satu perguruan tinggi di jerman.
Cerpen Karangan: M.Ari Fatkur Rahmad Blog: fatkurari.blogspot.com