Aku melihat tempat belajar anak-anak usia dini di Kampung Cileuksa Desa Bandung sangatlah prihatin. Anak-anak belajar di kantor balai desa secara lesehan. Tidak mempunyai meja dan kursi. Mereka melaksanakan kegiatan belajar mengajar senin sampai jumat. Tenaga pengajarnya diperkirakan sudah cukup umur, sekitar 59 tahun. Bu Eni namanya. Meskipun begitu, Bu Eni masih tetap sehat dan kuat untuk melaksanakan tugasnya demi mencerdaskan anak bangsa.
Bu Eni sering mengeluh kepadaku, lantaran anak-anak belajar kesulitan tidak memiliki meja dan kursi. Aku selaku penggerak kegiatan belajar mengajar di sini tidak bisa berbuat apa-apa. Karena aku sendiri memang tidak memiliki kekayaan yang cukup untuk menyumbang kegiatan belajar mereka. “Saya butuh meja dan kursi Pak,” begitu ungkapan hati Bu Eni yang selalu terngiang di telingaku.
Bu Eni satu-satunya kader Posyandu di Desa Bandung, yang cukup aktif dan cekatan dalam menjalankan tugas di lembaga yang diberikan nama RA Ad-Dzikro Bandung ini. Sebelumnya dia kader yang dipercaya juga di dalam mengurus administrasi Desa Bandung. Ya, itu tadi, beliau sangat rapi kalau bekerja membuat laporan. Makanya, tenaga selalu dipake oleh Wahyu, keponakannya yang juga selaku carik untuk mendampingi ayahnya Wahyu menjadi Kepala Desa Bandung.
“Nanti kalau dapat bantuan Bu.” Hanya itu yang bisa aku sampaikan ke Bu Eni untuk menenangkan perasaannya yang sangat membutuhkan meja dan kursi untuk anak-anak.
Sejak itu, aku selalu teringat kata-kata Bu Eni soal meja dan kursi yang dibutuhkannya. Aku berpikir, kalau usahaku dalam percetakan media ini ada keuntungannya akan aku sisihkan untuk membeli meja dan kursi. Tapi, sayangnya usahaku belum beranjak pasti keberuntungannya. Seringkali uang tagihan di beberapa instansi mandeg karena tidak bisa dicairkan secepatnya. Itu pun kalau dibayarkan cukup dicicil saja. Ini yang menjadi masalahnya bagi aku tidak dapat memenuhi harapan Bu Eni untuk membeli meja dan kursi.
Suatu ketika, hal itu aku sampaikan juga dengan Wahyu, tidak lain selaku Kepala Sekolahnya di situ. Bahwa aku katakan mereka anak-anak asuhnya membutuhkan tempat untuk belajar yang nyaman. “Kita harus membenahi pendidikan anak usia dini ini. Tempatnya dan sarana belajarnya. Kita juga butuh meja dan kursi untuk kebutuhan proses belajar mereka,” Permintaanku yang disampaikan kepada Wahyu -yang juga selaku Sekretaris Desa di Desa Bandung itu- benar benar tengah memikirkan hal yang sama denganku. Yaitu tengah dipikirkan meja dan kursi tahun ini harus ada. Katanya.
Harapannya, tentu saja mencari donatur atau menunggu bantuan dari pemerintah. Sejak tahun 2008 sampai sekarang anak anak belajar tidak memiliki meja dan kursi, maka tahun ini diharapkan dapat terpenuhi sarana belajarnya. Mumpung, Wahyu mempunyai pemikiran yang sama, aku mencoba mencari jalan keluarnya untuk mencari donatur tapi ternyata tidak sepenuhnya para donatur mampu memberikan lebih. Karena hanya sekedar saja. Itu pun tidak dapat membeli meja dan kursi sejumlah anak 20 orang. “saya bantu untuk membeli meja saja ya,” ujar salah seorang yang ikut peduli terhadap kegiatan kami.
Rupanya janji donatur itu tak kunjung tiba juga. Mereka hanya membual saja karena gengsi kalau menolak tawaranku menjadi bapak asuh mereka. Waktu itu aku berusaha menghubungi bapak dewan -khusus daerah pemilihan di daerah tersebut. Sampai sekarang, janji itu hanya sebuah nyanyian belaka di beberapa tempat di mana mereka melakukan kunjungan ke daerah pemilihannya. Nama kami hanya dijual-jual oleh mereka terkait kebutuhan sarana pendidikan yang kurang memadai. Hasilnya nol. Mereka omdo. Omong doang gede.
Ya aku tidak percaya sepenuhnya. Tapi aku merasa berdosa kalau tidak berbuat sesuatu untuk mereka. Anak anak bangsa yang membutuhkan sarana belajar. Demi pendidikan mencerdaskan mereka. Sangat membutuhkan sarana belajar. Aku sekali lagi terngiang terus permintaan Bu Eni. “Kami minta meja dan kursi Pak.”
Langkahku yang pertama, adalah mencari tempat pembuatan meja dan kursi di Panglong. Beberapa tempat panglong sudah aku hubungi untuk kesesuaian harga dan mengajak mereka untuk berpartisipasi membantu kebutuhan anak belajar. Ternyata mereka hitungan bisnis bukan hitungan berbuat amal jariyah. Sangat jarang aku temui orang-orang yang mau menginvestasikan jiwa raganya untuk membantu orang-orang yang tidak mampu. Seringkali aku harus menerima perasaan tidak enak kalau sudah menyampaikan hal-hal yang baik buat mereka. Minimal mereka memberikan harga termurah dari yang lainnya.
Suatu hari aku ditelepon oleh Wahyu, Kepala sekolah Ad Dzikro Bandung ini untuk memesan meja dan kursi untuk anak-anak. Rasanya mendengar kabar itu aku teramat senang. Ternyata usaha aku yang sering gagal melobi berpengaruh juga terhadap Wahyu yang juga aparat desa setempat.
“Saya merasa malu, anak-anak belajarnya masih lesehan d balai desa kami. Apalagi kekurangan sarana belajar kami menjadi bahan laporan dewan yang melakukan reses ke desa,” Itu ungkapan Wahyu kepadaku. Tentu saja niat baik mewujudkan meja dan kursi tentu aku sangat membahagiakan. Akan tetapi laporan dewan tersebut yang membuatku tidak enak rasanya. Kok, mereka -dewan- tidak bisa berbuat apa-apa. Berbeda ketika belum jadi dewan -sering suara kami menjadi perhitungan untuk kemenangannya. Ini hal yang sangat pelik jika diperhitungkan.
“Sudahlah jangan dipercaya omongan dewan itu. Sulit pembuktiannya. Terpenting, nanti saya minta tolong sama Bapak, untuk memesan meja dan kursi di panglong yang sudah Bapak survei itu,” ujar Wahyu memberi keleluasan mencari panglong yang dapat memenuhi kebutuhan meja dan kursi anak dengan biaya minim. “Ya. Ada yang sudah saya temui Pak. Harganya seratus lima puluh ribu rupiah di Cipacing. Harga itu satu unit meja dan dua kursi. Murah kan?” Kataku meyakinkan Wahyu. Yang disambut oke oleh Wahyu.
Sore itu aku langsung menuju rumah Wahyu di Batulingga untuk mengambil uang meja dan kursi tadi. Wahyu memesan 10 meja, 20 kursi dan dua meja guru. Uang dua juta lima ratus rupiah aku peroleh dari Wahyu. Bahkan, sore itu juga aku ke panglong Pak Iman di Cipacing. Sesuai yang aku sampaikan harganya kepada Wahyu, sama persis uang yang diminta Pak Iman pemilik panglong. Dua juta lima ratus ribu rupiah. Ya. Sebesar itu.
“Kok segitu Pak,” kata pemilik panglong. Maksudnya, tidak dilebihkan harganya. Kalau ada lebihnya dia akan memberikan komisi kepadaku. “Tidak Pak, sesuai apa yang ditentukan harga dari Bapak,” kataku kepada pemilik panglong tersebut. “Wah tidak ada lebihnya. Nanti lain kali kalau ada orderan tolong ada lebihnya buat Bapak,” katanya lagi. Tapi rasanya buat aku hal itu belum terpikirkan sama sekali. Karena aku berharap Wahyu dengan harga murah dapat memenuhi kebutuhan sarana belajar anak-anak. Aku hanya berpikir bagaimana dengan harga murah bisa terwujud. Sudah itu saja tidak memikirkan kelebihannya atau keuntungannya.
“Saya tidak mencari untung Pak” “Oh, ya sudah. Nih..” si pemilik panglong itu malah memberikan uang seratus ribu rupiah. Menjelang maghrib aku terima uang itu, tidak langsung aku terima. Uang itu justru aku berikan sama Pak ustadz H Arip. Karena dia berjasa membawaku ke panglong. Aku memang tidak memiliki akses transportasi untuk mendatangi panglong tersebut. Makanya aku memanfaatkan kendaraan roda dua milik pak Haji Arif.
Aku pikir, dari transaksi pembuatan meja dan kursi sudah sepakat waktunya sampai 6 Desember selesai. Berarti lima belas hari lamanya dari pemesanan pertengahan Nopember lalu. Hal itu juga sudah aku sampaikan kepada Wahyu bahwa tanggal 6 Desember selesainya. “Sekarang sudah Tahun baru lagi. Kok, meja dan kursi belum juga jadi sih,” kata Wahyu. Tiba-tiba suara telepon dari Wahyu menghentakkanku untuk mengingatkan batas waktu pemesanan meja dan kursi tangal 6 Desember sudah selesai.
Aku mencoba menghubungi panglong. “Pak, bagaimana pesanan meja dan kursi, sudah rampung belum?” “Tinggal kursi yang sudah, meja belum dikasih daunnya,” ujar Iman si pemilik panglong tersebut. “Kapan selesainya?” Kataku via handphone selular. “Ya minggu-minggu ini,” “Jangan lama-lama Pak. Saya sudah dihubungi lagi sama yang punya. Tolong Bapak selesaikan secepatnya.” ujarku, kesel. “Iya Pak. Iya Pak!” sahut si pemilik panglong lagi.
Seminggu yang dijanjikan selesai, waktunya sudah berlalu, tapi pengerjaannya terlambat lagi. aku penasaran menghubungi langsung ke panglongnya di Cipacing. Ternyata kursi dan meja belum diapa-apakan. Belum ada tanda-tanda pengerjaan yang cepat diselssaikan, malah mengerjakan yang lain. Alasannya nggak ada yang mengerjakannya. “Pak, aku bayar lunas maksudnya supaya tidak seperti begini. Lambat! ” suara aku meninggi.
Si pemilik panglong terus saja mengangguk-angguk tanda menerima kesalahannya. Tapi aku sudah tidak sabar dengan perlakuannya yang menjengkel kan perasaan. “Saya tidak enak hati sama yang pesannya. Nanyain terus. Nanti ada prasangka yang bukan-bukan ke saya. Bagaimana ini, bisa dikerjakan enggak?” aku marah. Kesal di depannya yang tampak malah ngotak-ngatik hp bukannya bekerja malah orang lain yang bekerja. Itu pun bukan kerjaan yang aku pesan.
Aku berpikir negatif. Kalau sampai aku terjadi apa-apa sama Pak Wahyu, karena kecewa atas sikapku, maka yang aku tekan si pemilik panglong ini. Aku akan bakar panglongnya dan tidak bisa kenal kompromi lagi. Marahku sudah memuncak ketika aku berkali-kali datang ke panglong ternyata belum juga dikerjakan. Apa salahku, uang sudah lunas aku berikan. Apalagi yang kurang. Sungguh tidak profesional. Aku tunggu saja janjinya minggu ini selesai. Bukan apa-apa. Pesanan ini justru menggunakan uang Negara dari bantuan kepada lembaga sejumlah siswa berupa bantuan operasional sekolah. Waktunya harus selesai bulan ini juga.
Cigintung, Januari 2016
Cerpen Karangan: Tb Apin Suryadi Nama: Tb Apin Suryadi Hobi: Peminat masalah sastra tinggal di Pandeglang Banten. Motivasi: menulis dan menulis untuk mengisi hari tua. Kegiatan: Komunitas Sastra Gunung Karang-Pandeglang Banten. Pengalaman: Komunitas Sastra Gunung Karang-Pandeglang Banten. Pernah diundang ke Kudus Jawa Tengah dalam rangka pertemuan sastrawan nasional, pengalaman banyak bertemu dengan orang-orang terkenal menjadkan gairah menulis tetap hidup.