Ridwan memandangi langit malam tak berbintang dari ruang kerjanya di lantai 3 Daarna Cafe, ia masih memikirkan percakapan dengan saudaranya Muhammad Hamzah, sedari tadi ia merasa terganggu akan perkataan Kakaknya. “Ridwan sampai kapan kau mau begini? sudah semester 13 kamu belum lulus-lulus juga, sebegitu pentingkah cafe itu bagimu hingga melupakan studimu?” Hamzah geram melihat adiknya yang keasyikan merintis kembali usaha cafe mendiang Kakeknya.
Walaupun di sisi lain ia bangga karena berhasil membangun kembali apa yang telah dirintis Kakeknya selama ini dari warung Kopi Kecil hingga menjadi sebuah Cafe, walaupun sempat vakum ketika krisis ekonomi di tahun 1998. Ridwan kecil bersama Kakeknya merintis kembali usaha Kopi yang sempat redup, menyulap Ruko berlantai 3 yang dibelinya dengan hasil penjualan tanah yang luasnya 3 Hektare di Massepe Kabupaten Pinrang. Sejak menginjak SD hingga SMA, Ridwan selalu bergelut dengan biji-biji Kopi, berbeda dengan Ayah dan Kakaknya yang lebih memilih usaha di bidang pertambangan batu bara.
“Kakak tahu sendiri.. sebelum Kakek meninggal ia berpesan kepadaku untuk mengembangkan Usaha yang dirintisnya sejak zaman pendudukan Jepang, Ayah tak berminat bisnis Kopi, kakak juga lebih memilih mengembangkan perusahaan Ayah, ini bukan mauku, saya hanya ingin menjaga wasiat dari Almarhum Kakek,” sergah Ridwan kepada Hamzah, Hamzah hanya menghela napas mendapat serangan dari Adiknya yang sangat mirip dengan Kakeknya, keras kepala namun ambisius. “Tapi Ridwan.. pendidikan itu juga penting, Ayah dan Saya ingin melihatmu mengenakan toga tahun ini, jangan lagi kamu menunda-nunda studi skripsimu,” Ridwan mengacuhkan pernyataan kakaknya, namun hati kecilnya juga tak bisa dibohongi –aku juga mau Sarjana tahun ini kakak.
—
Ridwan merebahkan tubuhnya di kamar 03 di Apartemen 11, mencoba melepaskan seluruh beban yang ada di pundaknya, beban dari rutinitas pekerjaannya sebagai CEO Daarna Cafe, dan beban dari permintaan Ayah dan Kakaknya untuk lulus dan menjadi Sarjana. Ridwan sejenak membenamkan matanya langit makin gelap, perlahan-lahan suara rintik hujan terdengar merdu, membasahi jendela-jendela apartemen 11, suara alunan petikan gitar terdengar sayup-sayup di antara gemercik hujan. Ridwan memutuskan bangkit dari tempat tidurnya dan menuju balkon kamarnya, ditengoknya seorang pria memetik gitar di seberang apartemennya duduk di balkon memandang butir-butir hujan.
Untukmu yang baru saja di wisuda.. Selamat menempuh masa dimana buku-buku tak lagi di sampingmu.. Teman-teman semua tersenyum riang menatapmu Seakan kau melayang di atas awan berbahagia Satu langkah menuju mimpi berikutnya Kudoakan kau slalu Taklukkan mimpi indahmu hoo.. Sela..Mat.. Mengenakan toga dan piagam Sela..Mat.. Kedua orang tua tersenyum bangga Sela..Mat.. Hari ini kupanggil dirimu sarjana..
Ridwan hanyut dalam buaian petikan gitar dan suara merdu pria itu, lirik yang dalam seakan menyinggung Ridwan yang belum Sarjana. “Selamat malam Tuan Ashari,” sahut Ridwan setelah petikan terakhir dari gitar akustik milik Tuan Ashari, Doktor muda bidang Ilmu Sejarah. “Oh Selamat malam Tuan Ridwan,” sahut Ashari dengan senyum ramah seperti biasa. “Tuan Ashari suara Anda merdu, kalau boleh tahu itu lagu dari siapa ya?” tanya Ridwan. “Ini salah satu lagu dari album Bersenjagurau, Ba.
Ya Ashari termasuk pria cerdas penghuni apartemen 11, di umur 17 Tahun telah lulus SMA, meraih gelar Sarjana di umur 20 Tahun, gelar Magisternya diselesaikan selama 2 tahun, dan kini di umur 26 Tahun telah meraih gelar Doktor. “Maaf Tuan Ridwan saya pamit dulu, istri saya sudah menunggu sedari tadi,” sahut Ashari lalu memasuki Apartemennya. Hujan semakin deras mengguyur bumi, hawa dingin mulai menusuk sanubari Ridwan, ia memutuskan memasuki kembali kamarnya dan merebahkan kembali tubuhnya di atas kasur, belum sempat ia memejamkan matanya terdengar bunyi bel dan ketukan pintu. “Siapa yang bertamu tengah malam begini?!”
“Maaf selamat malam, betul ini Apartemen Pak Ridwan?” tanya seorang pria di hadapan Ridwan yang mengenakan rompi oranye. “Bapak dari kantor Pos yah? Ada apa bapak malam-malam ingin menemui saya?” “Maaf Pak sebelumnya, ada paket untuk bapak,” sahut kurir pos tersebut sembari memberikan sebuah kardus besar bertuliskan Untuk Bapak Ridwan dari Tn. Bpk. Kamaruddin. “Oh iya baru saya ingat, beberapa minggu lalu saya memesan biji kopi dari Tanah Toraja, ternyata sudah sampai toh,” sahut Ridwan yang kemudian menanda tangani nota terima dari petugas pos tersebut dan membawa kardus itu masuk ke kamar Apartemennya.
—
Siang itu di Daarna Cafe terjadi kegaduhan, seorang pria muda dalam balutan pakaian casual melangkahkan kaki jenjangnya, berpuluh pasang mata gadis-gadis SMA memandanginya, “Siapa sih? Artis yah?” bisik salah satu pengunjung Cafe. “Entahlah yang penting wajahnya ganteng gile,” sahut seorang gadis yang satunya. Pria itu mendekati meja Barista yang asyik meramu kopi. “Maaf Nona Barista, pemilik Cafe ini dimana yah?” tanya pria itu, gadis Barista itu termangu menatap wajah pria itu, tak berkedip terpesona akan ketampanannya.
“Nona,” sahut pria itu. “Eh Bos ada di lantai tiga.. Mas.. Tuan Bapak.. eeeh,” sahut Gadis Barista dengan gugup. “Kakak apa yang kakak lakukan di sini?” tanya Ridwan yang menuruni anak tangga. “Hoi Ridwan bagaimana kabarmu?” tanya Muhamamd Hamzah yang belum beranjak dari tempatnya. “Kabarku baik kakak, ikut saya ke lantai tiga kakak kita bicara di atas saja,” Hamzah beranjak meninggalkan lantai satu Cafe, beberapa gadis pengunjung Cafe sedikit kecewa karena harus kehilangan pemandangan yang segar.
—
Hamzah kini berada di ruangan kerja Ridwan, ruangan yang berukuran cukup besar dengan dinding yang terbuat dari Kaca setebal 25 mm yang dihubungkan dengan rangka-rangka baja sehingga nampak ruangan ini seperti Aquarium. “Ridwan Ayah selalu menanyakan kabarmu, terutama kabar engkau tak lulus-lulus juga,” sahut Hamzah yang kemudian memberikan secarik surat untuk Ridwan. “Apa ini?” tanya Ridwan. “Buka saja itu dari Ayah,” Ridwan membaca dengan seksama surat dari Ayahnya.. matanya terbelalak. “Apa apaan ini, kenapa Ayah begitu otoriter?!” Ridwan geram melemparkan surat itu ke meja tepat di hadapan Hamzah.
“Kenapa Ayah mengancamku segala.. saya tahu bangunan ini masih dalam pengawasan Ayah seperti yang tertera di surat wasiat Almarhum Kakek, tetapi tidak begini main ancam-ancam akan menutup Cafe ini jika saya tidak lulus,” Ridwan duduk menghela napas panjang. “Ridwan.. saya tahu Ridwan, betapa besar semangatmu untuk mengembangkan usaha Cafe ini, tapi.. jika sikapmu masih acuh terhadap studi akhirmu engkau akan melukai dirimu sendiri, dan para pegawaimu yang menggantungkan nasibnya dari Cafe ini.. apa jadinya jika Ayah menutup paksa Cafe ini,” Hamzah menasihati adiknya, Ridwan hanya duduk tertunduk, memikirkan perkataan saudaranya. “Yah saya hanya menjalankan amanah dari Ayah, sekarang terserah kamu.. Ridwan,”
—
Langit malam tak berbintang, Ridwan memandangi langit gelap itu dari balkon Apartemennya, Rembulan masih enggan menampakkan diri, Ridwan menyeruput secangkir kopi mencoba melepaskan kepenatan, yah kopi merupakan satu obat mujarab untuk mengobati hati yang gunda gulana. “Tuan Ridwan aroma kopimu mantap,” sahut Ashari dari balkon seberang Apartemennya. “Oh Tuan Ashari selamat malam,” sapa Ridwan. “Itu kopi apa yah Tuan Ridwan?” tanya Ashari. “ini Kopi Toraja,” sahut Ridwan sembari menyeruput kopi dari cangkirnya.. “Boleh saya cicip?” tanya Ashari. “Wah boleh, saya akan buatkan tapi bagaimana caranya agar saya bisa bawa ke seberang sana,” sahut Ridwan. “Yah saya rasa bisa, saya akan meminta istri saya ke apartemenmu mengambil racikan kopi dari Barista hebat kota Makassar,” puji Ashari kepada Ridwan.
Mereka berdua menyeruput kopi dari balkon apartemennya masing-masing, mencoba melepaskan beban hidup seperti uap kopi yang menyembul dari cangkir hitam. “Sepertinya Tuan Ridwan sedang gundah gulana? Mungkin Tuan bisa berbagi dengan saya,” sahut Ashari. “Entahlah Tuan Ashari,” “Yah sebaiknya beban jangan disimpan sendiri, ada kalanya kita harus berbagi, ayolah apa gerangan yang membuatmu nelangsa, masalah pekerjaankah? atau masalah Asmara? Ayolah cerita dengan saya, umur kita kan tidak jauh berbeda, kita hanya terpaut 3 tahun,” Walaupun Ashari seorang Doktor dan Ridwan masih calon Sarjana namun usia kedua pria ini tidak jauh berbeda, itulah sebabnya Ashari lebih suka memanggil Ridwan dengan sebutan Tuan, walaupun Ridwan kadang merasa nyeleneh mendapat panggilan itu.
“Yah Ayah saya mengancam diriku, Cafeku akan ditutup jika saya belum sarjana tahun ini,” sahut Ridwan dengan datar. “Itu berarti Ayahmu khawatir denganmu, cuman caranya saja menyampaikan rasa khawatir yang berbeda, Ridwan lulus cepat atau lambat itu pilihan, sama halnya menjadi Dewasa itu juga adalah pilihan, namun ada kala pilihan itu harus diintervensi oleh orang lain ketika individu itu masih ragu atas pilihan yang akan dipilih,” Ridwan memerhatikan penjelasan Ashari dengan seksama. “Tuan Ridwan, kalau boleh tahu apa yang membuatmu sulit untuk menyelesaikan studimu? Apakah nilaimu anjlok atau banyak mata kuliah yang kamu harus ulangi?” tanya Ashari.
“Tidak, beberapa mata kuliah yang pernah saya program ulang kini sudah beres, nilainya pun sudah keluar, sekarang yang tersisa hanya skripsi, namun ada yang membuat saya bingung,” sejenak Ridwan menghentikan kalimatnya, memandangi siluet malam, “di otak saya belum menemukan judul yang tepat untuk membuat penelitian skripsi nantinya,” “Tuan Ridwan, kalau boleh bertanya kamu kuliahnya jurusan apa lagi, kok saya lupa yah?” tanya Ashari. “Tuan Ashari sudah lama kita bertetangga begini masa masih lupa saya kuliah ambil jurusan apa? yah saya kuliah ambil History and Cultural Study,” sahut Ridwan.
“Oh begitu yah, saya bisa berikan sebuah saran yang baik untukmu, passionmu di dunia Kopi-kan?” Tanya Ashari. “Iya memang saya sangat senang dengan biji-biji kopi dan semua hal yang berbau kopi,” sahut Ridwan mantap. “Mengapa kamu tidak meneliti kopi saja, sudah banyak sih mahasiswa yang meneliti kopi, tinggal kamu mencari celah yang tepat, kira-kira apa yang belum dikaji dari komoditi kopi,” Ashari menyeruput kopi yang diracik oleh Ridwan, ditatapnya cangkir kopi itu, tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah, “Begitu rupanya,” sahut Ashari.
“Tuan Ridwan sepertinya saya dapat ide yang akan membantu menyelesaikan permasalahanmu?!” “Yang benar Tuan Ashari?!” Ashari mengangguk. “Melihat cangkir kopi ini terlintas di benakku sebuah judul Skripsi yang seksi –Bergulat Dalam Cangkir-Cangkir Kopi Dari Pedagang Kaki Lima Hingga Lantai Cafe: Study Sejarah Tentang Fenomena Pecinta Kopi di Kota Makassar– keren kan?!” sahut Ashari kepada Ridwan, ekspresi Ridwan menggambarkan sebuah persetujuan atas usul Ashari, mereka berdua melewati malam, rembulan mulai menampakkan dirinya, dari secangkir kopi dan obrolan hangat, Ridwan akan memulai petualangan yang baru, petualangan yang akan mempertaruhkan Wasiat Almarhum Kakeknya, para pegawai Daarna Cafe, dan tentu saja meraih gelar Sarjananya.
Cerpen Karangan: Ilyas Ibrahim Husain Facebook: Ilyas Ibrahim Husain Twitter: @adilbabeakbar