Rasanya merinding melihat raut muka Miss Fika dengan matanya yang melotot. Terlebih lagi ketika setumpuk soal Matematika berada di tangan beliau. Ini akan menjadi hal terburuk bagi kami, seperti yang tengah kami rasakan sekarang.
Miss Fika nampaknya lelah mengajar Matematika di kelas kami, kelas 5C. Sebenarnya kami juga lelah mempelajari mata pelajaran yang satu ini. Tetapi, bukannya Miss Fika meniadakan pelajaran yang menyiksa itu, tapi malah MEMBERIKAN ULANGAN MATEMATIKA KEPADA KAMI SETIAP HARI!!! Saking pusingnya, terkadang Miss Fika memberikan ulangan kepada kami dua kali sehari. Haduh …
Setiap kami mengeluh, dengan sifatnya yang sangar itu beliau selalu mengucapkan kalimat yang sama, “Kalian itu sudah kelas lima, sebentar lagi kelas enam. Kalian harus belajar sungguh-sungguh! Kalau nilai kalian jelek, nanti saya juga yang rugi, kan?” Kami juga tahu kalau sebentar lagi kami akan naik ke kelas enam. Dan kalau nilai kami jelek, biarlah Miss Fika sendiri yang rugi. Fine, kan?
“Andi! Tolong bagikan soal dan lembar jawab ulangan ini!” Oh my God. Miss Fika sudah memanggil Andi, Sang Ketua Kelas. Aku menghembuskan napas, lesu dan tidak bersemangat. “Matematika lagi. Setiap hari pasti ada pelajaran Matematika! Bukankah ada mata pelajaran lainnya?” Keluh Lina, deskmate-ku. “Iya, ya. Mengertilah, Miss. Kita sudah muak dengan pelajaran ini!’ Sahutku. “Aku setuju dengan pendapatmu, Nessa,” ujar Lina. Kami terlalu asyik menggerutu hingga tak sadar bahwa kertas soal ulangan beserta lembar jawabnya sudah menunggu di meja kami. “TIDAAAK!!!”
—
Aku berdiam diri di meja belajarku. Mungkin banyak yang mengira aku tengah belajar malam ini. Salah besar. Kini aku tengah chattingan dengan Lina, deskmate sekaligus soulmate-ku. Padahal, biasanya aku chattingan dengan Lina sesudah belajar, lho! Cklek! Seseorang membuka pintu kamarku. Aku semakin tak menghiraukan kehadiran orang tersebut, saat mengetahui bahwa orang itu adalah Nayla, kakakku. “Nessa, kamu tidak belajar?” Tanya Kak Nayla. “Memang tidak,” ujarku. Aku tak berpaling dari handphone-ku. “Kenapa?” Tanya Kak Nayla. Kurasa ia terlalu prihatin dengan semangat belajarku. Tapi aku memang sudah jenuh. “Aku jenuh, Kak. Aku ingin pemandangan lain selain angka-angka dan berbagai rumusnya,” ungkapku. “Siapa yang selalu membebani hidupmu dengan berbagai soal Matematika?” Kak Nayla nampak sangat ingin tahu. “Miss Fika,” jawabku singkat, dan berpaling lagi ke arah handphone-ku. “Miss Fika?” Kening Kak Nayla berkerut. “Apa aku tak salah dengar? Apa kau mengigau? Kurasa, Miss Fika adalah guru terbaik yang pernah ada seumur hidupku,” ungkapnya. “Mungkin terbaik saat tahun ajaran Kak Nayla. Tapi, sekarang beliau beda, Kak! Kurasa beliau sangat lelah mengajar Matematika di kelasku. Aku kira, pelajaran Matematika akan segera dimusnahkan. Tapi, dugaanku meleset! Beliau justru memberikan ulangan setiap hari,” jelasku. “Hm, menurutku, itu memang metode belajar yang kurang efektif,” gumam Kak Nayla. Dia memang sangat memperhatikan perihal belajar-mengajar. “Ah! Kakak teringat sesuatu!” Serunya tiba-tiba. “Apa, Kak?” Tanyaku. “Seingatku, Miss Fika akan bangga dan menghentikan kekerasan pada murid-muridnya jika beliau melihat anak didiknya berhasil, meski hanya satu anak saja,” kata Kak Nayla. “Jadi?” Tanyaku. “Hhh …. Bisakah kau peka sedikit?” Tanya Kak Nayla. “Cara yang paling tepat untuk mengusir kejenuhanmu dan teman-temanmu bukanlah berhenti mempelajari Matematika,” “Apakah aku justru harus giat belajar Matematika?” Tanyaku. “Tepat!” Pekik Kak Nayla. “Miss Fika pasti sangat bangga jika nilai Matematikamu bagus. Dan akan menjadi usaha yang lebih baik lagi apabila beliau menghentikan pemberian ulangan itu!” “Itulah yang paling kuinginkan selama ini!” Kataku. Wajahku berangsur-angsur cerah, baru saja mendapatkan inspirasi. “Nah. Oleh karena itu, giatlah belajar, terutama belajar Matematika. Belajar itu tidak hanya untuk Miss Fika, tapi juga untuk dirimu sendiri!” Kak Nayla menyemangatiku. “Hm!” Aku mengangguk. Ingin aku segera belajar untuk memperbaiki nilai-nilai jelekku. “Ingat, ini adalah misi rahasia. Kau harus menjadi pahlawan bagi teman-temanmu!” Kak Nayla mengedipkan matanya. “Baiklah, kurasa ini saatnya untuk kembali ke kamarku. Good luck!” “Daah!” Seruku. Setelah Kak Nayla pergi, aku mengambil bukuku. Tapi, aku mengurungkan niat belajarku karena ternyata sekarang sudah jam sepuluh malam. Aku harus tidur.
Hari demi hari, aku merasa saran Kak Nayla benar-benar berguna untuk hidupku. Aku menerapkan saran Kak Nayla, dan kata-kata Kak Nayla ternyata memang benar. Miss Fika benar-benar bangga dengan nilaiku yang semakin meningkat, dan akhirnya beliau meniadakan lagi ulangan Matematika setiap hari! Yeay!! Aku dan teman-temanku benar-benar gembira.
Dan inilah masa-masa paling menegangakan: Ulangan Kenaikan Kelas. Miss Fika tak terlihat sangar lagi, justru wajah beliau cerah berseri. Beliau membagikan soal dan lembar jawab kepadaku, sedangkan aku tidak begitu cemas lagi. Aku tak menghiraukan perasaan teman-temanku. Aku mengerjakan soal itu dengan teliti dan jujur. Setelah itu, tak lupa kuteliti lagi jawabanku. Setelah selesai, aku mengumpulkannya.
Minggu demi minggu, hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit, dan detik demi detik aku menunggu hasil dari usahaku dalam mengerjakan soal itu. Dan aku mendapat jawaban dari ketidaksabaranku hari ini. “Andi 75, Lina 70, Elyza 80, Irma 65, Rayhan 60, Rayna 84, Susan 90,” Miss Fika menyebutkan nilai setiap murid. Tetapi, aku belum mendengae Miss Fika menyebutkan nama dan nilaiku. “Nilai tertinggi lagi-lagi diraih oleh Khairunissa Alliya Nessa, dengan nilai sempurna, 100!” Pekik Miss Fika. Baru pertama kali aku mendapat nilai sempurna dalam mata pelajaran Matematika. Aku benar-benar tersentak, hingga tubuhku beku, kaku, dan dingin.
Cerpen Karangan: Dadap Ayu Lirih Nastiti Facebook: Hiro Nuku