Mata pelangi itu tak lagi tersenyum. Tatapannya menusuk ke ulu hatiku. Bahkan kali ini, menohok sampai ke jantungku. Aku menunduk. Padahal, aku sempat melihat rembulan hadir menghiasi kerinduannya padaku. Hangat. Ketika ia mencium tanganku. “Kak, apa aku harus selalu mengalah?” Ucapnya pelan namun jelas kurasakan gejolak dasyat menyusup ke telingaku. “Kenapa kau bilang begitu?” Suaraku hampir tak terdengar. Khawatir, emosinya meledak dan menjadi tontonan banyak orang. “Dulu, aku dikorbankan agar sekolahmu tetap lanjut. Masih tak cukup?” Nada bicaranya melemah namun tatapannya masih tajam. Pandanganku melompat. Berlarian di wajahnya mencari cahaya makna setiap kata-katanya. Akhirnya tertunduk lagi setelah terbentur pada tembok kekesalan itu. Hatiku basah. “Maafkan kakak,” Aku bergegas kemudian meletakkan uang sepuluh ribu di meja itu, meninggalkan semangkok bakso yang belum selesai aku santap. Tiba-tiba tetesan air berjatuhan. Aku berlari menembus hujan. Tepat ketika aku sampai di halte, bus pun tiba. Aku mendengar adikku berlarian dan memanggilku ketika bus telah melaju. Di dalam bus, air mataku tumpah. Kusembunyikan di antara basahan hujan yang masih menghiasi wajahku.
—
Aku sesak. Teringat kata-kata Yusuf pagi tadi. Benarkah adikku menjadi korban agar sekolahku tetap lanjut? Kesedihan yang berlumut menyerangku. Aku tak pernah menilik kebun rahasia keluargaku. Kini, lumut itu telah menjadi kerak. Yusuf putus sekolah ketika aku masih duduk di bangku SMA. Saat itu, dia masih di bangku sekolah dasar. Aku sendiri sekolah di ibukota kabupaten. Kampung dimana orangtua dan adikku tinggal cukup jauh dari ibukota. Sehingga aku jarang pulang. Setiap libur semester saja aku punya waktu untuk berkumpul bersama mereka. Kala itu aku terkejut ketika tahu, adikku Yusuf sudah tak bersekolah lagi. Padahal, dia sudah duduk di kelas lima.
“Mau jadi apa kalau tak nak sekolah nang?” Kulantunkan suara penyesalanku sekaligus ungkapan kekesalan. Yusuf tidak menjawab kala itu. Tapi ada binar penyesalan di mata pelanginya. Pundakku pun kurasakan basah ketika aku memeluknya. “Kenapa ayah biarkan Yusuf tak sekolah lagi yah?” Aku terisak. “Dia kan belum mengerti. Seharusnya kita yang membimbingnya. Dia anak laki-laki yah.” Aku menatap ayah lekat. “Zara. Kakak tahu kan seperti apa ayah? Ayah tak suka perangai semangat sekolah yang hangat-hangat kuku. Pendidikan itu sekarang mahal.” Kata ayah datar. Aku mendengar yusuf terisak. Ia lari keluar rumah. Suasana seketika hening dan hatiku membeku. Kukunci diriku di dalam kamar. Kusesali mimpiku untuk melihat Yusuf suatu hari kelak berseragam polisi. Bulir air mataku tak mampu mengembalikan segalanya. Hanya menambah sesak. Satu semester lebih sudah ia putus sekolah. Ya Allah kemana kan dicari biaya untuk masuk lagi? Yusuf pun pasti akan malu jika kembali ke sekolah.
Sejak saat itu, aku telah berjanji pada diriku sendiri. Aku harus turut bertanggung jawab atas masa depan adik laki-lakiku. Paling tidak, aku harus bisa memberikan lapangan pekerjaan yang layak untuk mencukupi kehidupannya kelak. Mungkinkah semua itu sandiwara keluargaku? Agar aku tetap bisa bersekolah. Sebab sisa uang hanya ada sedikit dari kebutuhan makan.
Aku yang masih bertahan menapaki bangku pendidikan hingga saat ini, sampai di bangku sebuah universitas negeri di Sumatara. Meski napas orangtuaku terengah-engah menghidupi kami di zaman yang teramat kejam sekarang ini. Segalanya hanya akan dihargai dengan materi. Penyebab orang-orang kecil seperti keluargaku hanya mendapatkan sisa kehidupan. Tapi, kini aku tengah memperjuangkan kehidupan yang layak untuk keluargaku.
Sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah, aku selalu menduduki peringkat tiga besar. Sehingga secara otomatis, aku dibebaskan dari pembayaran uang spp. Tapi tetap saja orang tuaku harus bekerja keras untuk memenuhi keperluan sekolahku yang lain. Buku-buku yang super mahal. Apalagi SD dan SMP di kampung terpencil, belum ada perpustakaan. Orangtuaku hanya mengandalkan hasil panen sepetak tanah yang harus disewa dari juragan besar di kampung. Untuk makan pun harus gali lubang dulu.
Kenangan-kenangan masa lalu itu meninggalkan jejak yang menganga di hatiku. Kini, bekas sayatan itu kian perih. Jika benar adikku berkorban, betapa malu diri ini. Wajar saja, jika ia bersikap seperti pagi tadi terhadapku.
Aku memang sedang butuh uang. Uang hasil dari mengajar privat baru cukup untuk melunasi keperluan kuliah dan makanku. Sementara, uang spp semester depan harus segera aku bayar. Waktu yang tersisa hanya dua hari lagi. Karena itulah aku menemui adikku yang baru sampai di ibu kota beberapa hari lalu. Dia mulai bekerja di sebuah bengkel yang cukup besar. Kabarnya, ia akan membeli motor. Uang untuk DP motor itu ia peroleh dari ayah. Aku berniat meminjamnya. Aku tahu, ketika itu ia sedang galau. Salah satu tujuan ia mencari kerja di ibu kota adalah untuk melupakan mantan kekasihnya yang lebih memilih lelaki tajir.
Mataku masih sembab. Banyak beasiswa di kampus, tapi tak satu pun namaku terdaftar disana. Alasan klasik, aku tak punya orang dalam. Seminggu terakhir aku sudah berusaha mencari pinjaman. Nihil. Sekarang musim sedang tidak mendukung.
Haruskah kukorbankan diriku untuk masa depanku? Bagaimana dengan masa depanku yang lain? Tapi, waktu yang mencekik hanya memberiku satu keputusan.
Sejak sore tadi, langit muram. Mendung yang bertandang mengundang rerintikan hujan yang masih beraturan. Tapi, aku melihatnya seperti melingkar-lingkar.
Ketika aku turun dari sebuah mobil, adikku juga sampai di depan kontrakanku. Ia datang dengan motor barunya. Aku terkejut. Ia menatapku lekat. Seperti tak yakin bahwa akulah yang keluar dari mobil itu. Payung yang disodorkan lelaki paruh baya dari dalam mobil itu, tak ku hiraukan hingga laki-laki itu keluar. Berkecamuk. Apa yang harus kukatakan. Pun entah akan kujawab apa. Adikku mendekat. Memegang sebuah amplop yang ia keluarkan dari sakunya. Amplop itu basah tertimpa hujan. Aku menggigil melihat wajahnya yang memerah meski kuyup terguyur hujan.
Yusuf semakin dekat. Kini, ia tepat di hadapanku. Mata pelanginya tak lagi bercahaya. Hujan kian kuat menjatuhkan tetesannya seperti sedang berteriak. Aku, bukan diriku lagi. Tiba-tiba Yusuf sangat kuat mencengkeram pundakku. Lalu, guntur pun bersahutan berbarengan dengan suara pukulan keras dari tangan mata pelangi itu.
The End
Cerpen Karangan: Kitty Andriany Facebook: Al-Adzra Salsabila