Belasan sepeda motor terparkir rapi, bau rok*k dan suara gelak tawa belasan remaja yang masih mengenakan seragam putih abu-abu menyelimuti suasana malam itu. Mereka tertawa, berbincang tanpa haluan, mengkritik sana sini, bahkan mengkritik sesuatu yang tak pantas untuk kritik. Hal ini mengingatkanku sepuluh tahun silam. Bukan apa-apa, tapi aku pernah menjadi seperti mereka.
Sama seperti saat ini, di tempat yang sama, bau yang sama, seragam yang sama, namun generasi yang berbeda. Saat itu umurku baru menginjak 17 tahun, saat aku mengenal dunia luar. Kami dianggap sebagai para pelajar nakal. Dengan nilai pas pasan namun kelakuan di atas batas wajar. Merok*k, tawuran, bahkan mengerjai guru yang tak kami suka adalah hal yang biasa bagi kami semua, para Bedebah sekolah berkumpul di tempat ini. Di sebelah tempat pembuangan akhir yang sepi. Di mana kami bisa melakukan hal apapun semau kami.
Tak perlu nama untuk geng kami, cukup dengan sebutan “Bedebah”. Mungkin julukan yang cocok untuk kami. Salah satu anggota “Bedebah” itu adalah aku, Andika. Putra dari kepala sekolah dimana para “Bedebah” ini menuntut ilmu, tidak lebih tepatnya membuat onar.
Dan bukan hal baru, kebanyakan dari kami lahir dari keluarga berkecukupan, mungkin broken home. Atau seseorang yang dipaksa. Dan sebagian adalah anak anak cupu yang baru keluar kandang, anak anak yang dulunya manis dan penurut yang mulai terpengaruh dan terjebak dalam rasa keingin tahuan mereka sendiri. Aku mungkin termasuk dalam salah satu anak yang dipaksa.
Ayahku seorang kepala sekolah, dan kakakku seorang polisi. Keluaga kami berkecukupan, namun ibuku telah meninggal sejak aku SMP, dan aku kira setelah ia meninggal tak ada lagi yang bisa mengerti apa kemauanku.
Suatu hari yang sedikit berbeda, para “Bedebah” terlibat perkelahian antar sekolah. Masalah sepele, salah satu di antara kami terlibat masalah dengan sekolah seberang. Sebagai bentuk kesetia kawanan kami menyerang balik. Tanpa tahu dengan menyelamatkan salah satu teman kami dan harga diri kami. Belasan orang jadi korban, nama sekolah dipertaruhkan. Sungguh para Bedebah.
Hingga suatu hari giliranku masuk ruang BK setelah kawan kawan Bedebahku juga masuk ke sana, aku kira ada sesuatu yang janggal. Sudah berapa kali aku buat masalah tapi baru kali ini “mereka” berani memanggilku ke ruang BK. “wah wah, sudah datang rupanya, sang pangeran” kata seseorang yang sebelumnya tak pernah kutemui. Aku tersenyum, menganggap remeh orang ini. Aku merasa punya kekuasaan, karena Ayahku seorang Kepsek. Duduk santai di sofa empuk ruangan ber AC ini. Cukup nyaman kurasa, tak apalah aku di sini sementara waktu dari pada mendengar dongeng para guru di kelas.
“Andika, kelas IPA 3. Apa keinginanmu sebenarnya?” Tanya orang itu dengan santai pula. “keinginan saya?, banyak sekali lah pak” jawabku asal dengan mata terpejam, meremehkan. “sepertinya kamu ingin membersihkan toilet di seluruh SMA ini, bersama teman teman kamu yang bandel itu” katanya lagi dengan mendekatkan wajahnya, mengamatiku. “coba saja kalau bapak berani, ingat lo pak, saya ini anak dari kepsek” tantangku dengan nada menyindir. “bisa, sebentar” lalu pak guru berkumis tipis itu mengambil sesuatu di laci mejanya. “lihat ini baik baik” ia mengeluarkan sebuah surat pernyataan.
Mataku terbelalak kaget membaca surat itu, di sana tertera jelas kalimat “ saya sebagai orangtua dari Andika Setiawan menyerakhan sepenuhnya anak saya pada pihak bimbingan konseling, jika anak saya berbuat kesalahan maka saya rela jika anak saya mendapatkan hukuman yang setimpal” “bapak jangan main main, ayah saya tidak mungkin membuat pernyataan ini” “lhah kamu tidak lihat tanda tangannya to?” dengan sigap surat pernyataan itu berpindah tangan, dengan cermat aku mengamati tanda tangan itu. Dan memang benar yang terukir di kertas itu adalah tanda tangan ayahku. “nah, sekarang waktunya kamu dan teman teman kamu membersihkan kamar mandi, silahkan. Kalau tidak bersih ya terpaksa ditambah hukumannya, kalau tidak mau ya terpaksa tidak naik kelas. Saya lihat nilai kamu dan teman teman kamu itu sangat pas pasan, jadi bukan hal sulit untuk membuat kalian tidak naik kelas” katanya dengan nada balas mengejek. Dengan raut muka kesal segera kulangkahkan kakiku. Keluar dari ruangan BK. Ruangan ber AC itu tiba tiba menjadi tak nyaman.
Ketika itu seperti biasa aku dan kawan kawan “Bedebah” berkumpul, saling bertukar cerita, kenakalan kami sewaktu mengerjai guru pengajar. Sore itu sedikit mendung, musim hujan di Blitar membuat suasana semakin nyaman. Dingin, namun tak terlalu membuat beku. Di kota kesayangan, kami berulah, membuat mereka kewalahan. Kepala orang orang itu selalu bergidik karena kumpulan “Bedebah” ini.
Awalnya kami hanya senang senang layaknya siswa siswa lain, menceritakan sesuatu dalam batas wajar. Namun seiring berjalanya waktu, rasa canggung itu sirna dengan sendirinya, ketika salah satu dari kami bercerita tak wajar, kami tetap membiarkan, berfikir bahwa kamilah yang tak normal. Dan pada akhirnya kami menjadi terbiasa.
Begitupun saat ini, rok*k adalah cemilan baru kami, dan anehnya kami merasa biasa. Seperti saat pertama kali kami bercerita dengan suguhan kacang. Kali ini kami juga sedang bercerita namun dengan suguhan yang sedikit berbeda. Bukan berarti semua dari kami menikmati camilan itu salah satunya aku. Karena aku tidak mau jika harus masuk ke rumah sakit, mencium bau obat obatan yang sangat kubenci karena asmaku kambuh.
Ditengah tengah keasikan kami mengobrol tiba tiba aku merasa ada yang menarik telingaku dari belakang. “ah, sakit sakit” teriakku karena jeweran pak Adnan yang lumayan. “sakitan mana sama disuntik jarum dan mencium bau obat obatan di rumah sakit, mau kamu Dika” jawab Pak Adnan santai. “apaan sih pak” ucapku sembari melepas telingaku yang masih berada di wilayah kekuasaan pak Andan. Entahlah guru BK baru ini tahu dari mana hal yang paling aku takuti. Rumah sakit. “bubar bubar semua, pulang ke rumah masing masing” teriak pak Adnan mengusir kami para “bedebah” yang sedang nongkrong ini. “kalau mau buat yang jelek itu mbok ya di lepas dulu seragamnya, bahkan kalau bisa operasi plastik dulu wajahnya biar gak keliatan kamu itu anak sekolah sini, biar gak malu maluin gitu lo” cerocos Pak Adnan yang mulai membuatku geram. Alhasil karena kami tertangkap basah Guru BK baru itu kami pun langsung buyar pulang ke rumah masing masing.
Di rumah kemarahanku pada Pak Adnan belum usai, aku mengoceh sebal menyalahkan ayah kenapa guru seperti pak Adnan di pekerjakan. Namun tanggapan ayah selalu sama “ayahmu ini bukan apa apa, Cuma kepala sekolah. Mana bisa ayah buat keputusan seperti itu” lalu ayah pergi.
Keesokan harinya takhenti hentinya aku dan kawan kawan Bedebahku membicarakan Pak Adnan. “emang dia gak tau kalo kita kita ini anak petinggi di daerah ini, sampai sampai berani ngatur ngatur kita” ucap Reno seorang anak dari anggota DPR. “sepertinya kita harus kasih pelajaran ke guru baru itu, supaya dia kapok dan gak gangguin kita lagi” ucap Doni si anak Menteri. “gimana caranya, atau kita diem aja sampai kita lulus, kan kalo kita diem Pak Adnan gak bakal ganggu kita lagi.” Usul si jono, anak pengusaha lontong sayur yang terkenal sejagat raya yang otaknya emang agak kendor. Tapi dari hati paling dalam aku menyetujui pendapat Jono ini “ya nggak lah, justru kita harus bikin ulah sebesar besarnya, supaya dia sadar kalau dia itu gak bisa mainin kita” jawab Roni si anak Jendral. “gimana dik, setuju gak,?” Tanya Doni padaku yang dari tadi diam saja. “boleh juga” ucapku sambil melangkahkan kaki pergi
Entahlah aku merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal, seperti apa yang aku lakukan ini akan mempunyai dampak yang nggak baik, tapi masa bodohlah. Yang terpenting sekarang adalah ngurus guru baru itu dulu.
Setelah menyusun rencana untuk buat rusuh, dan sampailah ide buat tawuran sama sekolah sebelah. Ide itu datang dari Doni yang bilang dia baru aja diketawain sama anak sekolah sebelah gara gara dia jatuh dari motornya di depan gerbang sekolah sebelah (padahal yang nolongin dia juga murid dari sekolah sebelah). Alhasil kejadian itu dijadikan alasan untuk memulai kerusuhan dengan sekolah sebelah.
Jangan Tanya soal mancing kerusuhan, Andika si anak Kepala sekolah ini jagonya. Teriak teriak mengumpat di depan sekolah sebelah adalah cara jitu buat kerusuhan, tak butuh waktu lama anak anak sekolah sebelah udah pada keluar, tinggal kita para “Bedebah” yang mulai lempari batu, akhirnya tawuran pun terjadi tanpa kami para “Bedebah” tahu anak anak yang tadi ngetawain Doni lagi nonton di gedung paling atas, dan pastinya mereka juga tertawa terbahak bahak karena tingkah para “bedebah” yang gak ngerasa kalau sudah dijadikan pion untuk memporak porandakan bangsa. Sedangkan anak anak sekolah sebelah pun juga gak sadar mereka tawuran buat apa, nyatanya mereka ngikut aja.
Entah sudah berapa kali “bedebah” buat ulah. Bahkan ada satu kenakalan mereka yaitu tawuran yang sampai ditangani oleh pihak kepolisian. Namun semua kenakalan mereka berakhir tragis. Di sekolah mereka dihukum dan di rumah mereka diomeli habis habisan oleh orangtua masing masing.
Sampailah pada suatu hari dimana mereka menerima rapor. Tidak seperti kebanyakan murid yang hatinya dag dig dug dar waktu menerima rapor dan harap harap cemas apakah ada nilai yang merah. Gerombolan “bedebah” justru sedang asik nongkrong di kantin. Tapi tampak cemilan yang sedikit berbeda. Taulah mereka ini area sekolah dan terpampang jelas rambu “NO SMOKING”. Mereka yakin, kalau mereka pasti naik kelas. Siapa yang berani gak naikin kelas anak para bejabat, dan petinggi di sini. Jadi mereka santai saja, kayak di pantai (padahal lagi di kantin bukan di pantai).
Perbincangan seru mereka akhirnya terhenti saat satu per satu orangtua mereka menghampiri dan menjewer mereka masing masing. “para bedebad pun” sempat mengelak bilang kalau ini kesalahan guru mereka. Namun para orangtua tidak percaya. Karena kalau dilihat dari pandangan mereka sendiri, para “bedebah” ini gak pernah belajar yang membuat nilai mereka buruk rupa. Apalagi kalau ditambah dengan sikap mereka yang di atas batas wajar. Pantaslah mereka tidak naik kelas, dan pantas juga mereka diomeli habis habisan.
Sejak saat itu para Bedebah terpaksa harus mengulang kelas. Sedikit malu memang, tapi itu adalah satu satunya cara supaya mereka bisa menebus kesalahan mereka tahun lalu. Sejak saat itu pula para Bedebah sadar, mereka tidak kebal hukum.
Dengan berjalanya waktu, mereka sedikit sedikit bisa merubah sikap buruk yang selama ini mendarah daging. Walaupun dengan dilai yang standart akhirnya Bedebah itu bisa lulus, walaupun dengan nilai pas pasan. Banyak pihak yang mendukung mereka, mulai dari orangtua sendiri, guru`, hingga kawan kawan yang peduli sehingga para Bedebah itu bisa lebih dewasa dan mengerti, tidak selamanya pangkat dan jabatan mampu mentolerir setiap kesalahan yang mereka lakukan.
10 tahun telah berlalu dan sekarang sepertinya aku ada di posisinya pak Adnan. Senyumku sedikit terukir setiap kali mengingat kejadian masa itu. Akankah sekarang aku akan bersifat sama dengan pak Adnan. Atau tutup mata dan telinga rapat rapat, mengingat saat ini aku bukan siapa siapa, dan mereka adalah anak anak para petinggi di daerah ini.
Entahlah, aku sedikit berfikir lebih keras. Karena bisa saja aku yang kena getahnya jika bertindak konyol. Baru kemarin berita di salah satu stasiun televisi menyatakan seorang guru dijatuhi hukuman karena menghukum muridnya yang membuat olah.
Dengan mantap kakiku melangkah menuju gerombolan anak berseragam putih abu abu itu. Aku memutuskan akan menanganinya, mungkin dengan cara yang sedikit berbeda dari pak Adnan. Karena dulunya aku pernah ada di posisi mereka, sepertinya aku tau bagaimana cara berfikir mereka yang masih sangat sempit. Semoga saja aku tidak kena masalah.
Cerpen Karangan: Isnar R Facebook: facebook.com/isnar.r.7