Tepat pukul 08.00 suara corong megaphone menggema di salah satu sudut Parking Lot Auditorium Amanagappa, salah satu aula serba guna yang berada dalam lingkup Makassar College. Tidak jauh dari tempat itu seorang pria berumur 29 tahun berdiri di tengah-tengah parking lot. Di tangannya telah ada megaphone, Dr. Herman Suherman, S.Pd..M.Pd..M.Phill Dosen muda dan kandidat Wakil Dekan III di salah satu fakultas di kampus ini. Ia tersungut-sungut memandangi bus yang terparkir, melalui corong megaphone ia menyerukan kepada seluruh Mahasiswa untuk bergegas ke bus yang akan membawa mereka ke lokasi KKN.
“Selamat pagi mahasiswa sekalian, sekali lagi perhatian-perhatian untuk Mahasiswa Program KKN agar segera menuju busnya masing-masing,” Tiga kali Dr. Herman Suherman menyampaikan himbauan kepada mahasiswa KKN, “Mahasiswa sekalian bus akan berangkat ke Kecamatan Wattang Pulu dan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang, jadi ini panggilan terakhir agar kiranya menaiki Busnya masing-masing,”
Rio bersama beberapa Mahasiswa Makassar College dalam balutan jaket KKN bewarna oranye yang menyala dan sangat mencolok menaiki satu persatu bus yang telah terparkir. Rio menatap seksama bus yang terparkir, kurang lebih terdapat 10 bus berukuran sedang berjejer rapi. Rio mencari-mencari bus yang akan mengantarkannya ke Kecamatan Baranti, ditatapnya satu per satu tulisan yang tertempel di kaca kemudi. “Nah itu dia,” sahut Rio setelah mendapatkan bus berwarna merah dengan kertas tertempel di kaca kemudi –Rombongan Mahasiswa KKN Kecamatan Baranti- Rio melangkahkan kaki jangkungnya berjalan menuju bus yang akan dia tumpangi, sesaat sebelum ia menaiki bus yang akan dia tumpangi Rio menangkap sosok gadis cantik berkulit keling, dengan rambut sebahu, wajahnya manis, klop dengan kullitnya yang keling, eksotik begitulah orang-orang berkomentar ketika melihat sosok perempuan ini.
“Noe gimana kabarmu?” tanya Rio berbasa-basi kepada Nurjannah yang selalu dipanggilnya Noe. “Yah so far so good lah, kalau kamu sendiri gimana Rio?” tanya Noe yang mendongak, menatap wajah Rio. Noe tampak mungil jika berada di hadapan Rio. “Yah baik-baik saja,” mereka berdua bercakap-cakap seputar KKN di daerah Sidenreng Rappang. Di tengah percakapan mereka berdua sesosok gadis cantik menghampiri mereka berdua. “Ini bus ke Baranti kan?” tanya gadis itu yang ternyata adalah Bulan, Bendahara koordinator Kecamatan. “Oh kamu toh Bulan…” Rio tersenyum, pipinya merona merah ketika melihat Bulan, perempuan cantik berhijab, matanya sendu, alisnya seperti sabit muda yang terbit di langit yang mulai temaram, bibirnya merah merona, sekilas Bulan seperti noni blesteran Belanda. “Iya.. ini Bus ke Kecamatan Baranti,” sahut Rio singkat.
Mereka bertiga berbasa-basi mencairkan suasana, tak berselang lama seorang pria bertubuh agak besar menyapa mereka, “Bro..ses.. ayomi naik bus,” sahut AUlil Amri Sulaiman Koordinator Mahasiswaa KKN Kecamatan Baranti. Menegur sapa mereka dengan Bahasa Indonesia Logat Makassar dialek Lakiung yang kental. Ulil mengambil koper Noe dan Bintang, diserahkannya kedua koper tersebut kepada kenek Bus. “Ini Daeng dua koper kasi taro di atas bus,” Ulil ditemani Arul Sekertaris Koordinator Mahasiswa KKN mengemas koper peserta KKN, menaruh koper-koper tersebut ke atap bus, ke bagasi bus dan di bawah kursi penumpang bus, tak ketinggalan Koper Rio juga ditaruh di bawah kursi penumpang. Bus mulai melaju meninggalkan Makassar College, wajah ceria dan senang terpancarkan di wajah para penumpang bus, namun berbeda dengan raut wajah Ulil yang menampakkan sebersit sinar kegelisahan, wajahnya gusar.
“Ada apa Pak Korcam,” sahut Rio yang duduk di sampingnya. “Anu.. kayaknya.. ada yang ketinggalan,” Ulil celingak-celinguk, kadang beranjak dari tempat duduknya, berjalan mondar-mandir dalam bus memerhatikan satu per satu penumpang Bus. “Eee berhentiki dulu pak sopir,” sahut Ulil dengan logat khasnya, ia menghampiri sopir bus. “Kenapai?!” sahut sopir bus yang kemudian meminggirkan busnya. “Ada satu Mahasiswa yang terlupakan pak sopir,” bus berhenti sementara, wajah para penumpang yang tadinya ceria perlahan-lahan berubah menjadi gusar. “Kenapa Pak Korcam?” tanya sekali lagi Rio. “Tabe di para penumpang bus ada kawan kita ketinggalan,” Ulil merogoh jaket KKN-nya mengambil Handphonenya.
“Halo.. Jusman,” sahut Ulil di ujung handphonenya, di saat yang sama di ujung Line Phone terdengar suara juga. “Aduh maaf ini Pak Korcam telatka baru ku urus koperku,” sahut Jusman di ujung Line Phone “Ihh Bisamu itu cess nutaumi jadwalta jam 08 pagi, kau baru nu-urusu ki kopermu?” Ulil menaikkan suaranya dua oktaf, dan memutuskan Line Phone dengan Jusman. “Menunggu Pale orang ini,” sahut salah satu peserta KKN. Para penumpang bus mulai gusar mendapatkan berita satu kawannya tertinggal, salah satu penumpang tampak kesal dengan keadaan ini. “Tinggalkan saja Ulil,” sahutnya.
“Waduh bos tidak bisa ditinggalkan, ka Kordes ini cess,” sahut Ulil, di sela-sela kegusaran tersebut Rio mencuri pandang pada Bulan, Rio menatap Bulan dengan tatapan berbeda, ia sepertinya tertarik dengan perempuan itu. Tak hanya Rio yang sering mencuri pandang ke arah Bulan, Bulan pun demikian selalu mencuri pandang ke arah wajah tampan -lebih tepatnya dikatakan cantik- Rio. Tak berselang lama orang yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. “Maaf saudara,” kata itu terlontar dari mulut Jusman. Air muka Ulil nampak kesal melihat Jusman, namun Ulil hanya menghela napas melihat tingkah kawannya itu.
“Sudahlah yang penting lengkapmi anggotae,” sahut Ulil singkat dan mempersilahkan Jusman mengambil posisi duduk dekat Ritawati. Tepat pukul 09.00 perlahan-lahan bus itu melaju. Bulan dan Rio beberapa kali saling mencuri pandang, hingga Rio memberanikan diri duduk di samping Bulan. “Hai Bulan,” sapa Rio sekedar basa-basi. “Hai juga,” sahut Bulan datar. “Asli mana?” Rio mulai membuka pembicaraan terhadap nona manis yang duduk di sampingnya. “Asli Pinrang,” sahutnya datar. Rio menatap erat mata coklat Bulan seper sekian detik mata mereka saling beradu, mata cokelat Rio dan mata cokelat Bulan, saling beradu.. ada suatu getaran di antara mereka.
Seulas senyuman tersungging di wajah Bulan, “Kalau kamu sendiri namanya siapa? Dan asli mana?” “Nama saya Panritta Nur Tasbih Rosario, kamu bisa panggil saya Rio, saya blesteran Bugis-Toraja-Belanda,” “Pantas kamu jangkung, kulitmu putih, wajahmu putih, dan…” Bulan menghentikan ucapannya. “Dan apa?” tanya Rio “Ya.. dan cantik.. kamu cowok cantik,” sahut Bulan. Rio tertawa mendengar ucapan Bulan, iya tidak marah dikatakan cowok cantik, mengingat faktanya demikian apa adanya.
“Yaah, banyak yang mengatakan demikian, ini karena perpaduan antara Ayah dan Ibuku, tubuh jangkungku diwariskan oleh Ayahku sedangkan wajah cantik ini diwariskan oleh Ibuku, wajahku lebih mirip Ibuku,” sahut Rio. “Oh iya.. Rio kamu dari jurusan mana?” “History And Cultural Study,” jawab Rio singkat. “Oh gitu yah?” “Oh iya Bulan kamu dari Pinrang kan? Tahu tidak kenapa daerahmu dikatakan Pinrang?” Tanya Rio, Bulan hanya mengeritkan dahinya. “Hmm tidak tahu, kamu?” Rio memperbaiki posisi duduknya, dibuatnya senyaman mungkin, bus mulai melaju dengan kencang memasuki Tol Reformasi. “Nah gini ceritanya,”
—
Tersebutlah seorang Raja dari Sawitto bernama La Dorommeng La Paleteange memerintah kerajaan Sawitto dengan adil dan makmur, Raja Sawitto ini dikenal bijaksana sehingga rakyatnya begitu mencintainya, suatu hari tersiarlah kabar bahwa kerajaan Sawitto akan diserang oleh kerajaan besar di negeri Selatan, Kerajaan Gowa. Raja Sawitto gusar mendengar desas-desus yang beredar di seantero negeri. Raja Sawitto berlalu lalang di Bailiriung Sao Raja, Istana Kerajaan Sawitto, tibalah seorang Bangsawan Muda bernama La Pagalu Arung Mattirosompe pria berumur sekitaran 22 tahun.
“Maafkan Hamba Puang, saya ke sini membawakan surat resmi dari Kerajaan Gowa,” La Pagalu seorang bangsawan Sawitto yang menjabat Tomairilaleng Lolo (Sekertaris Kerajaan) duduk bersimpuh memberikan gulungan surat yang bercapkan emas dengan segel kerajaan Gowa melingkar pada gulungan tersebut. La Dorommeng raja Sawitto mengambil gulungan tersebut, dibacanya dengan seksama isi surat tersebut, pupil mata sang raja membesar, tangannya sedikit gemetar membaca isi surat itu.
“Ternyata desas-desus itu benar adanya, bukan kabar angin, dalam waktu dekat Sawitto akan dijadikan Palili (Kerajaan Bawahan -daerah vasal) oleh Kerajaan Gowa, La Pagalu Tomairilaleng Lolo na Sawitto panggil Petta PongawaE (Panglima Kerajaan) Tomairilaleng Toa (Menteri Urusan Dalam Negeri) dan Makkadang Ritana (Menteri Urusan Luar Negeri) malam ini kumpulkan mereka semua di Baruga Istana Kerajaan,”
—
Tomairilaleng Lolo menyusuri setapak jalan yang dirimbuni pepohonan, suara lolongan anjing menemani malam La Pagalu menuju rumah pembesar kerajaan Sawitto, La Pagalu menghentikan langkahnya di depan rumah panggung yang besar dengan Timpaq Laja -bagian atap rumah- tersusun empat. Tangga rumahnya menghadap ke taman yang luas. Tomairilaleng Lolo mengetuk rumah itu, tak berselang lama pintu terbuka dan nampak sesosok pria tua yang berumur kurang lebih 60 Tahun, jenggotnya telah putih, wajahnya senja, keriput-keriput nampak pada garis-garis wajahnya. Nampak jelas sebuah goresan hidup yang terlukiskan pada wajah tuanya.
“Apa gerangan Tomairilaleng Lolo mengunjungi Tomairilaleng Toa di malam yang gelap ini?” “Maafkan saya puang Tomairilaleng Toa, maksud kedatangan saya di tengah malam ini karena perintah dari Raja Sawitto,” “Apa gerangan sehingga Yang Mulia Raja memanggil hamba,” sahut Tomairilalaleng Toa yang masih berdiri di depan pintu rumahnya. “Raja memanggil semua pembesar kerajaan agar segera menuju Baruga Istana Sawitto, ada pertemuan penting yang harus dihadiri,” Tomairilaleng Lolo kemudian memberikan sebuah gulungan bercap kerajaan Sawitto. Tomairilaleng Lolo pamit dan menuju kediaman pembesar kerajaan lainnya, Petta PongawaE dan Makkaddang Ritana.
—
Suasana Baruga Istana Sawitto sunyi senyap. Seluruh pembesar kerajaan melaksanakan Tuddang Sipulung (Musyawarah). Raja Sawitto La Dorommeng duduk di singgasananya, para pembesar lainnya duduk di tempatnya masing-masing, Tomairilalelng Lolo dan Tomairilaleng Toa duduk berhadapan, serupa dengan Makkadang Ritana dan Petta PonggawaE. Mereka berlima duduk bersila bersama membicarakan permasalahan penting, rencana kerajaan Gowa menaklukkan kerajaan Sawitto.
“Terima kasih untuk para pembesar kerajaan menghadiri Tuddang Sipulung di tengah malam ini, saya terpaksa mengganggu para puang. Seperti yang puang ketahui kerajaan Gowa akan menaklukkan Sawitto, dan menjadikan Sawitto sebagai Palili dari Kerajaan Gowa, bagaimana pendapat para puang pembesar Kerajaan Sawitto?” “Maaf yang mulia, surat dari kerajaan Gowa yang bermaksud menjadikan kerajaan Sawitto sebagai Palili sungguh sangat menyayat hati, itu merendahakan siri,” sahut Petta PonggawaE.
“Saya sebagai panglima kerajaan akan siap menjadi benteng demi tegaknya kerajaan Sawitto, seribu lebih laskar-laskar kerajaan siap menghadang gempuran laskar-laskar Gowa jika perlu kita menyerang mereka terlebih dahulu sebelum Gowa menyerang kita,” “Jangan gegaabah La Tunrung Petta PonggawaE Sawitto, jangan asal main serang saja.. kita tidak mengetahui berapa banyak laskar-laskar kerajaan Gowa,” sahut La Campagalaya Makkadang Ritana Sawitto, pria paruh baya yang telah lama menduduki posisi Makkadang Ritana (Menteri urusan luar negeri kerajaan). “Apa yang dikatakan La Campagalaya benar adanya wahai La Tunrung, kita harus mengetahui bagaimana kekuatan lawan,” La Pananrangi Tomairilalelng Toa menimpali perkataan La Tunrung.
“Jadi menurutmu kita harus menyerahkan Sawitto, begitu? Dan memberikan Upeti setiap tahunnya seperti yang tertuliskan dalam gulungan surat ini,” Sahut La Tunrung Berapi-api meladeni La Pananrangi sembari memegang gulungan dari kerajaan Gowa. “Jaga sikapmu Petta PonggawaE terhadap bangsawan senior La Pananrangi Tomairilaleng Toa,” sahut La Dorommeng menegur La Tunrung. “Maafkan hamba yang mulia,” sahut La Tunrung, ia kemudian meminta maaf kepada La Pananrangi bangsawan sawitto yang telah lama menjabat sebagai Tomairilaleng Toa (Menteri Urusan Dalam Negeri).
“Bagaimana menurutmu Tomairilaleng Lolo, engkau baru-baru ini belajar di Somba Opu, Ibu Negeri Kerajaan Gowa-Tallo, jadi setidaknya engkau mampu memberikan gambaran tentang negeri itu?!” Sahut La Dorommeng. “Yang mulia, kerajaan Gowa adalah kerajaan yang besar, kekuasaannya telah meluas hingga ke Negeri Siang dan Negeri Turatea. Jumlah laskar-laskar mereka sangat banyak, menguasai pesisir pantai yang panjang, benteng-benteng kerajaan sangat banyak, yang paling megah adalah Somba Opu dan Ujungpandang…” Para pembesar kerajaan Sawitto memerhatikan dengan seksama penjelasan Tomairilalelng Lolo, bangsawan Sawitto yang paling muda di antara mereka.
“..hanya satu kerajaan yang mampu mengimbangi kekuatan kerajaan Gowa, yakni kerajaan Bone,” Tomairilaleleng Lolo memerhatikan para bangsawan Sawitto, sebelum mengakhiri pembicaraan mengenai Kerajaan Gowa. “Jadi menurutmu apa yang harus dilakukan?” tanya La Tunrung kepada pemuda bangsawan itu. “Mari kita mematai-matai kerajaan Gowa untuk mencari informasi sahih rencana penaklukkan mereka,” sahut Tomairilaleleng Lolo dengan yakin. Setelah Tudang Sipulung yang mereka lakukan disusunlah rencana untuk misi spionase Kerajaan Gowa, misi spionase yang bertujuan untuk menyusun strategi bertahan menghadapi serangan kerajaan Gowa yang tak pasti kapan datangnya.
—
Fajar telah menyingsing menyinari Kerajaan Sawitto yang subur akan padi-padi, padi-padi itu yang mulai menguning, rakyat bersuka ria menyambut mentari pagi, “Kuru Sumange Dewata SewaE,” sahut salah satu rakyat Sawitto yang menuruni anak tangga rumahnya sembari membawa cangkul, demikian pula rakyat yang lain berseru “Kuru Sumange La Dorommeng dilindungilah engkau Raja Sawitto oleh Dewata SewaE,” Matahari mulai meninggi rakyat mulai turun sawah untuk memanen padi yang telah merunduk, rasa syukur dan sukacita terpancar di wajah rakyat Sawitto, namun di sisi lain di Sao Raja Sawitto La Dorommeng gusar melepaskan kepergian Tomairilaleng Lolo yang akan menyusup ke ibukota negeri Kerajaan Gowa, Somba Opu.
“Apa kau yakin Anri (Adinda)?” tanya La Dorommeng. “Baginda tuan raja Sawitto, saya tidak apa-apa,” sahut Tomairilaleng Lolo singkat. “Baiklah semoga engkau dirahmati Dewata SewaE, untuk sementara tugas-tugasmu akan diambil alih oleh La Pananrangi Tomairilaleleng Toa,” Tomairilaleng Lolo mengangguk dan memerhatikan seorang bangsawan muda yang berdiri di samping sang Raja yang membawa sebuah gulungan.
“Kamu sudah siap Jennang Sawitto?” tanya Tomairilalelng Lolo kepada Jennang Sawitto kepala urusan rumah tangga kerajaan. “Apa pun yang dititahkan Raja kepada Hamba saya siap,” sahut La Pengeppe Maccora. “Baiklah Jennang Sawitto pastikan surat ini sampai ke tangan Raja Gowa, dan untukmu Tomairilaleng Lolo berhati-hatilah,”
La Dorommeng melepaskan kedua bangsawan mudanya, Jennang Sawitto membawa surat resmi yang akan diberikan kepada Raja Gowa, sedangkan Tomairilalelng Lolo menyamar sebagai seorang pedagang keliling. Bersama angin berhembus dan mentari yang mulai meninggi mereka berdua menuju ke arah selatan, menyusuri hutan-hutan dan pematang sawah. Di Bacukiki mereka berdua berpisah, Jennang Sawitto yang sedang menunggangi kuda jantan bewarna putih tampak gagah, di pundaknya terikat sebuah gulungan yang merupakan surat resmi jawaban Kerajaan Sawitto. Sedangkan Tomairilaleng Lolo nampak biasa dengan balutan busana rakyat jelata bersama gerobak-gerobak yang penuh barang dagangan seperti kain sutera, keramik, badik, dan sebagainya.
“Baiklah Tomairilaleng kita berpisah di sini,” sahut Jennang Sawitto di atas pelana kudanya. Tomairilaleng Lolo hanya mengangguk lalu bergegas meninggalkan Jennang Sawitto yang telah memacu kudanya menuju arah selatan. Tomairilaleleng Lolo mengambil rute laut dengan menumpang perahu layar yang akan menuju pelabuhan Somba Opu, sedangkan Jennang Sawitto menyusuri wilayah Kerajaan Tanete, dan Siang, dua kerajaan Vasal Gowa.
Butuh perjalanan 14 hari menyusuri kedua kerajaan tersebut hingga sampai ke Kerajaan Gowa, sedangkan Tomairilalelng Lolo Sawitto hanya membutuhkan waktu 7 hari perjalanan laut. “Baiklah sekalian penumpang kita sudah sampai di Pelabuhan Somba Opu,” sahut nahkoda kapal, seseorang pejabat pelabuhan menemui salah satu kelasi kapal. “Mana nahkodamu?” tanya pejabat pelabuhan yang kemudian dikenal sebagai Syahbannara. “Maaf tuan Nahkoda berada di bagian anjungan kapal,” sahut Kelasi Kapal, Syahbannara kemudian menghampiri Nahkoda kapal yang berdiri di samping juru mudi kapal. “Maaf Puang anda Nahkoda kapal ini?” tanya Syahbannara kepada Nahkoda Kapal yang berkumis dan berjenggot tebal itu. “Iya Karaeng (panggilan kehormatan) saya Nahkoda Kapal, kalau boleh tahu Karaeng siapa?” tanya Nahkoda Kapal. “Saya Syahbannara pejabat yang berwenang di pelabuhan ini, kedatangan saya ke sini meminta Puang membayar bea masuk pelabuhan dan salinan manifest penumpang kapal,”
Nahkoda itu mengangguk dan memberikan beberapa satu kati koin emas, jumlah yang sangat banyak untuk biaya bea masuk, tak seperti di pelabuhan-pelabuhan lainnya di nusantara, bea masuk di pelabuhan Somba Opu sangat mahal.
“Mahal betul wahai Puang bea masuk ke pelabuhan ini,” sahut Juru Mudi kapal kepada Nahkoda yang baru balik mengantar Syahbannara turun dari kapalnya. “Itu harga yang pantas dibayar untuk berlabuh di Pelabuhan besar ini,” sahut Nahkoda kapal tersebut. “Kamu tahu kenapa bea masuk di sini lebih mahal, bahkan mengalahkan pelabuhan sunda kelapa.. itu karena harga rempah-rempah di kerajaan ini dijual sangat murah, lebih murah dari tempat asalnya di Maluku, maka untuk menyiasati itu, ditetapkan bea masuk yang sangat mahal,” Juru Mudi kapal mengangguk-angguk mendengar penjelasan Nahkoda Kapal tersebut.
“Bahkan untuk kapal dari kerajaan luar dikenakan biaya bea masuk lebih mahal lagi, apalagi kapal-kapal dagang dari dunia barat seperti itu,” Nahkoda kapal menunjuk deretan kapal-kapal layar yang tiangnya tinggi menjulang berbendera Portugis, Inggris, dan Denmark kapal-kapal itu dikenakan Bea masuk 4 kali lebih mahal dari yang dibayarkan tadi, karena harga rempah-rempah di negeri mereka itu lebih mahal dari emas,”
—
“Oh jadi bisa dikatakan Kerajaan Gowa-Tallo menyubsidi rempah-rempah yang menjadi komoditas paling dicari pada abad itu,” sahut Bulan yang duduk di samping Rio. “Iya Bulan, jadi konsep subsidi yang kita kenal sekarang sudah ada di zaman kerajaan Gowa-Tallo, tepatnya subsidi silang, Bea Masuk ke Pelabuhan yang sangat mahal dan perdagangan bebas yang dijalankan kerajaan Gowa-Tallo membuat perputaran uang mengalir deras,” sahut Rio. “Jadi selanjutnya apa yang terjadi kepada Tomairilalelng Lolo dan Jennang Sawitto saat tiba di Kerajaan Gowa-Tallo?” mendengar pertanyaan itu Rio hanya tersenyum dan mengacak-ngacak rambut Bulan yang terurai panjang dan bergelombang persis rambut bangsawan-bangsawan kerajaan yang Maddaraq Takkuq (Berdarah Biru).
Bersambung
Cerpen Karangan: Ilyas Ibrahim Husain Twitter: @adilbabeakbar Facebook: Ilyas Ibrahim Husain Nama Ilyas Ibrahim Husain, lahir di Sungguminasa Kabupaten Gowa pada 6 April 1993. Cerpen berjudul Rio dan Bulan merupakan cerpen kedua dalam kumpulan cerpen saya yang berjudul Tabularasa Sidenreng-Rappang.