Seperti siasat yang telah direncanakan sebelumnya, Jennnag Sawitto bertemu di Pasar Kerajaan yang terletak di Sisi Utara Benteng Somba Opu tempat para pedagang dari berbagai kerajaan Nusantara berkumpul menjual belikan barang dagangannya, termasuk pedagang Arab, Tiongkok, Belanda, Inggris, Portugis, Melayu, dan Denmark. “Bagaimana Tomairilalaeng Lolo adakah sesuatu yang menarik perhatianmu?” tanya Jennang Sawitto yang menyamar sebagai pembeli barang dagangan Tomairilaleng Lolo. “Semalam saya berhasil menyusup ke Benteng Somba Opu dan mendapatkan ini,” Tomairilaleng Lolo memperlihatkan sebuah gulungan kecil kepada Jennang Sawitto.
—
Malam Kota Somba Opu begitu ramai, obor masih tetap menyala ditambah lagi rembulan purnama bersinar terang, seorang pria dalam balutan pakaian serba hitam dan wajah tertutup menyisahkan kedua bola mata, mata itu menatap tajam lingkungan Istana Somba Opu, ia bersembunyi di balik bayang-bayang malam. “Di situ pasti Karaeng Tukajannangang (Menteri Pertanhan dan Keamanan) menyembunyikan rencana penyerangan ke Sawitto,” sahut pemuda dalam balutan pakaian serba Hitam, di sisi lain dari kejauhan ia melihat bangsawan muda diapit oleh kasim istana bersama-sama pembesar kerajaan menuju Bailiriung Balla Lompoa Somba Opu yang terletak di sebelah utara Istana Tamalate kediaman pribadi Raja Gowa.
“Bagus sesuai rencana Jennang Sawitto mengalihkan perhatian,” sahut pemuda itu yang rupanya Tomairilalelng Lolo Sawitto. Kediaman Karaeng Tukajannangang nampak lengang, hanya ada dua penjaga berdiri, pelan-pelan Tomairilalaleng Lolo menuju rumah panggung itu, bersembunyi di Awa Bola (bagian bawah rumah panggung), setelah keadaan tenang dan aman Tomairilaleng Lolo menyusup ke kediaman Karaeng Tukajannangang melalui jendela yang berhasil dibukanya. Di dalam bilik pribadi Karaeng Tukajannangnga terdapat beberapa gulungan-gulungan diperiksanya satu per satu gulungan itu, “Pasti di salah satu gulungan itu terdapat rencana penyerangan Kerajaan Gowa ke Kerajaan Sawitto,”
Didapatinya satu gulungan bercap logo Kerajaan gowa, dibukanya dan dibacanya seksama gulungan itu, “Inilah yang ku cari,” sahutnya, dicatatnya gulungan itu dan bergegas meninggalkan kediaman Karaeng Tukajannanga. Di tempat lain dalam waktu bersamaan, bangsawan Muda kerajaan Sawitto, Jennang Sawitto memasuki Balairung Balla Lompoa Somba Opu, ia diterima oleh Tomairilalaleng Lolo Gowa. “Selamat datang pembesar Kerajaan Sawitto, Jennang Sawitto yang terhormat,” sahut Tomairilalelng Lolo Gowa, berbeda dengan Tomairilaleng Lolo Sawitto yang masih muda, Tomairilaleng Lolo Gowa sudah berusia lanjut.
“Terima kasih atas sambutannya Karaeng Tomairilalleng Lolo na Gowa, kedatanganku ke sini bermaksud menghantarkan surat resmi dari Kerajaan Sawitto,” sahut Jennang Sawitto, yang didampingi pembesar Kerajaan Gowa. Karaeng Tukajannanga, Karaeng Pabundukang (Panglima Perang), dan Daengta Kaliya (Kepala Urusan Agama). Tomairilaleng Lolo Gowa menerima surat tersebut, lalu membacanya dengan seksama, gulungan surat bertuliskan Lontara dalam Bahasa Bugis. “Hmm baiklah saya akan sampaikan pesan ini kepada Raja Gowa,” Tomairilalelng Lolo Gowa memberikan surat itu kepada salah satu kasim istana. “Simpan surat ini di bilik tempat peristirahatanku,” sahutnya singkat.
Tomairilalaleng Lolo Gowa dan beberapa pembesar kerajaan mengajak Jennang Sawitto untuk menikmati pesta penyambutan yang berlangsung di Bailiriung Balla Lompoa Somba Opu, semua pembesar kerajaan menghadiri Pesta tersebut kecuali Sombaya (Raja) Gowa dan Tumabicara Butta (Perdana Menteri) Gowa yang masing-masing berada di Benteng Panakkukang dan Benteng Tallo.
“Tomairilaleng Lolo bolehkah saya tahu apa isi dari surat balasan Raja Sawitto?” tanya Karaeng Tukajannangang kepada Tomairilaleng Lolo Gowa. “Isinya kurang lebih penolakan Sawitto sebagai kerajaan Palili Gowa dan lebih memilih bertarung dengan Kerajaan ini,” Busik Tomairilalelng Lolo Gowa kepada Karaeng Tukajannangang Gowa. “Lancang sekali, berarti mau tak mau kita harus menyerangnya,” Busik karaeng Tukajannangang. “Iya untuk menguatkan Kerajaan ini dan menambah sumber daya kita harus menaklukkan Sawitto dan mengambil alih Pelabuhan Bacukiki, satu-satunya saingan yang cukup berat untuk pelabuhan Somba Opu adalah Pelabuhan Bacukiki, kita telah menaklukkan Pelabuhan Siang, kita juga telah menaklukkan kerajaan Tanete yang kaya akan sumber daya alam,” Bisik Tomairilalaleng Lolo Gowa.
“Menaklukkan Sawitto juga memperlemah Federasi Limae Ajattappareng, sehingga memudahkan kita untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya,” sahut Karaeng Tukajannangang, Tomairilaleng Lolo menyinggul lengan Karaeng Tukajannangang, seperti kode agar mengecilkan suaranya supaya tidak terdengar oleh Jennang Sawitto yang duduk di dekatnya. Untung saja suara riuh pembesar kerajaan yang sedang berpesta dan menyabung Ayam di gelanggang Bailirung Balla Lompoa Somba Opu. “Karaeng, jalankan rencana yang telah disusun selama ini.” sahut Tomairilalelng Lolo Kepada Karaeng Tukajannangang.
—
Jennang Sawitto membaca gulungan surat kecil dari Tomairilalelng Lolo Sawitto, “Jadi mereka akan menyerang Sawitto pada Bulan Purnama,” bisiknya. Tomairilalaleng Lolo Sawitto mengangguk. “Itu berarti 30 hari dari sekarang,” Tomairilalelng Lolo yang masih dalam penyamarannya mengangguk. “Informasi ini lekas kita beritahu kepada La Tunrung Karaeng Pabundukang Sawitto dan La Pananrangi Tomairilaleng Toa,” sahut Jennang Sawitto dan meninggalkan Tomairilaleng Lolo sambil membawa beberapa kain sutera yang dibelinya dari Tomairilalelng Lolo yang sedang menyamar.
—
“Jadi setelah memata-matai Kerajaan Gowa, lantas mereka langsung pulang ke negerinya begitu?” tanya Bulan kepada Rio, “Hanya Tomairilalleng Lolo yang langsung pulang ke Sawitto, sedangkan Jennang Sawitto lebih memilih ke Kerajaan Bone meminta bantuan,” sahut Rio menjawab pertanyaan Bulan. “Jadi Kerajaan Bone membantu kerajaan Sawitto dalam menghadang laju penyerangan Kerajaan Gowa?” tanya Bulan. Rio menggelengkan kepalanya, “Tidak, Kerajaan Bone memutuskan tidak ikut campur akan masalah Kerajaan Sawitto dan Kerajaan Gowa, baginya peperangan terakhir antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone masih meninggalkan luka diantara kedua kerajaan tersebut, walaupun dalam perang terakhir tidak ada yang kalah maupun menang,” Rio pun melanjutkan ceritanya yang di sela beberapa kali oleh Bulan.
—
Singkat cerita La Dorommeng memandangi langit malam, bulan mulai purnama penuh, sisa dua hari waktu penyerangan Kerajaan Gowa, dan sisa dua hari bagi Kerajaan Sawitto mempersiapkan diri untuk mempertahankan sejengkal demi sejengkal wilayah kerajaannya. La Dorommeng sendiri menjadi memimpin pertarungan ini, ia akan bertindak sebagai Panglima Perangnya, dibantu oleh La Tunrung yang menjadi Panglima Muda, La Pananrangi sendiri memimpin pasukan gabungan dari Limae Ajattappareng walaupun jumlahnya tak sebanyak pasukan kerajaan Sawitto. Jennang Sawitto dan Toamirilalleng Lolo ditugaskan untuk mengungsikan semua penduduk kerajaan ke wilayah yang lebih aman terutama perempuan, anak-anak, dan lansia.
“Bagaimana persiapannya?” Tanya Ladorommeng kepada La Tunrung. “Semuanya sudah siap, pelabuhan Bacukiki sudah dikosongkan, semua pasukan kerajaan dan pasukan gabungan telah berada di pos-pos pertahanan masing-masing,” “Bagus, semoga kita bisa mempertahankan setiap jengkal wilayah Sawitto,”
—
Sudah 9 hari 9 malam Karaeng Pabundukang mengarungi Selat Makassar, menuju pelabuhan Bacukiki, menyerangnya dengan tiba-tiba, terdapat 13 iring-iringan kapal phinisi, yang terbesar ditumpangi oleh Karaeng Pabundukang Gowa, orang-orang menyebutnya Karaeng Bontomarannu, Pedagang-pedagang dari Negeri Belanda, Inggiris, dan Denmark menjulukinya Admiral Monte Marannu, seorang bangsawan yang cakap, cerdik dan menguasai Bahasa Asing, Melayu, Portugis, dan Belanda.
“Bagaimana persiapannya La Picco?” tanya Karaeng Bontomarannu kepada La Picco juru mudi kapal, nama aslinya Daeng Sitaba, namun orang-orang memanggilnya La Picco karena mata sebelah kirinya buta, bekas sebatang parang nampak jelas di mata kirinya, luka yang didapatkan saat berperang melawan Kerajaan bone. “Persiapan sudah siap, malam bulan Purnama kita sudah tiba di pelabuhan Bacukiki dan melakukan serangan mendadak,” sahutnya. “Bagus, dengan ditaklukkannya Sawitto, rencana menguasai Jazirah Celebes akan berhasil,” sahut Karaeng Bontomarannu.
Di tempat lain, semua pembesar kerajaan Sawitto berkumpul di Bailiriung Sao Raja Sawitto, susananya begitu tegang, pembesar-pembesar kerajaan itu mengadakan Tudang Sipulung untuk membahas strategi bertahan, La Tunrung Karaeng Pabunudkang menjelaskan kepada pembesar-pembesar kerajaan Sawitto mengenai strategi yang akan ditempuh, semua pembesar kerajaan menyimak dengan seksama hingga Tudang Sipulung dihentikan. La Dorommeng mendekati Tomairilalleng Lolo. “Saya meminta kepadamu meindungi anakku, dialah penerus kerajaan Sawitto pastikanlah keselamatannya.” sahut La Dorommeng, Tomairilalaleng Lolo mengangguk menyanggupi permintaan junjungannya.
—
Hari pertempuran telah tiba, sedari pagi hingga petang pasukan Sawitto dan pasukan gabungan telah berada di pos-posnya masing-masing, suasana Bacukiki hening, mencekam. Belum ada tanda-tanda kedatangan pasukan Kerajaan Gowa, hingga matahari mulai terbenam.
“Aneh sesuai perkiraanku pagi hari tadi pasukan kerajaan Gowa telah tiba,” sahut Tomairilaleleng Lolo yang memegang Parang Panjang dari balik bukit Bacukiki. “Entahlah tetapi kita harus wasapada,” sahut Jennang Sawitto.
Malam semakin gelap, laut Sawitto nampak samar-samar, hanya ada kabut yang diterpa sinar Rembulan Purnama, dan… Ciuuuuu!! Suara tembakan meriam terdengar, sebuah bola meriam terlontar dari balik kabut, disusul tembakan meriam-meriam yang menghujam bibir pantai Bacukiki, Pelabuhan Bacukiki porrak-poranda, dermaga pelabuhan terbakar, api berkobar, suasana yang tadinya gelap berubah menjadi merah menyala.
Kapal-kapal Phinisi mulai berlabuh di pantai Bacukiki, baratus-ratus pasukan menyerbu rumah-rumah di tepian pantai, “Kosong,” sahut salah satu pasukan kerajaan gowa, “Di sini juga kosong,” sahut yang lainnya, pasukan-pasukan kerajaan gowa menyusuri setiap jengkal wilayah Sawitto dalam hal ini Bacukiki, hingga mendekati bukit-bukit yang ada di Bacukiki. “Sekarang!!! Seru La Dorommeng,” dan menyerang Pasukan-pasukan Kerajaan Gowa dari dua arah, arah bukit dan arah lembah di balik semak-semak. Pertempuran tak terhindarkan, walaupun Kerajaan gowa unggul pasukan namun karena posisinya yang terjepit dan diserang dalam dua arah membuat pasukan kerajaan Gowa kocar-kacir, di sisi lain Pasukan Kerajaan Sawitto seperti singa buas yang menerkam mangsa-mangsanya. Di atas geladak Kapal Phinisi Karaeng Bontomarannu menerima Laporan dari La Picco.
“Gawat karaeng pasukan kita kocar-kacir, rupanya kerajaan Sawitto telah memperkirakan penyerangan ini,” sahut La Picco yang mulai panik. “Kurang ajar, cerdik juga Raja itu, siapkan meriam-meriam dari kapal dan bawa ke tepian kita serang mereka,”
Pertempuran berlangsung seru hingga fajar menyingsing, banyak mayat-mayat yang tergeletak dan bersimbah darah, pantai, tepian pantai dan lembah-lembah berubah warna menjadi merah darah, Pembesar-pembesar Kerajaan Sawitto masih sanggup berdiri melawan pasukan-pasukan kerajaan Gowa, dan masih mampu menghindari tembakan-tembakan meriam dari kerajaan Gowa. “Tak akan ku serahkan Sawitto ke Kerajaan Gowa!!!” seru La Dorommeng dan menyemangati sisa-sisa pasukan miliknya, mereka berlari maju menuju tepian pantai yang dipenuhi laskar-laskar Kerajaan Gowa yang mengarahkan moncong meriang buatan Portugis.
Banyak yang menjadi korban dari keganasan Meriam-meriam itu, menyerahkah Ladorommeng dan pembesar-pembesar kerajaan Sawitto, tidak.. mereka masih tetap teguh dalam pendirian mempertahankan wilayahnya, begitu mendekati laskar-laskar gowa yang mengarahkan moncong meriam kepadanya, ditebasnya satu per satu mereka tanpa sisa, kini La Dorommeng, La Tunrung, La Pananrangi beserta seratusan lebih pasukan berperang dengan sisa-sisa pasukan Kerajaan Gowa. Karaeng Bontomarannu memerhatikan pertarungan tersebut dari atas geladak kapal, “Sungguh luar biasa Raja Sawitto menyemangati rakyatnya, inilah yang disebut lelaki Ugiq sejati, La Picco mari kita sudahi pertempuran ini,” mereka kedua memutuskan turun dari geladak kapal ikut bagian dari peperangan.
Karaeng Bontomarannu berdiri di bibir pantai dan berseru kepada sisa-sisa pasukan Kerajaan Gowa yang berjumlah seratusan. “Hai kalian To Baranina Gowa (Pemberani Gowa) To Ponggawana Gowa (Pendekar Gowa) Ewako (Majulah),” pertempuran semakin seru dan sengit diantara dua pasukan tersebut, semua pasuka sama menyerbu. “La Picco kamu atasi La Pananrangi, aku sendiri yang menghadapi La Dorommeng,”
La Pananrangi menebas kiri kanan pasukan gowa yang mendekat, “Sial kita terdesak,” sahutnya La Pananrangi dikepung oleh berpuluh pasukan kerajaan Gowa, walaupun usianya sudah senja namun ketangkasan dan pengalaman membuktikan bahwa dia adalah singa tua dari Sawitto, dihabisinya semua pasukan tersebut. “Rasakan ini,” sahut La Pananrangi menusukkan Badik ke jantung lawannya, napasnya tersengal-sengal, namun sesaat suara letusan terdengar, bukan meriam melainkan bedil menembus lengannya. Darah bercucuran dari lengannya, seorang pasukan kerajaan Gowa menembaknya dengan bedil dari kejauhan, sebelum menembak kepala pria tua itu, sebuah badik terhunus di jantung pasukan gowa yang memegang bedil tersebut.
“Tomairilaleng Toa tidak apa-apa?” Tanya Jennang Sawitto “Mari kita bawa Tomairilaleng ke tempat yang aman,” sahut Tomairilaleng Lolo, dan memapah Tomairilaleng Toa.
—
Bus berhenti di daerah Barru, Rio melihat arlojinya, “Sepertinya sudah saatnya salat jumat,” Rio menghentikan ceritanya mengenai Pinrang. “Selesai salat jumat kita lanjut yah,” Masjid Barru berdiri megah, menggabungkan arsitektur Bugis dan Kolonial, Jendela dan ukiran-ukiran dindingnya khas Bugis hanya atapnya yang menyerupai Katedral Rotterdam yang biasa Rio lihat dari Internet, banyak Mahasiswa memanfaatkan momen ini untuk berselfi ria termasuk seorang pemuda yang dikenalnya. “Rio ke sini dulu,” sahut pemuda itu, Rio hanya tersenyum mendekati sahabatnya, Miftahul Khaer Tahir, Mahasiswa Makassar College, teman sejurusan dan teman seangkatan, perawakannya sedang tidak gemuk tidak kurus, tidak tinggi tidak pula pendek, namun wajahnya sedikit Arabian, terutama dengan berewok tipis yang tumbuh di sekitaran wajahnya.
“Foto dulu bro,” Miftahul Khaer menyerahkan kameranya dan memotret sahabatnya. Setelah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang Muslim, Rio langsung naik ke busnya diikuti beberapa Mahasiswa lainnya. “Lanjut dong ceritanya penasaran,” sahut Bulan, Rio tersenyum dan duduk kembali di kursinya, kemudian ia melanjutkan ceritanya.
—
“Setelah La Pananrangi di bawah ke tempat yang aman dan luka tembakannya dibalut dengan kain Lenso milik Jennang Sawitto, seorang pemuda berlari tersungut-sungut menghampiri mereka, “Gawat puang, Raja kita Puangta La Dorommeng tertangkap,” Tomairilaleng Lolo, La Pananrangi dan Jennang Sawitto kaget mendengar berita itu, tertangkapnya Raja Sawitto adalah pertanda kalahnya kerajaan Sawitto, “Bagaimana dengan La Tunrung?” tanya Jennang Sawitto
“La Tunrung gugur saat melindungi Puangta Sawitto La Dorommeng dari tebasan parang Karaeng Bontomarannu dan tembakan bedil dari La Picco, pengawal Bontomarannu,” Jennang Sawitto jatuh karena pukulan berat yang dihadapinya, begitu pula Tomairilalelng Lolo hanya tertunduk lesu, ia menggenggam tangan La Pananrangi, air matanya bercucuran, “Selamatkan La Dorommeng, Puangta Sawitto,” sahut La Pananrangi yang kemudian mengehembuskan napas terakhir.
Sebuah pukulan berat bagi kerajaan Sawitto, Panglima Kerajaan Sawitto La Tunrung gugur di medan perang, Sang Bangsawan Bijak La Tunrung Tomairilaleng Toa juga telah berpulang menyusul La Tunrung dan paling menyakitkan Raja Sawitto telah ditahan dan diasingkan ke Kerajaan Gowa, pertempuran antara kerajaan Gowa dan Kerajaan Sawitto berakhir dengan kekalahan Sawitto dengan hormat. Diatas geladak kapal Phinisi Karaeng Bontomarannu, La Picco mengahampiri La Dorommeng yang telah menjadi tahanan kerajaan, walaupun demikian Karaeng Bontomarannu memperlakuakn Raja Sawitto dengan hormat. “Anda sudah kalah Puangta Sawitto La Dorommeng,”
La Dorommeng hanya berdiri tidak menatap Karaeng Bontomarannu, ia hanya berdiri di atas geladak kapal memandangi Pelabuhan dan Pantai Bacukiki yang hancur lebur, hatinya remuk redam. “Karaeng walaupun aku kalah aku masih tetap menegakkan Siri Rakyat Sawitto, walaupun aku tahu bahwa pertempuran ini tak sebanding, kami masih tetap pada pendirian yang teguh, lebih baik mati di medan laga daripada menjadi budak dari negerimu,” sahut La Dorommeng yang kakinya terikat teralis rantai yang terhubung dengan tiang layar kapal Phinisi. Setelah La Dorommeng berada di pengasingan, Kerajaan Sawitto dipimpin kolektif oleh Jennang Sawitto dan Tomairilaleng Lolo, Sawitto telah menjadi Palili Gowa pelabuhan Bacukiki telah hancur lebur, tak ada lagi perahu-perahu berlabuh, rakyat pun hanya termenung meratapi nasib, para lansia, perempuan, dan anak-anak mulai menata kehidupannya kembali.
—
“Selesai.” sahut Rio singkat. “Ceritanya sudah selesai?” tanya Bulan. “Iya,” Rio mengangguk kepada Bulan. “Terus nama Pinrang dari mana?” tanya Bulan. “Oh itu, setelah beberapa lamanya La Palatteangge Tomairilaleng Lolo Sawitto menghadap ke Sombaya Gowa, ia meminta agar kiranya rajanya dikembalikan dari pengasingan dan permintaan itu dikabulkan oleh Kerajaan Gowa. Ketika Raja tersebut datang ke Sawitto semua rakyat menyambutnya dengan gembira karena junjungannya telah kembali akan tetapi terdapat keanehan dari Raja Sawitto,”
“Apa itu Rio?” “Raut wajah La Dorommeng berubah, tidak menunjukkan raut wajah yang senang karena kembali ke negerinya, karena itulah semua rakyat yang menyambutnya berbisik riuh rendah ‘Pinra bawangngi tappana puatta pole Gowa’ yang artinya berubah saja mukanya Tuan Raja Kita dari Gowa. Setelah itu rakyat menyebut daerah tersebut sebagai Pinra yang artinya berubah, kemudian lambat laun menjadi Pinrang.” sahut Rio yang kemudian tersenyum manis kepada Bulan.
Cerpen Karangan: Ilyas Ibrahim Husain Twitter: @adilbabeakbar Facebook: Ilyas Ibrahim Husain Nama Ilyas Ibrahim Husain, lahir di Sungguminasa Kabupaten Gowa pada 6 April 1993. Cerpen berjudul Rio dan Bulan merupakan cerpen kedua dalam kumpulan cerpen saya yang berjudul Tabularasa Sidenreng-Rappang.