Sepuluh tahun kemudian, pasca kemerdekaan, 9 November 1945. tepatnya di masjid pondok. Pagi itu para santri terlihat bersemangat membaca Al-quran, kabar tentang gerakan mempertahankan kemerdekaan semakin memanas, setelah kematian jendral mallaby pada tanggal 30 okt 1945, besoknya Panglima AFNEI Letjen Philip Christison dengan tegas mengeluarkan ancaman dan ultimatum, jika para pelaku serangan yang menewaskan Brigjen Mallaby tidak menyerahkan diri, maka pihaknya akan mengerahkan seluruh kekuatan militer darat, udara, dan laut untuk membumihanguskan Surabaya.
Di belakang tiang masjid terlihat gadis putih, dengan pipi kemerah-merahan sedang membaca Al-Quran, semenjak kejadian suramnya ketika ia melihat kedua orangtuanya tewas di hadapannya. Kini ia sekarang menjadi anak angkat keluarga kiai, namanya kini adalah Ana ‘Abidah, di sampingnya duduk seorang ibu angkatnya berpawakan agak gemuk namun berwibawa bernama Miskiyyah.
Setelah selesai mengaji Al-Quran, para santri mendengarkan seorang pemuda yang dengan tegas dan jelas menerangkan ilmu agama di depan mimbar, gadis itu menatap wajah pemuda yang penuh cahaya di hatinya, tak ada yang tahu apa yang dipikirkan gadis ini, guz Ilzam merupakan salah satu pengganti kiai yang telah wafat tiga tahun lalu, sekaligus menjadi kakak angkatnya juga. Melihatnya berceramah, berkobar-kobar. Memotivasi para santri dan warga untuk berperang, siap mati untuk mempertahankan negara NKRI. Ia teringat waktu bertemu dia pertama kali, saat ia baru saja sadar dari tragedi kematian kedua orangtua, rasanya ingin sekali mengikuti mereka, aku yang hanya terdiam di kamar melihati kalung perak bulat, berbentuk lambang matahari dengan ukuran agak besar dan gelang tarbuat dari rajutan jerami, membuatku mengingat mereka. Aku selalu memukul dan membentak orang pribumi yang mendekatiku, ingin rasanya aku menyusul mereka, tak mau makan, bahkan aku sempat membuang nasi tepat di wajah wanita yang kelak menjadi ibu angkatku. Namun kenapa hatiku luluh, ketika anak berusia 12 tahun mendatangiku. Ia tersenyum. Akunya cemberut saat itu. Kagetnya, ia tiba-tiba menyapaku dengan Bahasa belanda fasih, awalnya aku kaget. Ia terus merayuku agar makan, namun aku bersikukuh, bahkan ia memilih tidak makan bersamaku.
“Kenapa kau tidak makan?” Aku bertanya, polos. “Karena kau tidak mau makan.” Ia menatap langit-langit, kemudian menoleh padaku. “Kenapa kau sangat peduli terhadapku, kenapa ikut sedih?” “Bukan hanya aku, semua orang di sini, peduli terhadapmu, termasuk orang yang membuatkan makan juga. Yang membunuh orangtuamu adalah seorang penjahat, mereka juga terkadang merampok golongan kami, jadi, makanlah!” ia mulai menyuapiku. Aku masih enggan. Kurang puas dengan jawabannya. Lengang sejenak antara kita. “kenapa? Kalau kau tidak mau makan, aku juga tidak akan makan, bagiamana aku bisa makan. Apalah arti impianku menyelamatkan negeri ini, jika aku tidak bisa menyelamatkan nyawa seorang gadis cantik di depanku.” Terdiam sejenak. Hatiku luluh. Ia Mengingatkanku dengan kakak kandungku di Belanda, lebih-lebih ia berbahasa belanda, kemudian Ia kembali terseyum, mencoba menyuapiku. “Ayo, buka mulutnya” tangannya menyodorkan sendok. Aku makan dengan lahap ketika itu, aku mulai nyaman bersamanya, tak lama setelah itu kiai menjadikanku anak angkatnya, sering kak Ilzam mengajakku bermain, dan ia juga selalu menggendongku saat pulang sore.
Pernah suatu hari aku tersesat. Hingga malam tiba, ketika itu aku sempat membayangkan kak Ilzam yang datang sebagai kolongwewe, sampai aku menggigit tangannya hingga berdarah. Saat ia memelukku, ia menyuruhku agar merasakan detak jantungnya, akhirnya aku sadar dan meminta maaf, ia hanya tersenyum kemudian menggendongku pulang. Hingga saat usiaku mulai menginjak 9 tahun, barulah ia menjaga jarak. Menjauhi fitnah, karena kami tidak memiliki hubungan darah. Terlebih, sejujurnya aku sudah mulai jatuh hati kepadanya.
Tak terasa, ceramah pagi telah selesai, diluar ada utusan yang mengabarkan perintah langsung dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai komando tertinggi Laskar Hizbullah telah menginstruksikan Laskar Hizbullah dari berbagai penjuru memasuki Surabaya untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan dengan satu sikap akhir. Menolak menyerah. Dengan KH Abbas Buntet Cirebon sebagai memimpin langsung komando pertempuran. Setelah utusan itu izin pamit, untuk pergi ke tempat lain. Kak Ilzam langsung mengumpulkan para santri. Ia berceramah, memberikan semangat, mengobarkan semangat perjuangan. Bawalah senjata seadanya, yang penting adalah tekad. Lihatlah dahulu umat islam di perang badar berjumlah 313 bisa mengalahkan kaum kafir, yang jumlahnya jauh lebih banyak, saat berperang mereka tak mencari apapun kecuali surga yang telah Allah persiapkan, dan sekarang surga itu berada di kota ini, siapa yang ingin kenikmatan selamanya? takbir!?” Berteriak, Sambil mengepalkan tangannya ke angkasa. “Allahu akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!” para santri mengepalkan tangan, kerumunan suaranya, memecah ketakutan. “Takbir!?” Kata Ilzam. Dengan nada lebih keras. “Allahu akbar!” gemuruh takbir memenuhi angkasa pondok pesantren.
Aku yang melihat dari luar, sedikit merinding melihat sekumpulan santri dan semangat kak Ilzam, sedikit merasa takut Takut kehilangan, seseorang yang aku gemari semenjak kecil, setelah sebelumnya gara-gara belanda aku harus kehilangan abah kiai, apakah kak Ilzam juga?
Malam hari, semua santri bersiap, ada instruksi dari mas Ilzam sebelum berangkat, agar menyampaikan pesan terakhir kepada para keluarga, kerabat, bagi yang rumahnya jauh bisa menulis surat, kita berniat mempertahankan negara ini sampai titik darah penghabisan, dengan menyisakan dua pilihan merdeka atau syahid.
Mas Ilzam memakai baju serba putih, membawa keris. Ia keluar dari kamarnya, membenarkan baju yang dipakainya. “kita hanya bisa berdo’a, semoga ia bisa kembali dengan selamat.” Ibu mencoba menenagkanku. Kemudian kak Ilzam mendekati kami. “Ibu, Adek. Aku telah menulis surat, bacalah surat ini, jika aku memang tak kembali” tangisanku pun semakin menjadi, “Aku tak pernah sekali-kali mengharapkan keselamatan, yang kuharapkan negeri ini bisa bebas dari penjajah, merdeka, atau aku syahid.” Ilzam terlihat sangat mantap, ibu langsung memeluknya, dengan kerinduan, aku hanya bisa memegang pundak ibuku, entah kenapa akhirnya aku memberanikan diri menatap wajahnya. Ia tersenyum. “Kak, bawalah ini. Entah berguna atau tidak, tapi paling tidak jika Allah berkenan, kakak harus kembali ke sini, cita-cita kakak, bukan sampai sini kan?” Aku menyerahkan kalung perak peninggalan ibuku. Ia mengambil dan berkata. “Ana, InsyaAllah, aku pasti kembali.” Ia meletakkan kalung itu di saku bagian atas.
Tepat pada jam 23.00 malam Gubernur Soerjo mengumumkan melalui radio keputusannya bahwa Surabaya akan melawan sampai titik darah penghabisan. Akhirnya mereka berangkat. Puluhan tank, pesawat tempur dan kapal perang beserta puluhan ribu pasukan militer menyerang Surabaya sejak jam 06 pagi. Ilzam beserta para santri yang mengikuti Pasukan Kiai Abbas berhasil memaksa pasukan Inggris kocar-kacir dan berhasil menembak jatuh tiga pesawat tempur RAF Inggris, pertempuran lebih dari 3 minggu ini menelan banyak korban, salah satunya adalah gus Ilzam, sebagian saksi mengatkan bahwa kakinya tertembak saat menyelamatkan warga sipil, begitu juga setengah tangan kirinya terputus, dan yang terakhir saat ia melawan tiga pasukan musuh sekaligus, salah satu peluru menembus tepat di dadanya, hingga ia terkapar, namun pasca pertempuran, tak ada satu pun yang menemukan mayatnya.
Tahun 1962, pondok bersejarah ini menjadi saksi atas kematian para pejuang, terlihat seorang wanita bermata biru, berkerudung panjang, menuntun dua anaknya untuk mengaji di pesantren. “ayo, sowan ke Abah dulu, Aisyah, khodijah!” Dua bidadari kecil itu langsung menyalami seseorang yang memakai kursi roda. Setelah keduanya bersalaman, kini perempuan itu yang mencium tangan lelaki tersebut. Lelaki itu kemudian memegang kepalanya dan mencium keningnya, terlihat kembang senyum merekah dari wanita itu. Ia memandang dalam lelaki itu. “Abah Ilzam, Ana pamit ngantarkan bidadari kecil kita dulu, ya?” Sambil bangkit dari duduknya, memandang suaminya penuh cinta. Ia hanya membalas dengan isyarat senyuman. Di depan gedung pondok yang sekarang memiliki ribuan santri dan santriwati itu, terdapat figura berisi kalung perak yang bengkok. Sang mata biru itu menjadi saksi keajaiban kemerdekaan Indonesia.
Cerpen Karangan: Fais Nawawie Facebook: Fahim An Nawawi nama pena: fais nawawie instagram: fah1m_ahmad status: mahasiswa PBA