Maaf maryam, surat ini mungkin telat datang kepadamu. Maklumlah, sekarang aku cukup sibuk dan lelah meratapi kenyataan tentara-tentara sekutu yang ternyata memboncengi Belanda itu sempat membuatku terkejut. Mereka sudah menguasai kantor pos, pabrik-pabrik, bank dan banyak lagi. Tak mungkin aku ceritakan semuanya. Yang penting, aku ingin tahu kabarmu di Bukit Tinggi, Maryam. Bagaimana pula keadaan amak dan apak? Kudoakan semoga kalian diberi kebaikan. O iya, si Ramli juga bagaimana kabarnya? Ya ampun… Saking sibuknya aku ini, sampai-sampai aku lupa ia sudah baranjak tiga tahun usianya.
Ya, sekali lagi maklumilah! Sekarang zaman perang, aku sibuk menulis ini dan itu, mewawancarai pemimpin, para tentara sampai korban perang. Selain itu, aku mesti hilir mudik dari satu kota ke kota lainnya.
Ngomong-ngomong tantang kota, ada suatu persoalan yang membuatku sangat pusing. Asal kau tahu, aku sangat enggan meninggalkan kota ini. Mengenai lembaran-lembaran ultimatum yang disebarkan dari atas pesawat. Pastilah jika kau melihatnya, kau akan merasa takut, Maryam. Masalahnya terletak pada isinya. Aku dan seluruh warga Bandung diperintahkan untuk pergi meninggalkan kota. Kuulangi lagi, ini masalah isi Ultimatum tersebut. Kalau saja perlawanan kami tidak menimbulkan kesulitan bagi warga Bandung, kami tidak akan mengkhawatirkan ultimatum tersebut. Sama ketika ultimatum pertama NICA dikeluarkan. Dipintanya kami menjauh dari Bandung sekitar sebelas kilometer. Hah! Mustahil bagi kami untuk menyetujuinya.
Kau tahu, Maryam? Setelah banjir yang melanda Bandung usai, masih saja tindak-tanduk NICA yang tak berotak itu dilanjutkan hanya demi menyongsong kekuasaan. Dasar iblis jal*ng! Tak tahu apa mereka, kalau rakyat menderita? Mengumpat, menembak, membunuh bahkan menyiksa rakyat tanpa henti.
Coba kalau kau tinggal di sini, kau pasti takut, Maryam. Banyak sekali aku mrlihat mayat di pinggiran sungai, hasil dari apa yang ramjadah itu lakukan. Orang-orang ditembak seperti binatang buruan. Aku tak tega membawamu kemari. Rencanaku untuk membawamu dan Ramli ke kota ini, kuurungkan.
Inikah perang? Apa harus orang mati karenanya? Halah! Penjajah yang juga tak tahu diri. Sudah tahu kita merdeka, masih saja ingin mencocol kekuasaan. Aku yakin Maryam, sambal cocolmu lebih enak dibandingkan sambal cocol orang yang dicocol tanpa izin. Aduh, jadi makin rindu. Kapan aku bisa kembali ke Bukit Tinggi? Ngarang. O iya hampir aku lupa, rencananya pemerintah mau menuruti ultimatum yang kedua yaitu agar para tentara keluar dari Bandung. Ya, mereka melakukan demi keamanan rakyat. Aku hendak lakukan apapun meski harus meninggalkan kota tercinta.
Ingin sebenarnya aku membawamu kemari dan menunjukan kota asri ini. Melihat danau katsuari dekat jalan setapak. Memetik dedaunan di lembah gunung awi, berenang, makan sembari dicocol sambalmu. Walah, tapi mana mungkin? Wong Bandung tak seperti dulu. Hewan-hewan jal*ng itu sudah mengubah danau katsuari menjadi lautan mayat. Aku titip doa sama kamu, semoga jal*ng-jal*ng itu diludeskan daru tanah air ini.
Ada sebuah kedai kopi tempatku berkumpul bersama kawan. Dua hari yang lalu, tempat kenangan itu di bom. Ledakan ini merambah dari satu kedai ke toko ke lempeng logam ke jalanan kota. Musnah sudah mungkin tempat-tempat yang dulu bergemilang romantika kisah persahabatan. Aku tak habis pikir, Maryam. Meski aku cuma seperti buih tak jelas ikut-ikutan tentara, tapi aku juga punya ambisi untuk tendang Belanda rancu itu. Selalu membuatku emosi. Aku sampai-sampai mabuk kepayang memikirkan hal itu.
Nasution juga mungkin saja punya rencana besar untuk Bandung. Namun, belum sempat ia ungkapkan. Koran dan majalah juga belum menggembornya ke publik.
Oh, Maryam andai kau di sisiku, pastilah kau membuatku kuat. Aku di sini hanya dirundung kesedihan yang datang dari rombongan raksasa ini. Jujur, aku juga terlarut dalam keharuan. Ketika seolah kami berjalan tinggalkan kota tercinta, kami mungkin nanti akan menatap ke belakang melihat kehancuran. Paris van java seolah hanya sebuah nama tiada arti. Mungkin. Seolah aku, kawanku bersama beberapa orang mukiman menjadi saksi bisu antara perjuanganan pengorbanan. Maryam, kalau saja kau menatap raut wajah mereka, tidak hanya kesedihan belaka yang nampak terbenak di pelupuk mata, namun ada amarah juga dendam yang tersimpan.
Doakan kami di sini Maryam, juga sekalian do’a dari apakmu yang ulama itu supaya cepat dijabah Allah. Semoga kami diberikan kekuatan untuk mengusir iblis jal*ng itu. Semoga aku kembali ke dekapanmu. Salam, suamimu Tanri.
Cerpen Karangan: Rizaldi Mu’min Facebook: Zaldi Rizaldi Pernah menulis cerpen dalam kategori cerpen terbaik santri. Sekarang dimuat di gramedia dengan judul ‘KELOYANG’. saya merupakan orang yang antusias dan memiliki cita-cita sebagai pengusaha. Saya pernah mengikuti FLS2N tingkat kabupaten dan Juara 2 Karikatur tingkat sekolah juga sering mengikuti seminar dan pelatihan tulisan di Republika, TIM, sampoerna university dan lain-lain. Kemudian, saya mempunyai cerpen yang telah diterbitkan oleh kaki langit kencana dan dipublikasikan oleh gramedia. Saya juga mempunyai pengalaman sebagai ketua tim Jurnalistik dengan nama Fiksi.