Genderang perang tak kunjung surut, pagi cerah pun berganti suram. Bertegur sapa tetangga bukan lagi jadi rutinitas namun kebetulan saja. Bagaimana tidak, setiap harinya pelor kecil berapi itu mengudara seakan tak punya arah yang membuat kami takut akan keluar uma(rumah). Begitulah yang kami rasakan saat itu. Tak banyak yang mengurung diri di dalam “uma” mereka. Namun banyak juga yang menjalankan aktivitas seperti biasanya meskipun rasa takut tak jarang menghantui. Bagaimana tidak, jikalau tidak keluar rumah kami makan tak berberas. Begitu kisah mudaku terkurung dalam panasnya kondisi politik bangsa ini.
Namaku Sofyan. Usiaku 20 tahun dan aku merupakan salah satu prajurit PRRI pada 1958 di Lintau, Sumatera Barat. Tak pernah terbayang seorang pemuda berangan menjadi seniman ini memegang senjata pemebunuh atau yang mereka sebut pistol ini. Kabarnya senjata-senjata ini didapat dari Amerika Serikat. Entahlah, aku hanya gunakan ini untuk melindungi diri dari serangan APRI.
Setelah mengikuti berbagai pelatihan, akupun siap untuk terjun ke lapanagan. Banyak yang bilang kami pemberontak, namun menurutku ini gerakan menuntut agar PKI dibubarkan dan diberlakukannya otonomi daerah. Dalam perang, kita tidak tau mana teman mana musuh. Sama-sama bersenjata bukan berarti sama-sama markas. Teringat jelas olehku, kami punya semacam kode sebelum bertegur sapa untuk mengenali teman. Jika mengucap “jambu”, maka hendaknya menjawab “merah”.
Senja hari, saat aku dari rumah-rumah warga meminta beras untuk kami yang bersembunyi aku bertemu pria bersenjata di jalan. Saat itu aku mengatakan “jambu”, dengan wajah mengerut dahi serdadu itu menjawab, “jambu… jambu… apa maksudmu?” dengan nada tingginya. Sontak dengan kaget aku berlari menjauh dari serdadu itu. Tak diam saja, serdadu itu mengejarku dan pelor panas itu melaui telingaku. Hingga akhirnya aku jatuh ke parit berair dengan tubuhku yang rasanya seperti mau lepas karena sakit-sakit saat jatuh.
Mentari terbenam, sore berakhir, malam pun datang. Setelah berdiam cukup lama sembunyi. Kupaksakan tubuh ini beranjak pergi dari parit ini. Perlahan keluar dan mulai berlari menuju markas persembunyian. Tak pernah terbayang olehku ada pada keadaan seperti itu. “darimana saja kau?”, tanya Martius temanku. “nyawaku sudah hampir melayang”, jawabku. Dengan kaget Martius mengatakan, “apa maksudmu?”. Sambil menghela nafas, “serdadu itu hampir saja menembakku, untung saja aku bisa lari darinya”, imbuhku. Sambil mengambilkan segelas air untukku Martius berujar, “sudah, tenangi dirimu malam ini biar aku saja yang berjaga menggatinkan dirimu”.
Keesokan harinya, salah satu prajurit kami yang berjaga melihat situsai dari persembunyian kami di bukit belantara mendatangi kami dengan sesenguhan seraya berkata, “mereka kesini menyerang kita”. Mendengarnya membuat kami terkejut hingga dengan jumlah yang sedikit kami terpaksa harus melarikan diri. Tak kusangka secepat ini mereka menemukan persembunyian kami. Sudah terlihat sangat dekat, dengan suara senjata apa yang mengarah kami berlari sambil mengelak dengan sebisanya. Saat itu yang terpikir olehku jika aku mati disini saat ini untuk apa selama ini aku berjuang. Aku tak akan mati sebelum mendapat apa yang kami mau.
Setelah perlarian yang panjang dengan tubuh yang melemah dan nafas yang sesenggukan, aku, Martius, dan beberapa teman lain bersembunyi di sebuah rumah kosong di tengah pemukiman yang lengang tak berpenghuni. Kami pun terpikir bagaimana dengan teman-teman kami yang lainnya. Tak ada yang tau saat ini yang terpenting hanya keselamatan sendiri.
Satu hari penuh kami berdiam diri di rumah kosong itu. “Sepertinya kita harus keluar dari sini dan menuju persembunyian kedua”, ucapku. “iya, kamu benar kita juga harus pastikan teman-teman lainnya, mungkin saja mereka berlari kesana” jawab Martius. “lalu bagamaina kita bisa menjamin persembunyian kedua kita masih aman?”, tanya teman lain. Sontak langsung ku jawab “kita harus memastikannya sendiri”, imbuhku.
Dengan penuh keyakinan kami pun berlari menuju persembunyian lainnya di Desa Bendang, dekat “tompo” istilah air di tepian bukit. Perjalanan yang cukup jauh kami lalui. Hingga akhirnya kami menemui beberapa diantara teman kami, namun hanya tersisa jasad berkucur darah di tubuhnya. Disisi lainnya ada beberapa teman yang masih bernyawa namun dengan sesenggukan sehabis berlari dari serdadu APRI.
Hingga akhir perang saudara ini, aku bersyukur Allah masih memperpanjang nafasku. Belantika perang yang usai dan penuh sejarah mencekam tak menghentikan langkahku untuk terus hidup. Saat itu kuputuskan untuk melanjutkan Pendidikanku di ASRI Yogyakarta demi mengejar impianku menjadi seorang seniman. Beberapa temanku ada yang melanjutkan Pendidikan militernya, ada pula yang berbisnis, bahkan menikah.
Cerpen Karangan: Rendi Nofreza