1. Hidup seorang janda dan putrinya yang tinggal di sebuah gubuk di ujung desa
Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang janda tua dan putrinya yang cantik jelita bernama Darmi di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia. Mereka tinggal di
sebuah gubuk yang terletak di ujung desa.
Sejak Papa Darmi meninggal, kehidupan mereka menjadi susah karena sang Papa tidak meninggalkan harta warisan sedikitpun untuk memenuhi kehidupan Darmi dan Mamanya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sang Mama bekerja di sawah atau ladang orang lain sebagai buruh upahan. Sementara Darmi tumbuh menjadi seorang gadis yang manja.
Apapun yang dimintanya harus dikabulkan. Selain manja, Darmi juga seorang gadis yang malas. Ia hanya berdandan dan mengagumi kecantikannya di depan cermin.
2. Setiap kali sang Mama mengajak bekerja ke sawah, Darmi selalu menolak
Setiap sore Darmi selalu berjalan-jalan di kampungnya tanpa tujuan yang jelas, ia hanya memamerkan wajah cantiknya dan sama sekali tidak mau membantu sang Mama mencari uang di sawah.
Setiap kali Mamanya mengajak bekerja ke sawah, Darmi pun selalu menolak.
"Nak! Ayo bantu Mama bekerja di sawah," ajak sang Mama.
"Tidak mau! Aku tidak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan kulitku kotor terkena lumpur," jawab Darmi menolak.
"Apakah kamu tidak kasihan melihatku, Nak?" tanya sang Mama.
"Tidak! Mama saja yang sudah tua bekerja di sawah, karena tidak mungkin lagi ada laki-laki yang tertarik
pada wajahmu yang sudah keriput itu," jawab Darmi dengan ketus.
3. Darmi memaksa sang Mama untuk memberikan uang upahnya dari bekerja di sawah
Mendegar jawaban Darmi, sang Mama tak bisa berkata-kata. Dengan perasaan sedih, ia pun
berangkat ke sawah untuk bekerja. Namun Darmi tetap saja tinggal di gubuk, terus mendandani dirinya agar terlihat cantik.
Setelah sang Mama pulang dari sawah, Darmi meminta uang upah yang diperoleh Mamanya untuk beli alat-alat kecantikan.
"Mana uang upah itu?" seru Darmi kepada sang Mama.
"Jangan, Nak! Uang ini untuk membeli kebutuhan hidup kita hari ini," ujar sang Mama yang memohon.
"Tapi bedakku sudah habis. Aku harus beli yang baru!" kata Darmi.
"Kamu memang anak tidak tahu diri! Tahunya menghabiskan uang, tapi tidak mau bekerja," kata sang Mama yang kesal.
Walaupun kesal dan marah, sang Mama tetap memberikan uang upahnya pada Darmi.
4. Darmi menuruti keinginan sang Mama untuk pergi ke pasar, namun dengan satu syarat
Hal ini pun terus terjadi hingga keesokan harinya. Darmi meminta lagi uang upah yang diperoleh sang Mama untuk membeli alat kecantikannya yang lain. Keadaan ini selalu terjadi hampir setiap hari.
Pada suatu hari, sang Mama hendak ke pasar, dan Darmi berpesan untuk dibelikan sebuah alat kecantikan. Namun, Mamanya tidak tahu alat kecantikan yang ia maksud. Kemudian Mamanya mengajak Darmi agar ikut ke pasar.
"Kalau begitu, ayo temani Mama ke pasar!" ajak sang Mama.
"Aku tidak mau pergi ke pasar bersama Mama!" jawab Darmi yang menolak ajakan.
"Tapi, Mama tak tahu alat kecantikan yang kamu maksud itu, Nak!" seru sang Mama.
Setelah didesak dan dengan perasaan terpaksa, Darmi bersedia menemani Mamanya ke pasar. Namun ia memberikan syarat.
"Aku mau ikut ke pasar, tapi dengan syarat Mama harus berjalan di belakangku," kata Darmi kepada sang Mama.
"Memang kenapa, Nak?” tanya Mamanya penasaran.
"Aku malu kepada orang-orang kampung jika berjalan berdampingan dengan Mama," jawab Darmi denga ketus.
"Kenapa harus malu, Nak? Bukankah aku ini orangtua kandungmu?" tanya sang Mama.
"Mama seharusnya berkaca. Lihat wajah itu yang sudah keriput dan pakaian yang sangat kotor itu! Aku malu punya orangtua yang berantakan seperti itu!” seru Darmi dengan nada merendahkan.
Walaupun sedih, sang Mama pun menuruti permintaan putrinya.
5. Merekapun berjalan beriringan dengan Darmi yang berjalan di depan
Setelah itu, berangkatlah mereka ke pasar secara beriringan. Si Darmi berjalan di depan, sedangkan sang Mama mengikutinya dari berlakang sambil membawa keranjang.
Walaupun keduanya mereka adalah Mama dan anak, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah bukan dari keluarga yang sama. Di tengah perjalanan, Darmi bertemu dengan temannya yang tinggal di kampung lain.
"Eh, Darmi! Mau ke mana kamu?" tanya temannya itu.
"Ke pasar" jawab Darmi dengan pelan.
"Lalu, siapakah orang di belakangmu itu? Apakah dia orangtuamu?" tanya lagi temannya sambil menunjuk Mamanya Darmi yang membawa keranjang.
"Tentu saja bukan Mamaku! Dia adalah pembantuku,” jawab Darmi dengan nada sinis.
Seperti disambar petir sang Mama mendengar ucapan putrinya. Namun ia hanya terdiam sambil menahan rasa sedih.
Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju ke pasar. Tidak kemudian, mereka bertemu lagi dengan seseorang.
"Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya orang itu.
"Ke pasar," jawab Darmi singkat.
"Siapa yang di belakangmu itu?" tanya lagi orang itu.
"Dia pembantuku," jawab Darmi yang mulai kesal dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Jawaban yang dilontarkan Darmi tentu membuat Mamanya semakin sedih dan sakit hati. Tetapi, sang Mama masih kuat untuk menahan rasa sedihnya.
6. Sang Mama berdoa pada Tuhan untuk menghukum anaknya yang durhaka
Begitulah yang terjadi terus-menerus selama dalam perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya, sang Mama berhenti, lalu duduk di pinggir jalan.
"Ma! Kenapa berhenti?!" tanya Darmi heran.
Beberapa kali Darmi bertanya, namun sang Mama tetap saja terdiam tidak menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, Darmi melihat mulut Mamanya yang berbicara perlahan sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.
"Eh, Mama sedang apa?" tanya Darmi dengan nada membentak.
Sang Mama tetap saja tidak menjawab pertanyaan anaknya. Namun ia berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka.
"Ya, Tuhan! Ampunilah hambamu yang lemah ini. Hamba sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!" ucap doa sang Mama.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga.
7. Perlahan, tubuh Darmi pun keras dan berubah menjadi batu
Hujan deras pun turun. Kemudian secara perlahan, kaki Darmi berubah keras dan menjadi batu. Darmi pun mulai panik.
"Mama...! Mama... ! Apa yang terjadi dengan kakiku?" tanya Darmi sambil berteriak.
"Maafkan Darmi! Maafkan Darmi! Darmi tidak akan mengulanginya lagi, Ma!" seru Darmi semakin panik.
Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak dapat lagi dihindari. Perlahan-lahan, seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki, badan, hingga ke kepala.
Anak durhaka itu hanya bisa menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang Mama masih melihat air menetes dari kedua mata putrinya. Semua orang yang lewat di tempat itu juga ikut menyaksikan peristiwa itu.
Tak lama kemudian, cuaca kembali terang seperti semula. Namun seluruh tubuh Darmi telah berubah menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu Menangis.
Itulah dongeng anak nusantara asal Kalimantan Barat berjudul Batu Menangis. Dari cerita Legenda Batu Menangis di atas, pesan moral yang bisa anak pelajari adalah, hormati dan sayangilah kedua orangtuamu, karena selain dari kerja keras sendiri, keberhasilan dan kebahagiaan seorang anak sangat tergantung dari doa kedua orangtua.