Kata orang,kehidupan itu seperti mimpi. Sekejap saja, lalu ia berlalu pergi. Maka, sebagian orang menjalani kehidupannya dalam mimpi—berada di atas lalu jatuh ke bawah lagi, bangkit, lalu naik ke atas lagi.Jika hari ini ia bermimpi berada di selokan, maka keesokan harinya, bangunlah ia di atas tempat tidur sang Raja,ketika ia terbangun dari mimpinya di ranjang, ia menemukan dirinya kembali ke selokan. Begitu terus, rangkaian takdir yang tak pernah putus.
Lalu, mengapa aku tak boleh bermimpi? Apakah, karena mereka takut, aku tidak akan terbangun di tempat tidur sang Raja, namun, di tumpukan kardus sederhana ini? Tapi, setiap orang punya hak untuk bermimpi, karena mimpilah yang membebaskan nurani dari kenyataan yang menghimpit, angan-anganlah yang melepaskan pikiran dari kenyataan yang pahit. Kenyataan yang dihadapi sang pemimpi di selokan tadi.
Tapi, betapa mahalnya harga sebuah mimpi. Setiap kali aku mengucapkan ‘mimpi’, maka hanya akan caci maki yang kudapat. Ya, mimpi yang harusnya membebaskan nurani dari kenyataan yang menghimpit, malah menjadi terhimpit oleh kenyataan itu sendiri. Terlalu banyak bermimpi, kata orang. Tetapi, adakah sebuah batasan untuk mimpi? Jika kita membatasi impian kita hanya untuk mencari benua lain di dunia ini, akankah kita mencapai bulan saat ini?
Tidak, tentu saja. Maka, aku mulai memasukkan mimpi ke dalam kenyataan sehari-hari. Rumah kardus ini adalah istana bagiku, dan di depan pintunya dibuat dari marmer kelabu. Di dalam, aku punya alat penghangat yang mahal, yang biasa terlihat di layar kaca. Aku juga punya sebuah kamar mandi mewah, dengan keramik yang diimpor langsung dari Eropa. Aku bermimpi, aku mengukir sejarahku sendiri. Karena, kita adalah penentu dari takdir diri kita sendiri, bukankah begitu?
Tapi, saat kubacakan tulisanku ini di depan kelas, mereka menertawakanku. Menertawakan kenaifanku yang lugu, dan bahwa mimpiku hanyalah sebuah ilusi. Aku ingin berteriak, aku ingin mengecam, bahwa ada perbedaan antara mimpi dan ilusi. Mimpi, bisa diwujudkan dengan tanganmu sendiri, dan ilusi bahkan tidak bisa disentuh oleh kelima inderamu, bagaimanapun kau mencobanya.
Bahkan Ibu guru kami, menentang mimpiku. Ia memanggilku sepulang sekolah. Terlalu banyak berkhayal, terlalu banyak berilusi, terlalu banyak bermimpi. Terlalu banyak, terlalu banyak, terlalu banyak. Apakah pikirannya tentang banyak sama dengan pikiranku? Kurasa tidak. Bagiku, tidak ada kata ‘terlalu banyak’ untuk sebuah mimpi, tidak ada kata ‘terlalu besar’ untuk sebuah gagasan. Namun, aku tidak bisa membuat seluruh dunia mengerti, iya kan?
Maka inilah yang kulakukan. Melakukan protes tanpa suara, hanya dengan kata-kata di atas kertas. Aku lelah berhadapan dengan manusia-manusia yang mengukur sesuatu dari kuantitasnya saja. Aku ingin membangun duniaku sendiri, mimpiku sendiri. Dunia untuk orang-orang yang setiap hari terbangun di selokan, tanpa pernah sekalipun terbangun di ranjang sang Raja. Orang-orang yang lebih sering menangis derita daripada tertawa bahagia.
Salahkah aku?
*** Akita menutup jurnal pribadi adiknya, lalu mendesah. Yumeko, dia tidak pernah sepenuhnya mengerti gadis itu. Mereka tumbuh di lingkungan yang sama, sebuah kawasan kumuh di pinggiran kota Tokyo. Tidak ada yang mau repot-repot menengok ke daerah mereka. Daerah itu terhimpit diantara gang-gang rumah mewah di sana. Tak akan ada yang menyadari, tak akan ada yang peduli. Terbuang dan dibuang, begitulah mereka.
Akita dan Yumeko berjuang hidup sejak kecil. Bekerja apa saja yang ditawarkan pada mereka. Namun, Akita sangat memperhatikan pendidikan adiknya. Dengan susah payah, dimasukkanya Yume ke Sekolah Dasar di pusat kota. Setiap hari,sebelum bekerja, Akita membangunkan Yume dan menyiapkan buku-bukunya. Yume relatif pintar di sekolah, hingga suatu hari, Akita mendapat panggilan ke sekolah Yume.
Yume kelas empat waktu itu. Dan Akita sama sekali tidak tahu mengapa ia mendapat panggilan. Sampai ia melihat karangan itu, karangan yang ditulis Yume untuk tugas sekolahnya. Hati Akita berdesir keras, dan darahnya memacu naik ke kepalanya. Di depan Yume, ia merobek-robek karangan itu hingga menjadi serpihan kecil. Namun, Yume menghadapinya dengan tenang, seolah sudah menduga hal ini. Hal yang membuat Akita lebih marah lagi.
Akita masih mengingat sebagian isi karangan Yume yang membuatnya berang. Karangan itu seolah mengejek kondisi hidup mereka, yang hidup dari rumah-rumah kardus sederhana yang bisa dengan mudah diterbangkan angin. Namun, Yume menggambarkan sebaliknya, seolah-olah rumah kardus mereka adalah sebuah rumah mewah,yang membuatnya berang.
RUMAHKU Pintu rumahku terbuat dari kaca. Dia bisa membuka sendiri ketika aku masuk ke dalamnya. Jendela rumahku terbuat dari kaca ukir, dan lantainya terbuat dari marmer. Aku punya seorang kakak yang bekerja di kota, pekerjaanya adalah manajer di bank. Setiap hari, dia membawakanku makanan yang enak-enak dan kami makan di atas meja besar yang dingin. …
Akita mendesah. Mengapa dia tidak bisa melihat, bahwa itulah yang diinginkan adiknya. Sebuah rumah yang nyaman dan besar, impiannya yang selalu dirindukannya. Sebaliknya, ia menganggapnya sebagai penghinaan dan mencabik-cabik impiannya. Mengapa? Apa karena ia takut bermimpi? Tetapi, bukankah manusia tanpa impian hanya seonggok daging yang berjalan, tidak bernyawa dan tidak berjiwa?
Akita tersentak. Selama ini ia tidak menyadarinya.
*** Aku pernah membaca di sebuah tempat tentang hidup. Bahwa hidup ini adalah sebuah kegilaan, sebuah bayangan, sebuah cerita, dan keuntungannya amat sedikit, sebab, seluruh kehidupan itu hanyalah impian. Dan karena kehidupan itu hanya impian, bukankah lebih baik jika kita memanfaatkan waktu kita di Negeri Impian itu sebaik mungkin? Karena, kehidupan abadi kita bukan di sini,kan?
Maka aku menyusun impianku. Kalau aku sudah melewati garis, aku tak peduli. Aku masih ada di dalam dunia ini, dan itu yang penting bagiku. Bahkan jika seluruh dunia memusuhiku, aku tak peduli. Bahkan jika kakakku sendiri memusuhiku, aku tak peduli. Aku akan mempertahankan impianku, aku akan mempertahankan rumah ini.
Baiklah, akan kuberitahu apa yang terjadi. Pemerintahan ini, kota ini, akan menyingkirkan rumah kami, rumahku, dari sudut kota yang terpecil ini. Kenapa? Mungkin, karena kehadiran kami hanya dianggap sebagai serangga di lahan rumput yang terpelihara. Tapi, tempat tinggal serangga memang di rumput bukan? Untuk apa mencerabut pohon dari akarnya?
Mencerabut pohon dari akarnya hanya akan menyakiti pohon itu sendiri, mencerabut seseorang dari asalnya hanya akan menyakiti orang itu sendiri.
Karena itu, aku akan mempertahankan mimpiku. Aku akan mempertahankan Rumah Impianku, meski aku harus mati di dalamnya. Karena, dia adalah akar di mana aku berasal, tempat di mana aku berteduh, dan bersamanya pula aku akan mati.
*** Langit musim gugur itu kembali memerah. Sore itu, di sudut kota Tokyo yang ramia dan padat, terlihat seornag gadis tengah berlari-lari menuju rumahnya. Rumahnya yang sesungguhnya hanya terdiri dari tumpukan kardus-kardus belaka. Ia masuk ke dalamnya, dan segera menutup pintunya, berhati-hati agar tidak diketahui kakaknya yang sedari tadi menyuruhnya pergi. Tetapi tidak, ia akan mempertahankan rumah ini, mimpinya ini, hingga ia mati.
Suara buldoser meraung-raung dari luar. Ia memejamkan mata. Bersiap menghadapi apapun yang hendak menghadangnya. Di tangan kanan tergenggam buku jurnalnya, yang selama ini selalu dipakainya untuk menuliskan bentuk-bentuk mimpinya. Ia berbaring di tengah-tengah rumahnya, sementara, buldoser itu menghancurkan dan meratakan segalanya. Termasuk, dirinya, yang sekarang terhimpit di tengah-tengah kardus-kardus dan puing-puing.
Segalanya terjadi begitu cepat. Dia hanya sempat mendengar seruan panik kakaknya yang menydari ia masih berada di dalam. Termasuk orang-orang yang berkerumun di sekitarnya, mengitari dirinya ‘mimpi’ yang kini terbaring kaku memeluk mimpinya sendiri.
Ia tersenyum, sungguh sebuah ironi.
Cerpen Karangan: Farah Fakhirah Blog: farahfakhirah.wordpress.com