Hari ini tanggal 11 september 2012, 6 buah handphone terus berbunyi tepat pukul 00.00 wib. Satu… dua… tiga…. Mimpi untuk Dunia….. itulah suara keenam sahabat berteriak di sebuah perkampungan. Seketika lampu rumah penduduk terus menyala, pintu-pintu terbuka dalam selang waktu yang bersamaan, para lelaki mulai berteriak, mengejar kami. “kabur……” kata Fadil sambil berlari Kamipun segera berlari dengan cepat mengikuti Fadil dengan ekspresi ketakutan di kejar warga. Waktu itu Fatur yang berbadan besar seketika berlari cepat. Seketika aku, Fadil, Fahri, Faisal, dan Fahma terkejut dan tertawa melihat Fatur dapat berlari kencang mengalahkan Fahma yang terkenal dengan larinya yang cepat, tak kami sadari ternyata warga semakin dekat dan satu… dua… tiga…. Lari…. Akhirnya kami bebas dari ketakutan dan sampai di Bukit Impian, yah itulah nama yang kami berikan kepada bukit tempat kami berikrar enam sahabat berbeda mimpi. Sebelum matahari hendak memberikan sinarnya kami berteriak kepada dunia ini dengan kencang “dunia kau kan kami dapatkan, bintang-bintang kau kan kami genggam, bulan cahayamu kan kami kalahkan karena pemimpi untuk dunia segera datang” Yah suara yang kami harapkan melaju dengan kecepatan tinggi menjelajahi dunia melalui angin yang tertiup dan terdengar oleh seluruh homo sapiens di dunia ini supaya mereka bersiap melihat 6 sahabat menjadi pemimpin dunia. Senyuman manis terus terpancar dari wajah kami, genggaman tangan semakin erat, pelukan sahabat mengahangatkan pori-pori kulit ini. Saatnya berlari menuruni bukit menuju perkampungan. “haduh apa yang akan terjadi?” Fahma bertanya kepada kami “memang apa yang akan terjadi?” tanyaku kepada Fahma Seketika Fahma menjelaskan “tadi warga mengikuti kita dengan penuh kemarahan karena kita berteriak diwaktu warga tertidur lelap” raut Fahma kebingungan “haha ngapain kita harus takut” jawabku kepada Fahma sambil tersenyum “iya bener tuh paling juga di suruh keliling kampung 5 putaran seperti dulu” jawab Fatur sambil menghela nafas karena lelah berlari tadi “yaps betul banget F6 ko’ ketakutan gini” jawab Fahri “senang,susah kita bersama” Fadil berkata sambil meyakinkan kami Akhirnya gerbang desa terlihat mendekat terus mendekat, dan disana sudah ada kepala kampung menunggu dengan para lelaki di belakangnya “siap-siap deh kita kena marah” Fahma berbisik dengan suara pelan “Faris cepat kau maju hadapi Kepala Kampung” tangan teman-temanku mendorong tubuhku yang sedang letih “iya-iya aku kan maju” jawabku dengan tegas Yah itulah sensasi dari pemimpin harus maju ketika menghadapi masalah, harus melindungi anggota dan masih banyak lagi. Pertama ku tarik nafas panjang dan mengeluarkan sejuta karbondioksida yang sulit ku hitung, genggaman tanganku semakin kuat, ayo maju Faris hati ku selalu berkata. Akhirnya ku langkahkan kaki ini menuju kepala kampung “Pak Munajat” suaraku sedikit pelan dengan mata tertunduk kebawah “Apa yang kau dan teman-temanmu lakukan nak?” Pak Munajat bersuara dengan penuh kebijaksanaan Sementara para warga sudah kesal, dan ingin meluapkannya kepada kami “Kemarin kami merayakan kebersamaan kami di tengah malam, dan maaf kami telah mengganggu ketenangan semua yang telah terlelap dengan nyenyaknya” jawabku sambil menatap dengan penuh keyakinan “ya sudah kalau memang begitu, kau telah mewakili teman-temanmu untuk meminta maaf, dan kalian tahu kan apa hukuman yang sering kalian lakukan?” jawab kepala kampung “iya Pak kami sudah tahu mengelilingi kampung sebanyak 5 putaran” jawabku “bukan hanya itu kalian harus membersihkan seluruh sampah setiap sore dan berlari 5 putaran mengeliling kampung selama sebulan” kata Pak Munajat “yah ditambah lagi cape banget dong” Fatur berkata sambil melihat Fahma “ah dasar kamu Fatur, biar langsing tuh perut” jawab Fahma sambil tersenyum “baik Pak, kami terima seluruh hukuman itu, dan kepada warga kami mohon maaf atas semua kejahilan kami serta perilaku kami” jawab ku dengan penuh bijaksana “iya seluruh warga telah memaafkan kalian” jawab Pak Munajat sambil menepuk punggunngku Aku hanya membalasnya dengan sebuah senyuman Warga pun bubar dari sebuah pengakuan 6 sahabat yang telah mengganggu tidur mereka. Kami pun berkumpul kembali, yah terasa lega setelah berakhirnya kejadian tadi. Kami tertawa bersama dan melihat mata kami seperti mata panda karena ada lingkaran hitam tanda kurang tidur. Seketika mulut kami menguap, jalan sudah mau jatuh, mata kami menjadi sipit. “cape banget nih masbro” Fadil berkata Kami tetap menyusuri gang-gang untuk menuju tempat berkumpul kami “iya bener banget tuh, liat mataku sudah tak dapat terbuka dengan stabil” jawab faisal sambil jarinya menunjuk kepada matanya “ah kalian semua payah, liat dong sang pemimpin ini masih sangat tegang” kata Fahri sambil memegang bahuku dan menyentuh kepalaku “aku memang masih tegang, meskipun kelakuan kita suka buat marah warga tapi baru kali ini kita langsung harus berhadapan dengan Pak Munajat” jawab ku sambil menarik nafas “ah sudah-sudah berhenti nanti kita lama sampai di saungnya” jawab Faisal Faisal adalah orang yang paling bijaksana diantara kami dan perhatian kepada sahabat-sahabatnya “cie cie sang bijak mulai berkata” kata Fatur sambil menggoda Faisal Akhirnya kami sampai dan 6 buah bantal mulai berserakan di saung. Penat ini ingin segera terhilangkan, matahari semakin menantang dengan cahayanya yang terus naik ke tengah-tengah langit. Namun karena lelah sekali kami masih memaafkan mu matahari dan tertidur dengan pulas untuk mengisi amunisi supaya tidak lelah harus melakukan hukuman nanti. Suara detik waktu terus terdengar namun bukan suara jam yang membangunkan ku, handphone pun bukan, tapi duet nyanyian ngorok Fatur dan Fahma. Yah seolah menonton konser K-POP di Gelora Bung Karno. Nada rendah Fatur di balas nada tinggi Fahma dan Fadil pun malah ikut-ikutan ngorok. Haduh sudah kayak 3 Mega Stars di konser yang satu tiketnya 200 juta. Akhirnya Faisal dan Fahri pun terbangun dengan mata yang masih ngantuk. “Aduh 3 orang ini tidur ko’ kayak konser” Faisal berkata dengan kesalnya “haduh nih anak mau gue kasih garem” Fahri berkata dengan mata yang terbuka sedikit dengan pelafalan kata yang tidak begitu jelas “gimana kalau kita kerjain?” saranku kepada Faisal dan Fahri “ah gue setuju banget” jawab Fahri “kasih aja garam trus tempelin di bibir mereka” Faisal memberikan idenya “ok, aku ambil dulu garamnya” Aku, Faisal dan Fahri sudah menahan tawa ketika hendak memberikan garam pada bibir 3 Mega Star ngorok itu. Aku mengoleskan garam kepada Fatur, Faisal kepada Fahma, dan Fahri kepada Fadil. Seketika mereka terbangun dari tidurnya dan mengejar kami sambil mengucapkan kata-kata dengan tak jelas kami dengar. Berlari dengan kencang, melaju seperti cita yang berlari di padang rumput. Namun sekencang kami berlari, Fahma yang baru terbangun lebih kencang larinya dari pada kami. Hap, tertangkaplah Faisal oleh pelukan keras Fahma. Seketika aku dan Fahri tertawa melihat Faisal yang akan mendapatkan balasan dari Fahma. Lari, lari dan berlari itulah yang aku lakukan bersama Fahri sedang dibelakang kami mengikuti Fatur dan Fadil. Ketika aku menengok kebelakang ternyata hanya ada Fatur yang berlari penuh keringat yang keluar dari seluruh tubuhnya. Aku dan Fahri hanya bisa tertawa dengan sedikit memelankan kecepatan lari kami. Ketika aku menengok kedepan ternyata sudah ada Fadil bersiap menangkap kami berdua. Tak ada cara untuk aku dan Fahri keluar dari tekanan mereka selain terbang keatas, namun kami tak punya sayap, bahkan aku tak menyangka Fadil dengan kecerdikannya membuat kami terkejut. Hap aku tertangkap oleh Fadil dan Fahri di tangkap oleh Fatur. Kami berdua diseret mendekati Faisal yang telah ditangkap oleh Fahma, meskipun merasa bersalah tapi kami ingin terus tersenyum mengingat ekspresi mereka ketika menjilat garam yang kami oleskan. Tibalah kami di sebuah sungai yang bersih dan warna yang jernih. Matahari terus menantang dengan cahaya yang sangat panas dan berada diatas kepala kami. Blubuk blubuk blubuk seperti suara air dalam aquarium ikan, itulah suara air disaat aku, Faisal dan Fahri masuk kedalamnya. Fadil, Fahma dan Fatur tertawa dengan keras melihat kami basah kuyup. Mereka pun menarik tangan kami dan mengembalikan kami ke darat dengan seluruh tubuh di basahi air sungai. Kami pun ingin balas dendam kepada mereka.Dengan saling menatap dan terseyum aku, Faisal dan Fahri menarik tangan mereka dengan waktu yang bersamaan. Akhirnya kami sang Pemimpi untuk Dunia tercebur ke dalam sungai dengan bersama-sama. “ber…. seger banget” Fahma berkata sambil kedinginan “ayo kita pulang perutku sudah dangdutan”kata Fatur sambil memegang perutnya “ah dasar kau Fatur, perut mulu yang di pikirin aku juga lapar ayo kita pulang” balasan Fahri sambil tersenyum atas ajakan “sudah-sudah jangan banyak bicara kita adu cepat pulang saja lalu makan dirumah masing-masing dan nanti sore jangan lupa kita berkumpul di balai RW” Faisal berkata “siap” kami berkata dengan kencang dan berbarengan sambil mengangkat tangan seperti hormat kepada Sang Merah Putih “satu… dua…. tiga…” aku memberikan aba-aba untuk pulang 2 jam sudah kami beristirahat, dan harus berkumpul di balai RW. Sesampainya aku di balai RW, ternyata belum ada seorangpun temanku yang sudah sampai. Aku pun hanya menunggu di teras balai RW menunggu teman-teman datang dan melakukan hukuman yang diberikan. Tiba-tiba Pak Munajat datang bersama Fahma dan berkata “kau sudah lama disini?” Fahma bertanya kepadaku “iya aku sudah 20 menit menunggu di teras” jawabku “Keluargamu tidak memberitahumu?” Tanya Pak Munajat dengan seriusnya “tadi ketika aku selesai mandi ibuku pergi dengan terburu-buru menuju rumah tetangga dan aku tak tahu siapa tetangga yang akan dia datangi” penjelasanku Fahma tiba-tiba mengeluarkan air mata dan memelukku dengan erat. Dengan suara pelan Fahma membisikkan kata kepadaku “Faisal telah meninggal” itu kata yang terucap dari bibir Fahma Seketika tubuh ini lemas seolah tulang-tulang tak menegakkan badan ini. Akupun menangis dipelukan Fahma. Aku teringat kenangan-kenangan bersama Faisal sang Pemimpi yang Bijak itu, dan air mataku pun turun membasahi baju Fahma. Pak Munajat pun mengajakku untuk bertemu dengan Faisal untuk yang terakhir kalinya. Tapi rasa tak percaya masih terus berkata dalam hatiku namun semua itu terjawab ketika di gang menuju rumah Faisal terdapat bendera kuning. Rasa tak percaya ditinggalkan sahabat secepat ini membuatku hanya bisa terdiam melihat rumah Faisal. Dan terpaku sambil memegang pagar itulah yang bisa kulakukan. Fatur, Fadil, dan Fahri telah ada dirumah duka berdiam di pojok rumah sambil menangis dan berpegangan tangan dengan erat. Bau kamperpun terus menusuk di lubang hidung ini, namun itulah wangi terakhir dari Faisal. “ayo kita menemui Faisal” kata Fahma “iya mungkin dia sudah rindu ingin bertemu kita sebelum dia pergi” jawab Fadil sambil menahan tangis Kami pun pergi melihat Faisal dan menangis sambil mengatakan apa saja yang harus dia dengar dari mulut sahabatnya. Sampai akhirnya Faisal dimakamkan kami terus mengantarkannya mengiringi jalan-jalan dunia yang terakhir kali dia akan lewati. Butir-butir tanah terus berjatuhan begitu pula air mata kami terus mengalir bersamaan. Kami pun memutuskan untuk bertemu dengan keluarga Faisal dan berbincang-bincang sekedar menghilangkan rasa sedih ini. Bukit Impian telah kehilangan seorang Pemimpi yang ingin menjadi psikolog untuk memperbaiki moral bangsa yang sekarang telah kembali untuk pulang bertemu dengan sang Pencipta. Teriakan kemarin adalah teriakan terakhir 6 Pemimpi namun bukan akhir dari teriakan 5 Pemimpi yang masih mencoba untuk tetap melaju pada tracknya masing-masing, Sebuah pelajaran hidup yang selalu Faisal ajarkan akan menjadi sebuah kisah klasik untuk di kenang dan di bangga-banggakan di masa depan. 5 tahun berlalu sekarang adalah tahun 2017 tepat tanggal 11 september, 5 Pemimpi datang lagi ke bukit Impian untuk melihat apakah mereka telah mendapatkan mimpi-mimpi mereka. Berjalanlah kami menyusuri jalanan yang masih berupa tanah yang sama seperti dulu menggenggam tangan, bercanda sebentar dan berlari saling mengejar untuk mengenang masa lalu. Meskipun ada yang kurang tapi kami yakin Faisal telah meraih mimpinya yang mungkkin tak pernah kami tahu apa mimpi itu. Botol-botol yang tergantung di batang pohon mendekat dan terus mendekat, tulisan yang tertempel pun terus mendekat. Satu orang mengambil satu botol dan kertas untuk membacakan mimpi-mimpi untuk dunia yang di tulis 5 tahun yang lalu. “hom pim pah layum gambreng ma ijah pake baju rombeng” ucapan kami Akhirnya aku mendapat giliran pertama, aku boleh membawa 2 botol dan 2 kertas. Fahma mendapat giliran kedua, Fadil mendapat giliran ketiga, Fatur giliran keempat, dan Fahri mendapat giliran yang terakhir “cap cip cup kembang kuncup” kataku sambil menunjuk dengan jariku “kau seperti anak kecil pak Presiden” saut Fahri sambil tertawa “haha ayolah cepat ambil dan berdiri di belakang” Kata Fahma “waw karena seorang pelari tingkat dunia jadi ingin cepat-cepat?” kata Fadil “sudah-sudah ayo cepat” kata Fatur Segeralah aku mengambil, kemudian dilanjutkan oleh teman-teman yang lain. Impian-impian itu telah ada di tangan saatnya membacakan “mimpiku yang pertama ingin menjadi seorang pelari tingkat dunia yang mendapat banyak gelar dan penghargaan, yang kedua mendirikan sekolah pelari tingkat internasional di Indonesia, yang ketiga semoga cintaku di terima oleh Raisya, keempat ku berharap keluargaku bangga akan diriku, yang kelima aku ingin bersama sahabat-sahabatku dan berkumpul lagi di bukit ini, yang keenam semoga saja pohon ini tak ada yang menebang dan mimpi-mimpiku yang lain tak akan ku beritahu kepada kalian hahahaha” mimpi Fahma yang dibacakan oleh Fadil “mimpiku yang pertama ingin menjadi seorang pengusaha yang berhasil meraih banyak penghargaan dan membantu orang-orang yang kesusahan, yang kedua aku ingin kuliah jurusan ekonomi di luar negeri, yang ketiga aku ingin memberikan sebuah mobil untuk Bapak dan Ibu, yang keempat semoga Santi menyukaiku juga dan mau menungguku sampai aku pulang kembali, yang kelima dan seterusnya aku tak mau memberi tahu kepada kalian ini rahasia” mimpiku yang dibacakan Fatur “mimpiku menjadi seorang ilmuwan di bidang biologi, aku ingin memiliki laboratorium sendiri, terkenal di dunia, aku ingin sekolah ke luar negeri, mendirikan rumah sakit, kuharap Hasya menjadi asisten pribadiku dan selalu berada disampingku, mimpi yang lainnya nanti menyusul hahaha” mimpi Fadil yang dibacakan oleh Fahma “mimpiku mempunyai sanggar seni pribadi, setiap puisi tentang Karina ku harap dia membacanya, mendirikan sekolah seni, bisa tampil di luar negeri, dan masih banyak lagi” mimpi Fatur yang di bacakan oleh Fahri “mimpiku ingin menjadi pelukis tingkat internasional, seluruh karyaku dapat diterima oleh banyak orang, cerita-cerita pendek yang kubuat dapat di terbitkan di seluruh dunia, kuharap Belfa dapat menerima lukisan wajahnya yang kubuat sendiri dan masih banyak lagi mimpi ku” mimpi Fahri yang dibacakan olehku Seluruh mimpi itu membuat kami tertawa karena pasti ada seorang perempuan yang kami suka di sebutkan di dalam mimpi itu. Wajah kami pun menjadi seperti tomat berwarna merah. Namun tersisa satu kertas mimpi di tanganku, mereka langsung melihat kertas yang masih tergulung itu. Rasa penasaran seakan tergurat dari wajah kami dan siap menerima semua yang dimimpikan oleh Faisal sahabat yang telah pergi. Akupun membacakan isi mimpi itu. “mimpiku yang pertama aku ingin menjadi orang yang hidup lebih lama di dunia ini menemani keluargaku dengan senyumanku, yang kedua aku ingin jujur kepada sahabat-sahabatku bahwa aku terkena penyakit mematikan tapi semua itu sulit di wujudkan aku tak ingin melihat binar mata mereka menjadi mata yang berkaca-kaca, yang ketiga aku ingin sahabatku bangga karena telah mengenalku, yang keempat aku ingin mewarnai dunia dengan mimpi-mimpi dan harapanku dan yang terakhir aku mohon jangan panggil namaku sekarang” mimpi Faisal yang dibacakan olehku dengan menahan air mata Raut wajah menangis terus terpancar dari wajah kami. Tak di sangka siBijak yang pandai memaknai hidup ternyata dia menghadapi hal yang sulit. Waktu itu Faisal wajahnya semakin pucat kami hanya selalu menganggap bahwa dia berubah menjadi pipi susu ternyata itu adalah penurunan kondisinya. Kami termenung terdiam dan mengeluarkan air mata. Fatur berdiri dan berkata “dia sahabat yang baik” “ayo kita alirkan mimpi-mimpi dalam botol ini nanti botol ini akan berlabuh di suatu tempat yang kita sendiri tak tahu tempat itu dimana dan tancapkan kertas-kertas mimpi di pohon impian” Fahma berkata “ayo kita ke sungai tempat terakhir kita bercanda lima tahun yang lalu bersama Faisal” kataku sambil mengajak sahabat-sahabatku Sebelum kami pergi ke sungai, kami menancapkan mimpi kertas itu di pohon impian yang abadi. Berlari dengan penuh semangat saling adu cepat menuju sungai tempat terakhir bercanda bersama Faisal. Semakin mendekat dan terus mendekat ke sungai penuh kenangan klasik semakin bercucuran air mata. Akhirnya kami sampai dan langsung masuk kesungai itu, mengenang masa lalu bersama Faisal dan dengan sekuat tenaga melemparkan botol impian ini untuk melaju di track mimpi yang sulit namun harus pasti bisa dilalui. Badan kami semuanya basah namun kami masih ingin berenang disini dan berkata dengan sekeras mungkin “mimpi untuk dunia” sekeras mungkin kami berkata sambil tersenyum bangga.
Cerpen Karangan: Nurul Ramadhaniah Blog: http://mimpisedunia.blogspot.com Facebook: Nurul Ramadhaniah