Terkadang aku merasa Tuhan tidak adil, tapi aku salah. Tuhan itu Maha adil, banyak rencana dari rencana yang ada pada-Nya. Terkadang kita pun disulitkan dengan pilihan, karena pilihan yang kita inginkan biasanya tak hadir dalam keadaan yang sedang kiita lewati. Mengikuti pilihan pun tak selalu menjadi jalan terbaik, nyatanya tak selalu bahagia ketika kita mengikuti pilihan yang ada. Aku pun merasa tak adil ketika Tuhan mengambil kebahagiaan yang baru sekejap aku rasakan. Tapi itu keinginan-Nya yang tak bisa ku hindari, mau tak mau aku mengikuti pilihan-Nya. Aku diberi kesempatan merasakan bahagia dalam coretan hidupku yang fana.
Suatu ketika waktu tlah mempertemukanku dengan seorang manusia yang indah karena ciptaan-Mu. Aku rasa ini anugrah yang tak patut aku sia-siakan. Sungguh dia orang yang berbaik hati, berwibawa dan selalu membuatku merasa nyaman ketika bersamaku. Dan dalam waktu singkat mengenalnya aku sudah menganggapnya kakakku sendiri, namanya Arman. Belum sebulan kami kenal kami sudah dekat seperti saudara sungguhan.
Di sekolah aku rasa sakit itu kembali menghampiriku. Pusing sekali rasanya kepala ini, dan wajahku mulai memucat. Aku pun segera izin ke toilet pada guru study, aku tak ingin ada yang tau bahwa saat itu aku sakit. Ya, sakit ini lumayan menyiksaku. Tak ada yang tau hal ini, kecuali Arman. meskipun dia tak tau aku sakit apa tapi dia tau aku punya penyakit. Sudah sekitar 10 bulan yang lalu aku mengalami anemia, yang sekarang semakin parah. Aku terkena Anemia Hemolitik, orang tuaku pun tak mengetahui hal ini. Ini karena aku tak ingin membebani siapa pun. Biarkan sementara ini hanya aku yang tau mengenai penyakit ini. meskipun suatu saat nanti mereka pasti akan tau juga. Aku menahan sakit di dalam toilet sehingga tak ada yang curiga. Cukup lama aku di sana dan jika aku merasa sedikit lebih nyaman aku akan segera kembali ke kelas. Meskipun sakit itu masih terpenjara dalam tubuhku. Dan ketika wajahku masih memucat aku hanya beralasan kurang tidur pada teman-temanku.
Sebenarnya Arman pun tak tau hal ini sebelumnya. Tapi keadaan tlah memaksaku saat itu, meskipun aku tak menceritakan seutuhnya pada Arman. Malam itu aku menelfonnya, awalnya aku merasa keadaanku baik-baik saja. Di sela pembicaraan, mendadak dadaku terasa sesak sekali. Jantungku berdetak tak karuan dan aku seperti tak mendapatkan sedikitpun Oksigen di kamarku. Nyeri sekali rasanya jantungku, kepalaku mendadak pusing sekali dan tanganku bergetar, wajah dan tanganku pun semakin memucat. Aku pun tak bisa menjawab pertanyaan dari Arman di telfon.
“Cindy, kamu kok diam? jawab aku Cin..” “iya..” aku memaksa kan diri menjawab agar dia tak curiga, tapi suaraku terlalu kecil “Cin, suara kamu gak kedengaran. Cin kamu kok tiba-tiba diam sih??” Berkali dia memanggil namaku dan bertubi-tubi pertanyaannya menyerbuku tapi aku tak bisa menjawabnya, aku ingin mematikan telfon tapi aku takut dia akan marah nanti. Aku hanya bisa diam menahan sakit, semoga Arman tidak mendengar nafasku yang pendek-pendek ini. “Cin, Cindy.. kamu kenapa?? kok kamu diam aja sih? kamu gak papa? jawab Mas Cin” Dengan terbata aku menjawab pertanyaannya, aku tak ingin dia semakin curiga. “A-a-ku Nd-a pa-pa kok mas,” “suara kamu kok putus-putus gitu? Cin jawab yang jujur Cin kamu kenapa? kamu sakit ya?” “nd-a pa-p-a kok, Cindy se-hat” “jangan bohong sama mas Cin? kamu pasti sakit kan? kamu sakit apa? kok gak pernah cerita?” Akhirnya aku bisa bicara tanpa terbata-bata lagi, nyeriku perlahan berkurang. Tapi aku merasa sekujur tubuhku melemah.. “Cindy baik-baik aja kok mas, sakit biasa kok” “sakit biasa gimana maksudnya? Cin jangan gini dong,” Tiba-tiba nyeri itu datang lagi “Cin kamu kok diam lagi? Cin kamu gak papa? mas ke rumah kamu sekarang ya?” “jangan! tolong jangan mas, Cindy nda mau orang tua Cindy tau.” “makanya kamu cerita sama mas, kamu sakit apa???” “sakit banget mas!” “ya Allah, mas bingung kamu sakit apa Cin? apa kamu yang sakit?” “sesak mas, jantung imah rasanya nyut-nyut, lemes..” “kamu sakit apa sih Cin?” “Cindy sehat kok mas” “udah kayak gini masih aja mau kamu sembunyikan dari mas, jangan bohong sama mas. kamu tau kan mas gak suka di giniin..” “Cindy nda bisa cerita sekarang mas, imah udah minum obat penahan sakit kok.” “Cin, kamu harus ke dokter. Penyakitmu bisa parah kalau kamu terus tahan kayak gini” “nda mas, Cindy kuat kok. Mas jangan cerita sama siapa pun ya.. Cindy mohon..” “Loh, emang gak ada yang tau??” “gak mas, yang tau cuma Mas Arman aja.. tolong ya mas” “iya, tapi kamu harus nurut ya sama mas..” “iya mas.. Cindy percaya sama mas” “sekarang masih sakit gak?” “udah mendingan kok mas..” “kapan-kapan mas mau liat obat kamu ya?” “buat apa mas?” “sudah, yang penting kamu kasih liat sama mas ya. Mas gak mau kamu sembarangan minum obat,,” “iya mas, Cindy baik-baik aja kok” “ya sudah, kamu tidur ya. Istirahat biar kamunya sehat, jangan tidurnya jauh malam ya Cindy..” “iya mas, mas juga. Cindy tutup ya telfonnya”
Aku hanya mengiyakan perintahnya untuk menyuruhku tidur. Berkali ku paksakan diriku untuk tidur tapi aku benar-benar tak bisa tidur. Sakit ini masih mendera di tubuhku, nyeri yang ku rasakan membuatku tak bisa terlelap tidur. Hingga jam 1 malam aku baru bisa memejamkan mata ini dan tertidur.
Keesokan paginya Mas Arman ke rumahku, dia ingin memastikan bagaimana keadaanku setelah semalam penyakitku kambuh. Kebetulan bapak lagi kerja dan ibuku sedang belanja kebutuhan pokok. Jadi hanya aku dan mas Arman yang di rumah. Kami pun ngobrol di teras rumahku. Sudah ku duga, dia pasti membahas sakitku semalam. Sungguh ini bahan pembicaraan yang tak ku sukai. “Cin, gimana keadaanmu sekarang? Sudah baikan..” “iya, Cindy baik-baik aja Mas..” “Cindy, mas tau kamu gak mau cerita penyakitmu itu. Tapi kamu udah janji kan mau kasih liat Mas obat yang kamu minum?..” “iya sih mas, tapi nanti aja ya. Nda papa kan?” “ya udah.. sudah berapa lama kamu sakit gitu?” “belum lama ini kok mas, lagian juga nda parah kok” “iya sudah berapa lama??? Gak parah gimana? Kamunya aja sampai kayak semalam..” “mas udah liat sendiri kan sekarang Cindy baik-baik aja. Baru sekitar 10 bulan yang lalu kok mas. Tenang aja, belum sempat menahun kok” aku tersenyum “kamu bilang itu belum lama Cin? Pasti penyakitmu sudah akut ya.. mas makin penasaran kamu sakit apa sih?” “sakit biasa kok mas..” “ini bukan biasa lagi Cin, ini tuh udah akut. Kamu jangan remehin ini dong..” Tiba-tiba darah segar mengalir dari hidung Mas Arman, spontan itu membuatku sangat terkejut. Banyak sekali darahnya mengalir, betapa paniknya aku saat itu. “Mas, mas nda papa???” “iya mas baik-baik aja kok, Cuma pusing dikit aja” dia tetap tersenyum untuk meyakinkanku “terus hidung mas kok mimisan, ya sudah mas tunggu di sini sebentar Cindy ambilin tisu ya mas.” Segera aku ke dalam rumah mengambil tisu yang ada di atas meja. Ketika aku keluar rumah, Ya Allah.. “Mas, bangun mas… mas kenapa?? Mas.. bangun,,,” ternyata Mas Arman pingsan, bajunya ternodai dengan darah yang mengucur dari hidungnya. Aku segera menelfon ibuku untuk pulang. “Bu, pulang sekarang ya bu. Mas Arman barusan pingsan di rumah. Buruan bu..” “iya, unggu sebentar ya nak.” “iya, ibu hati-hati di jalan bu..” Ya Allah, ada apa dengan Mas Arman? Ataukah dia juga penyakit yang dia sembunyikan dariku? Aku panik sekali melihat keadaanya seperti ini. Sembari menunggu ibu datang, aku hanya meletakkan kepalanya dalam pangkuanku dan membersihkan darahnya. Aku tak kuat memapahnya ke dalam rumah. Dan tak lama kemudia ibu pun datang. “Ya Allah.. Cindy, ada apa dengan Arman? Kenapa sampai hidungnya berdarah seperti ini?” “Cindy juga nda tau bu. Bu kita bawa ke rumah sakit aja ya bu..” “ya sudah..” Kami membawanya ke rumah sakit terdekat, dan dia segera masuk ke ruang UGD. Tak lama kemudian dokter pun datang “Dok gimana dengan keadaanya” tanya ibu “Maaf apa ibu keluarganya?” “iya saya tantenya dok. Ibunya sedang berada di luar kota” ibu terpaksa berbohong untuk mengetahui keadaan Mas Arman. Orang tua Mas Arman memang tak di sini. Dia di sini merantau bersama beberapa temannya. “Bu, pasien itu perlu istirahat yang cukup agar penyakitnya tak kambuh seperti ini. Sementara ini, lebih baik dirawat saja untuk beberapa hari hingga keadaannya pulih kembali” “iya dok. Maaf boleh saya tau dok dia sakit apa ya? Selama ini dia tak pernah cerita” “sepertinya kepalanya pernah terbentur benda keras dan menyebabkan ada darah beku yang menyumbat di kepalanya. Bisa kembungkinan juga dia mengalami leukimia” Aku kaget mendengar kata dokter, lalu aku pun segera bertanya. “apa penyakitnya sudah parah sekali dok?” “lumayan parah, saya belum bisa memastikan karena belum ada tes darah dan scan otak lagi untuk mengeceknya. Maaf bu, saya mau permisi dulu menangani pasien yang lain” “iya dok, terima kasih” Ternyata Mas Arman menyembunyikan hal ini dariku, dia memaksa aku untuk cerita sakit yang ku derita. Ini tidak adil buatku, aku segera ke kamar tempat Mas Arman di rawat. Ibu pulang sebentar untuk mengambil beberapa keperluan. Tak lama kemudian Mas Arman pun sadar kembali. “Alhamdulillah, Mas udah sadar..” “Cindy, ini di mana ya? Tadi kan kita di teras rumah kamu..” “mas lupa ya, tadi itu mas mimisan dan pingsan di rumah Cindy. Gimana keadaan mas sekarang? Apa udah baikkan..” “Mas gak papa kok Cin, kamu gak usah khawatir ya..” “mas, Cindy boleh tanya nda? Tapi jawb yang jujur ya,” “boleh dong, apa sih yang gak buat kamu” sedikit menggoda “Mas kenapa gak pernah cerita kalau mas punya penyakit ini?” “kamu tau darimana???” “mas jawab pertanyaan Cindy, kenapa diam mas?” “Cin, maafin mas ya. Alasan mas sebenarnya sama seperti kamu, mas gak mau bebani orang-orang di sekitar mas..” “tapi Cindy ndaa pernah anggap ini tuh beban mas. Akan lebih baik kalau mas cerita dari dulu sama Cindy. Kalau keadaannya kayak gini itu justru bikin Cindy khawatir” “Cin, kamu jangan ngomong gitu. Mas baik-baik aja kok, buktinya masih bisa ngomong sama kamu kan?” “Mas.. bisa ngomong bukan berarti sehat. Itu bukan jaminan, mas harus sembuh ya mas. Cindy nda mau liat mas sakit gini lagi” “Iya, mas udah sembuh kok. Mas baik-baik aja Cindy. Jangan sedih gitu donk. Mas gak mau liat Cindy sedih gara-gara Mas”
Keadaan Mas Arman sudah membaik, dan hari ini dia sudah diizinkan untuk pulang ke rumah. Hanya saja pesan dokter dia harus menjaga pola makan dan teratur minum obat yang di berikan oleh dokter. Tapi Arman memang keras kepala, dia selalu bilang bosan dengan segala macam obat yang diberikan dokter padanya, lagian hidupnya tak kan lama. Ini membuat Cindy semakin sedih, tapi dia berusaha menyembunyikan kesedihannya karena tidak ingin melihat Arman khawatir dan akhirnya drop lagi.
Sayang sekali keinginan Cindy tak izinkan Tuhan. Di sela-sela hujan yang turun, Arman kembali drop dan tak sadarkan diri lagi. padahal baru seminggu yang lalu dia keluar dari rumah sakit. Darah yang keluar dari hidungnya semakin banyak, kali ini kondisinya benar-benar hampir kritis. Bahkan dokter bilang dia koma. Ini membuat Cindy menjadi terenyuh dan dia semakin tidak peduli dengan kesehatannya.
Setiap hari Cindy lah yang selalu berusaha menyempatkan dirinya untuk menjaga Arman hingga sadar. Tapi dokter bilang kemungkinannya untuk hidup hanya sekitar 27 %. Ini memang membuat Cindy sangat terpukul. Tapi dia yakin Arman pasti bisa sehat seperti dulu. Sayang sekali Cindy juga tidak sadar betapa nyawanya kini berada di ambang jemari Tuhan.
“Mas cepetan sadar donk, Cindy pengen liat Mas tuh senyum lagi. Mas tuh bawel banget ya, nyembunyiin penyakit sendiri sampe kayak gini. Cepetan sadar ya, biar kita bisa makan bareng, jalan bareng, hunting bareng.. “ Tiba-tiba saja Jlebbbbb ! Cindy mendadak pingsan. Tubuhnya sudah sangat pucat, sudah bisa dipastikan penyakitnya pasti kambuh juga karena akhir-akhir ini dia tidak pernah lagi mengkonsumsi resep dokter dan selalu kurang istirahat. Tubuhnya benar-benar drop dan lemas. Akhirnya Cindy pun harus masuk ruang ICU untuk mendapat perawatan intensif.
Tuhan memang tidak mengizinkan mereka bersama seperti dulu lagi. Ketika Cindy pun sedang berjuang melewati masa kritisnya di ruang ICU, kini Arman sudah tersadar dari komanya. Berkali dia memanggil nama Cindy. Namun orang tuanya berusaha untuk menenangkannya. Mereka tidak ingin dia drop dan kondisinya memburuk lagi, sehingga tak ada yang berani memberitahukan bahwa Cindy sedang kritis di Ruang ICU dan di rumah sakit yang sama dengannya pula.
Sudah 3 hari Arman menuggu Cindy hadir di sampingnya, tapi dia tak kunjung datang. Arman berusaha mencari tau sendiri tanpa sepengetahuan orang lain, dan dia memutuskan untuk bertanya kepada dokter yang merawatnya. “Dok, maaf.. boleh saya bertanya?” “Oh, tentu saja.. Ada apa Arman?” “Ehmmm, apa dokter tau gadis yang bernama Cindy? Dia sering menjenguk saya. Tapi sudah 3 hari dia tidak muncul semenjak saya sadar. Mungkin dokter tau dimana dia..” “Ohh, Cindy.. dia pasien saya, 3 hari yang lalu dia masuk ICU dan sampai sekarang belum lewat masa kritis” “ya Tuhan… kenapa dia dok??” “Anemia yang dia derita sudah semakin akut, kemungkinan untuk lewat masa kritis sangat kecil. Hanya tinggal berdoa pada Sang Kuasa” “Tuhann…. kenapa begini? Lebih baik Engkau tak bangunkan daripada aku yang tak bisa melihatnya lagi” Doa yang dikirimkan Arman kepada Tuhan bukanlah tak bermaksud. Dan salah satunya adalah tak ingin melihat diriny menderita, meskipun sesungguhnya dirinya sendiri pun telah rapu karena penyakitnya itu. Tapi kehendak Tuhan terkadang memang tak sejalan, Dia menginginkan Cindy kembali ke pangkuannya. Mungkin itu lebih baik daripada harus menanggung derita di dunia fana ini.
#Arman Terima kasih Tuhan, Kau pertemukan dan perkenalkan aku dengan Cindy. Gadis manis dengan semangat hebat, mampu menutupi jiwanya yang sebenarnya telah rapuh. Mampu tersenyum dalam sembunyian sayatan lukanya. Tak kulihat setetes pun darah menetes di hadapanku. Begitu indahnya dia, hingga Engkau pun mengambilnya kembali lebih cepat dariku…
Cerpen Karangan: Rahimah Permata Sari Facebook: Imahgsp Bellpercuassion Ilmuwan Tangggal Lahir: 24 Mei 1996 Alamat: Kalimantan Utara