Namaku Raditya, aku suka sekali membuat film pendek. Dari kecil aku hobi banget dengan yang namanya merekam. Merekam apa aja deh. Yang penting hati senang, di bilang sutradara amatir. Nah kali ini aku ingin buat film pendek yang lain dari yang lain. Sudut pandang yang berbeda dari image seseorang. Kali ini aku ingin sekali membuktikan ungkapan don’t judge the book by the cover. Cara pandang seseorang terhadap sesuatu bukan hanya dari luarnya saja, tapi dari dalam nya juga, khususnya hati.
Aku penasaran dengan teman sekelasku Andini namanya, ia sering diejek teman-teman karena katanya sih wajahnya enggak cantik dan paling iyuuuhh lah seantero negeri sekolah kami. Padahal kan cantik relatif. Setiap kali aku ingin bicara dengan nya ia malah cuek. “An, PR Geografinya suruh apa ya?” Aku coba akrab dengan nya. “Suruh ngerangkum halaman 18-27” jawabnya dengan ketus. “Jawabnya kok ketus gitu sih?” “kamu juga sama kan, dengan yang lain nya. Hanya ingin mengejek wajah buruk ku. Jangan sok akrab deh. Maaf” sambil melangkah menjauh. “Aku enggak gitu koq, aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat” “Padahal aku ingin membuktikan sesuatu pada dunia, tentang tak penting wajah cantik itu, yang sangat penting cantik hatinya” kataku dalam hati.
Entah apa yang membuatku penasaran dengan Andini, ku lihat wajah dan matanya menyimpan kebaikan, beda dengan yang lain. Aku ingin membuat film pendek tentang nya. Sering ku lihat Andini diolok-olok cewek-cewek super menyebalkan, sok cantik, sok gaul lakh. Namun kali ini sudah sangat keterlaluan ucapan mereka. Aku beranikan diri mencoba mendekati kerumunan menyebalkan itu. “Enggak ada kerjaan lain apa? selain mengejek orang, ngaca dulu dong sebelum menilai orang lain, belum tentu kalian lebih baik dari orang yang kalian ejek” “Wah-wah ada pangeran tampan nih mbelain putri buruk rupa” kata Anita, cewek paling cantik namun sayang hatinya enggak cantik. Andini tak sanggup lagi menahan cemoohan yang sudah sangat keterlaluan itu. Ia berlari meninggalkan kerumunan. Langkahnya meninggalkan sejuta perih, ingin marah namun tak bisa. Aku tahu itu… Hahaha… kini hanya terdengar tawa riang cewek-cewek menyebalkan itu. Mulai detik ini aku ingin tau lebih dalam tentang Andini. Aku ingin mengungkap sisi baiknya, agar semua orang tau cantik dari hati jauh lebih indah dan memesona. Ku yakin Andini menyimpan kebaikan, dari matanya yang teduh itu.
Keesokan harinya aku memutuskan untuk menjadi pengintai Andini, hehehe sok keren banget ya aku. Sungguh tak mampu ku ingkari mata Andin menyimpan kebaikan, entah apa aku tak tau. Sebenarnya Andin tak jelek, ia hanya berkulit cokelat sawo matang. Dan aduh lesung pipinya cantik sekali menurutku. Apa hanya tak berkulit putih bisa disebut dengan jelek? Ah menurutku tidak.
Dengan gaya sok detektif aku membuntuti Andini, ku lihat ia di seberang jalan dan apa yang ia lakukan? Tak ku sangka, di saat para pejalan kaki lain tak bergeming hatinya untuk membantu menyebrangkan seorang nenek-nenek yang sudah renta, namun ia… Andini membantunya. Sesegera mungkin aku merekam nya, tak ingin ku melewatkan hal ini. Semakin semangat 45 aku membuntuti Andini… heheheheh… dan ketulusan hati itu muncul lagi. Andini membantu seorang ibu-ibu yang terlihat sangat kerepotan membawa belanjaan nya. Andini mengantarkan ibu itu hingga sampai rumahnya. Pertanyaan dalam benakku, bagaimana ia mau repot-repot melakukan hal ini padahal ia sama sekali tak mengenal ibu itu.
Capek sekali aku membuntutinya, hmmm ku lihat lagi ketulusan itu datang lagi… Andini menolong anak kecil pemulung yang kelaparan. Tak tanggung-tanggung sekitar 10 anak. Wah darimana ia bisa membelikan anak-anak itu makanan, kan selama ini Andini terkenal sebagai anak yang tak mampu. Aku semakin penasaran. Cukup lelah aku mengikutinya, akhirnya aku hentikan langkah kakiku. Andini berhenti berjalan, dan menuju sebuah sanggar belajar. “Apa pula ini? Ketulusan apalagi ini?” dari jendela ku lihat dan ku intip segala penjuru ruangan itu. Banyak anak-anak kecil nan imut duduk manis di kursi warna-warni. Ku lihat di sana di sudut ruangan ada pak Ahmad. What? Kau tahu… pak Ahmad adalah donatur sekolah kami yang paling banyak, ia terkenal sebagai orang yang baik dan dermawan. Muncul tanda tanya besar? Apa pula hubungan nya dengan Andini.
Tak lama kemudian sosok gadis berjilbab teduh datang… siapa dia… ku perhatikan dengan penuh seksama. Wajahnya, senyumnya, lesung pipinya. OMG dia Andini, tapi kemana kulit cokelat sawo matangnya yang tak menarik itu? Kulitnya kini putih bersih. Ku rekam semua ketulusan hati Andini hingga detik ini, detik dimana aku tahu sebenarnya sosok Andini. Ia tak berkulit cokelat sawo matang buruk itu.
Kegiatan mengajar itu telah selesai. Anak-anak nan imut itu telah berlarian riang meninggalkan sanggar belajar itu. Aku mencoba menghampiri Andini. “Kau… apa kau Andini yang selama ini ku kenal?” “Kenapa kau ada di sini, bagaimana kau tahu tempat ini?” kata Andini dengan tertunduk malu. “Aku seharian membuntuti mu dan merekam semua ketulusan mu di kameraku ini” “Tolong hapus rekaman mu itu, aku mohon. Aku tak ingin ada teman sekolah lain yang tahu” “Kenapa wajahmu…” “Ehemmmm… nak Raditya, ini sebenarnya penyamaran Andini” kata pak Ahmad yang mendengarkan percakapan mereka. “Maaf pak Ahmad, saya tidak sopan tiba-tiba masuk dan bicara yang tidak sopan” “Tidak apa-apa nak Radit, biar Andini yang menjelaskan semuanya nya, ayo anakku jelaskan” “Aku… aku hanya pura-pura berwajah buruk rupa, aku memakai make up… aku ingin mengetahui sudut pandang orang terhadap orang yang tak cantik, ternyata mereka bersikap buruk. Padahal kan semua orang istimewa. Tak penting cantik atau jelek. Semua sama, ciptaan Sang Maha Kuasa, mereka hanya memandang seseorang dari fisiknya saja. Aku sangat tak menyukai itu. Dan kami Radit, aku mohon hapus video rekamanmu itu. “oke… aku akan melakukan nya, aku akan menghapus video rekamanku ini” Aku gemetar melihat wajahnya yang cantik, sungguh bagai bidadari surga. Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi, aku memutuskan untuk pamit pulang. “Pak… Andini… saya mohon pamit pulang” “Iya nak, hati-hati di jalan” kata pak Ahmad. Andini hanya menundukan wajahnya.
Aku mulai melangkahkan kaki menjauhi sanggar belajar itu… Sekilas aku melihat wajah Andini, ia begitu cantik. Ia hanya tertunduk. Sungguh cantik. Cantik itu relatif, semua perempuan cantik. Apalagi yang cantik hatinya. Sungguh memesona hati. Hari ini telah nyata ku lihat sendiri pembuktian itu, don’t judge the book by the cover. Bukan make up yang tebal yang membuta cantik, bukan gaun yang indah yang membuat cantik, bukan perhiasan indah yang membuat cantik, bukan pula kulit mulus putih yang membuat cantik. Namun yang membuat cantik adalah ketulusan dan kebaikan hati. Cantik dari dalam jauh lebih nyata. ^_^
Cerpen Karangan: Rahmi (Adhe Amii) Facebook: Adhe Amii