Hari ini, aku bertemu dengan seseorang, kali pertama setelah beberapa puluh tahun tak bertemu. Seseorang yang ku ingat suka menggangguku acap kali berkeliling kampung sambil menjajakan es manis buatan ibu,
“saya tidak menyangka, gadis kecil tomboy yang ramah dengan tentengan termos es manis di tangan kiri, lonceng besi di tangan kanan, sekarang sudah berubah, sudah sukses kamu nak?”. Katanya tak berhenti menatapku sambil menepuk bahuku saat menyalamiku di koridor rumah sakit,
“kapan kamu kembali dari bandung, kabarnya kamu kepala ruangan di Rumah sakit ini yah, saya benar-benar tidak percaya, gadis kecil tomboy penjual es manis sekarang menjadi sosok orang besar dan mapan, kamu sudah menikah nak?”. Sungguh pertanyaan berantai yang cukup sulit menjawabnya satu demi satu,
Aku hanya terdiam mendengarkan rentetan pertanyaan yang seperti bola kasti, cepat dan keras dengan tanganku yang masih diggenggamnya,
Seketika, ingatanku kembali puluhan tahun lalu, saat mungkin masih belum merasakan yang orang sebut “gengsi”. Sepulang sekolah selepas makan siang, biasanya aku bergegas berkeliling kampung dengan menenteng termos es yang beratnya mungkin tak mampu aku topang dengan hanya satu tangan kecilku. Dengan lonceng di tangan kanan, aku menyusuri sebuah lorong dan berhenti pada sebuah tempat yang biasanya dijadikan tempat berkumpul bermain anak-anak di lorong itu. Mungkin orang bertanya-tanya, kenapa anak sekecil aku, perempuan pula, mau menjual es padahal orangtuaku termasuk berkecukupan dan tak perlu repot berjualan es untuk mendapatkan uang jajan,
Yah, saat itu tak terpikirkan olehku dengan anggapan semua orang termasuk teman sekolah yang tahu rutinitasku sepulang sekolah. Sejak kecil almarhumah ibu mengajari dan membiasakan anak-anaknya tanpa membedakan laki-laki atau pun perempuan untuk berusaha mendapatkan sesuatu dengan usaha sendiri, tidak boleh malu jika memang itu hal yang baik, tidak mengeluh dan tidak mudah menyerah, meski sebenarnya tanpa jualan es pun ibu pasti memberi aku uang jajan. Ibu mengajarkan untuk menerima dan melakukan sesuatu yang baik meski mengawalinya, perlu mengabaikan rasa malu, gengsi dan lainnya karena semua kesuksesan berawal dari mencoba, melakukan, menjalani dan tidak mengeluh.
Aku tidak keberatan menjalani semua itu hingga usiaku masuk sekolah menengah pertama, meski tak sedikit yang mengejek tetapi aku bangga bisa menghasilkan sesuatu meski mungkin jarang, bahkan tak ada yang mau melakukan itu. Kala itu, tak ada yang terintas selain untuk bisa membantu ibu karena saat itu hanya ibu yang memiliki kulkas di desa kami.
Es mambo, es kue dan es batu buatan ibu sangat laris, tak jarang aku pulang dengan riang sambil berlari-lari kecil dengan menenteng termos es yang sudah kosong. Kalimat pertamaku yang terdengar saat memasuki rumah,
“ibu, esnya habis”. teriakku dalam bahasa bugis, kalimat pertama yang terdengar acap kali memasuki rumah, sepulang berjualan es, sambil menyimpan termos dan gerincingnya agar besok siang aku bisa menggunakannya lagi tanpa susah mencarinya.
Saat aku pulang, ibu akan menyambutku di pintu dengan senyuman khasnya sambil memandangku dengan penuh makna, meski aku tak pernah tahu makna senyum itu hingga ibu meninggalkanku selamanya.
Aku, termos es dan gerincing besiku,
Yah, Masa kecilku, sebuah petualangan dan pengembaraan dalam pencarian makna hidup dalam kehidupan. Terjatuh, terhempas lalu bangkit dan terjatuh kembali, adalah warna kehidupan yang senantiasa mengiringi perjalanan menuju akhir masa, Terimakasih ibu, atas pinjaman termos dan gerincingnya
Cerpen Karangan: Mayla Parinringi Facebook: Mayla Parinringi