Pintu ruang musik itu setengah terbuka, dari dalam terdengar sayup-sayup suara biola bernada indah dimainkan, namun beberapa kali berhenti sesaat dan kemudian dimainkan kembali. Kali ketiganya permainan biola itu berhenti, keluarlah sosok wanita bertubuh semampai dengan langkah gontai menyambar sebotol minuman yang terletak di meja samping ruang musik, dia meminumnya seteguk demi seteguk dan memastikan minuman itu berhasil melepas dahaganya, kemudian dia kembali ke ruangan itu. “Cukup untuk hari ini Quinn, permainanmu sudah lumayan” kata seorang wanita yang sedari tadi dengan setia mendengarkan permainan biola Quinn. “Tapi… Dunia Internasional tidak menerima kata “Lumayan” Quinn, berlatihlah lebih keras! kelak kau akan berhasil seperti orangtuamu.” tambahnya sambil melangkah keluar meninggalkan ruangan itu dan berbalik sebentar menghadap Quinn “Berlatihlah sampai semua sempurna Quinn! SEMPURNA!” untuk kali ini ia benar-benar telah pergi dari ruangan itu.
“SEMPURNA” hanya kata itu yang menemani kesendirian Quinn saat ini, dan kesendirian itu segera terpecah saat handphone Quinn berdering, “Halo ma, iya Quinn masih di tempat latihan habis gini juga mau pulang kok ma”, dari seberang telepon terdengar suara mama Quinn “Ya sudah kalau begitu, mama tunggu di rumah ya” maka saat percakapan itu selesai, Quinn segera pulang ke rumah.
“Bagaimana Quinn latihannya? Berhasil?” Tanya mama sesampainya di rumah, Quinn menggelengkan kepalanya dan menunjukkan sikap diam tak ingin bicara. “Ya sudah nanti pasti akan ada kesempatan lain yang penting sekarang kamu segera mandi dan istirahat ya Quinn, mama sudah masak makanan kesukaan kamu.” Ucap mama. “Ya ma” jawab Quinn sambil berjalan menuju ruang makan.
Quinn dilahirkan oleh pasangan musisi terkemuka dengan ayah seorang komponis berdarah Italia dan ibu seorang violinis terkenal di masanya, belum lagi nama belakang “Verdi” yang di dapat Quinn dari kakek buyutnya, seorang komponis legendaris Giuseppe Verdi, yang membuat Quinn sangat di tuntut maksimal dalam bermusik dan berkarya.
Hari menjelang malam, Quinn menyibukkan diri di kamar dengan menggenggam bolpoint dan mulai mengguratkan beberapa baris kata pada buku diarynya di atas meja, rutinitas Quinn di malam hari setelah seharian menghabiskan waktunya hanya dengan bermain musik dan aktivitas homeschoolingnya.
“Dear diary, hari ini merupakan hari yang cukup mengesalkan, pertama latihan kerasku untuk melangkah ke dunia internasional harus tertunda karena permainan biolaku yang “LUMAYAN” kemudian belum lagi hari ini rasa sakit itu datang lagi, dan kali ini semakin lama semakin buruk, rasa sakit itu menyerang tepat pada jantungku, seketika detak jantungku berdegup cepat tak beraturan, kadang kala detak jantung itu kembali normal dengan sendirinya, dan begitu seterusnya, sesekali aku tak kuat dengan rasa sakit ini tetapi aku tak sanggup menceritakan semua ini pada mama ataupun papa, aku takut hal ini dapat membuat mereka kecewa dan menghalangi mimpiku untuk membahagiakan mereka. Sudah ku coba untuk melakukan apa saja yang dianjurkan oleh dokter tetapi rasa sakit itu hanya mereda sementara. Aku tak mau rasa sakit ini menghalangi mimpiku, jikalau aku harus mengabaikan rasa sakit ini agar aku mampu menjadi sempurna maka akan kuabaikan, Aku percaya suatu hari nanti aku bisa membuat mama dan papa bangga, mewujudkan mimpiku menjadi violinis profesional.”
Quinn menutup buku diarynya dan beranjak untuk tidur.
“Ok Quinn, from the top!” suara itu terdengar dari kejauhan tanpa diketahui dari arah mana asalnya, “Stop Quinn! Bukan seperti itu! Permainanmu buruk! Ada apa dengan kata SEMPURNA Quinn?” suara itu terdengar lantang dan tegas semakin lama semakin mendekat diikuti dengan wajah seorang wanita yang tak asing bagi Quinn, ia menatap wajah Quinn dalam-dalam dan berkata “Andai saja orangtuamu melihat permainanmu tadi Quinn, mereka pasti kecewa dan menyesal telah memilikimu sebagai anak”, saat itu juga air mata mulai membasahi pipi Quinn, ia tak berani menatap wajah wanita itu wanita yang telah mengatakan kata-kata terburuk yang pernah didengarnya, kata-kata yang telah meremukkan jiwa dan raganya dengan pandangan menusuk jantungnya.
“KRIIIINNGGGGKRIINNNGG KRIINGGGKRIINGGG” bunyi klasik alarm Quinn membangunkannya dari mimpi buruk itu.
Hari itu merupakan hari besar bagi Quinn, hari yang cukup mendebarkan dan merupakan hari di mana semua latihan dan kerja kerasnya harus terbayar. Tidak seperti aktivitas Quinn biasanya, setelah homeschooling Quinn berangkat menuju studio rekaman. Sesampainya di studio rekaman tersebut pelatih Quinn menghampirinya, ya pelatih Quinn adalah wanita yang menghantui mimpi Quinn semalam, wanita yang telah menusuk jantung Quinn dengan kata-kata yang menyakitkan, Quinn berusaha menutupi amarahnya mengingat mimpi buruk tadi malam.
“Nervous, Huh?” sapa wanita itu dengan senyuman lebar, Quinn yang tadinya berusaha menutupi amarahnya, kini benar-benar mampu berpikir jernih dan menganggap mimpi buruk semalam hanyalah bunga tidur.
“ehmmm…sedikit ma’am” jawab Quinn singkat. Wanita itu meraih dua tangan Quinn dan menggenggamnya erta-erat “We all depend on you Quinn, jangan kecewakan kami”
“I’ll do my best ma’am!!…” jawab Quinn dengan mantap dan lantang.
“Kau pasti bisa Quinn! Yakinlah sayang” kata wanita itu, kali ini ia menatap mata Quinn dalam-dalam dan menggandeng Quinn masuk dalam ruangan rekam untuk mulai merekam demo Quinn.
“Ingat Quinn, santai saja dan biarkan nada-nada itu mengambil jiwamu, seketika dengan tempo indahnya menuntunmu menikmati irama yang berkesinambungan.” Bisik Quinn dalam hati kecilnya.
“That’s a wrap Quinn! That was so incredible… itulah yang dinamakan sempurna Quinn” puji pelatih Quinn dengan bangganya setelah rekaman demo Quinn selesai “Aku yakin demo itu mampu membuka jalanmu ke Wina, untuk Go International.”
Senyum Quinn bertebaran hari itu, dan tak berhenti bertebaran sesampainya di rumah. “Quinn? Kenapa senyum-senyum sendiri?” Tanya mama keheranan “Bagaimana demonya Quinn?” Quinn masih menebar senyumannya dan segera menjawab pertanyaan mama dengan runtutan cerita yang akurat. Mendengar itu semua, kali ini giliran mama Quinn yang menebar senyumannya, mereka berdua sepakat untuk memberitahukan berita bahagia tersebut pada papa sepulang kerja nanti.
Malam hari itu, setelah mendengar berita yang telah mereka sampaikan tersebut papa ikut menebar senyuman tanpa henti-hentinya, sungguh hari yang menyenangkan. Seperti biasa malam sebelum tidur tak lupa Quinn mengguratkan momen-momen yang ia alami hari itu di dalam buku hariannya.
“Dear diary, aku sangat berterimakasih atas semua yang Tuhan berikan padaku selama ini, walaupun hari ini aku hanya mampu membuat demo saja, tetapi aku sangat bersyukur karena aku mampu bermain sempurna kali ini dan semoga demo yang telah ku buat tadi memberikanku jalan untuk Go International dan dapat mengantarku tampil di Wina seperti mimpi tiap pemusik di dunia ini. Dan hari ini kurasa rasa sakit itu sudah hilang walaupun kemarin-kemarin rasa sakit itu sedikit menyerang tetapi hari ini rasa sakit itu tak datang mengunjungiku lagi, salah satu hal yang harus kusyukuri juga. Aku harap rasa sakit itu benar-benar hilang, dan tak lagi menghantui hari-hariku… ”
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tak terasa hampir satu tahun semenjak demo tersebut di buat, Quinn tak banyak mendapat kabar darinya. Berkali-kali Quinn mencoba bertanya pada pelatihnya, tetapi ia hanya mendapat gelengan kepala dari sang pelatih yang lama-kelamaan sedikit memupuskan harapannya untuk Go International.
Ia mulai rapuh, tetapi dorongan dari orang-orang di sekitarnya membuat dia teguh dan tegar, dan ketika ia mencoba melupakan mimpi untuk tampil di Wina, Austria ataupun Go International, ia mendapat kabar dari sang pelatih, kabar yang selama ini telah menggantung lama, kabar yang selama hampir satu tahun dinanti-nantikan.
Quinn mendapat undangan sebagai tamu kehormatan di Wina (Vienna) Austria, ia mendapat Golden ticket untuk Go International, dengan segera ia membayangkan dirinya berdiri di atas panggung, bersama pemusik kenamaan lainnya memainkan biolanya dengan sempurna dan memukau para penonton. Air mata mulai mengalir dari mata Quinn, kali ini air mata yang keluar bukan karena rasa takut seperti dalam mimpi yang ia alami beberapa bulan yang lalu, tetapi air mata haru bercampur bangga. Quinn segera menyampaikan kabar ini kepada kedua orangtuanya dan benar terjadi, papa dan mama Quinn tak dapat membendung tangis bahagianya.
Hari keberangkatan Quinn menjadi hari pertama bagi papa dan mama melepas kepergian putri tunggalnya, putri yang selama ini tak pernah bepergian jauh dari mereka, putri yang telah beranjak dewasa dan putri yang telah membanggakan mereka.
“Ma, pa Quinn berangkat ya, janji ya, kalau papa dan mama akan menonton Quinn di hari konser Quinn di Wina.” Ucap Quinn sambil memeluk papa dan mama bergantian. “Ya sayang kami janji” kata mama dengan diikuti senyum dan tangis harunya. “Kamu benar-benar telah membuat kami bangga Quinn, pukau mereka dengan permainanmu Quinn tunjukkan kalau Indonesia ini mempunyai talenta yang luar biasa” kata papa dengan mata berkaca-kaca. Setelah mengucap salam perpisahan, Quinn berangkat menuju ke Wina. Sesampainya di sana ia benar-benar di latih dan dipersiapkan tampil dengan para pemusik hebat, walaupun rasa sakit yang dideritanya tersebut kadangkala menyerang tetapi ia tetap tegar dan berusaha menutupi rasa sakitnya tersebut. “aku harus mampu bertahan sampai hari perform tiba, takkan kubiarkan penyakit ini menghadangku.” Bisik Quinn dalam hati.
Panggung akbar di persiapkan dengan baik, banyak orang lalu lalang kesana-kemari, para penari dan orkestra berlatih berulang-ulang hingga mencapai keserasian yang diinginkan. Satu persatu pemain biola dari berbagai Negara memasuki panggung akbar tersebut panggung di mana semua musisi dunia meniti karier besarnya dengan tampil di panggung tersebut.
“Sebuah kehormatan bagi kami memiliki kalian, para pemain biola profesional dari berbagai penjuru dunia. Kurang lebih satu jam lagi kita akan memulai konser musik ini.” Kata seorang komponis yang merupakan penanggung jawab dan mentor para violinis, dalam bahasa Jerman.
“Dan satu hal yang belum saya sampaikan pada kalian, bermainlah dengan hati bukan hanya teknik, resapi tiap melodi yang dihasilkan, dan yang terpenting percaya diri” Para pemain biola yang terlihat agak sedikit tegang saat itu berusaha berlatih keras agar dapat tampil dengan tenang dan percaya diri, termasuk juga Quinn yang saat itu benar-benar terlihat pucat.
“Quinn Verdi?” Komponis itu memanggil nama Quinn,
“Ya, itu adalah nama saya” sahut Quinn keheranan.
“Saya sangat mengagumi kakek buyut anda, ia adalah pria yang hebat meskipun saya tak mengenalnya semasa hidup tapi saya sangat mencintai karya-karya besarnya yang sering di mainkan di opera sewaktu saya kecil dan karya-karya beliau benar-benar tak lekang oleh waktu, suatu kehormatan jika anda, Quinn Verdi bersedia tampil solo dalam konser musik kali ini.” Komponis itu memberikan kesempatan yang tak akan pernah dapat di tolak oleh violinis manapun di dunia ini, suatu kesempatan yang menjadi titik awal kesuksesan dalam karier mereka. Maka Quinn mengambil kesempatan tersebut.
Konser di mulai dengan pembukaan tarian oleh Vienna State Opera Ballet diiringi Vienna Philharmonic Orkestra, mereka memainkan musik klasik Johann Strauss-Wiener Blut. Sesaat setelah penampilan pembuka ini, giliran Quinn tampil solo untuk memainkan salah satu karya Antonio Vivaldi. Quinn melangkahkan kakinya, banyak orang yang telah mendengar desas-desus tentang keluarga Quinn bahwa darah komponis besar mengalir dalam tubuh Quinn, banyak dari mereka mengharapkan permainan biola Quinn ini benar-benar mencerminkan dan menegaskan darah legendaris tersebut.
Sesampainya di tengah panggung Quinn melihat sekelilingnya ia mencari kedua wajah yang dinanti-nantikannya, ketika ia menemukannya ia menebarkan senyum bangganya dan mulai memainkan biolanya. Gesekan senar biola Quinn, riuh sorak-sorai penonton, detak jantung Quinn yang tak beraturan semua melebur menjadi satu rasa, dan ketika permainan biola Quinn mencapai akhir, perlahan rasa itu mulai pudar, tangan Quinn tak mampu lagi menyangga biolanya, kedua kaki jenjang Quinn tak mampu lagi menyokong tubuhnya, dan rasa sakit itu, rasa sakit yang berusaha ia tutupi dengan berbagai cara kini telah menjemputnya, benar-benar mengambil Quinn dari semua kesadaran serta kestabilan dirinya dan telah berhasil menghujam Quinn dengan sebuah pisau yang menusuk tepat pada jantungnya. Ia terhempas ke lantai “Bugg”, tubuhnya terkulai lemah tak bernyawa.
“Jika ini adalah waktu yang tepat, maka aku dengan bersedia hadir dalam HadiratMu, aku tidak akan mengeluh atau meronta, memohon atau meminta, aku akan benar-benar menjalani semua ini sampai selesai, aku tak akan pernah menyesali hari ini, hari di mana aku telah berhasil mewujudkan mimpi mama dan papa, dan hari di mana aku meninggalkan semuanya, ini adalah awal duniaku yang baru, di mana aku akan ditempatkan pada tempat yang telah Kau sediakan Tuhan. Sungguh aku tidak akan pernah menyesali kesempatan ini dan terimakasih telah memberikanku satu hari Tuhan, satu hari untuk mewujudkan ini semua. Terimakasih Tuhan Terimakasih…”
Rasa sakit itu benar-benar berhasil merenggut jiwa dan raganya, tetapi tak berhasil merenggut mimpinya.
Cerpen Karangan: Djunita Blog: thespreadofshine.wordpress.com