“Lagi-lagi band dia Ryu…” bisik Anggi jelas ditelingaku. Komentar Anggi langsung mempertajam pandanganku kepada band di atas podium kehormatan juara pertama festival band yang aku ikuti. Entah pandanganku terlihat sinis atau dendam, yang jelas mereka memang menarik perhatian. Satu persatu para personil di panggil untuk disematkan kalung penghargaan. “Denis… Puput… Myer… dan Mega…” teriak host acara menyambut pemenang pertama band bernamakan Hipnotis.
Entah kenapa juga nama terakhir yang disebut host sempat menghipnotis pandanganku terhadap dirinya. “Manis juga nih cewek “ucapku dalam hati. Begitu sesatnya alam pikiranku bermain memperhatikan sosok bernama Megi, mungkin aku makin tidak sadar kalau Anggi tidak menepuk pundakku. “Ryu… busyet deh mulut sampai terbuka gitu jangan bengong donk. Band kita di panggil tuh” jerit Anggi membuyarkan lamunanku.
Kaki terasa berat menaiki anak tangga menuju panggung. Kecewa menjadi yang kedua bukan yang pertama apalagi kalah oleh anak kemarin sore. “Wahhh inilah band yang sudah tidak asing lagi Ryu.. Anggi dan rombongannya ayo berikan komentarnya” serah sang host memberikan micnya kepadaku. Ingin rasanya ku tempeleng wajah host dengan candaannya yang norak. Tapi aku tidak mau nyerah dengan emosi sesaat. Yahh sudah ku terima saja nasibku bicara di atas panggung menghadapi fansku yang sudah kecewa duluan. “untuk para pecinta band kami yang sudah jauh-jauh datang mendukung. Maaf kalau kami mengecewakan tidak menjadi juara pertama…” ucapku spontan tertahan. Ada suara tawa yang menahan komentarku di atas panggung. Suara tawa yang berasal dari sisi band rivalku Hipnotis terasa begitu mengejek. “woooiii apa maksud lo ketawa” teriak salah satu pendukungku menunjuk orang yang tertawa, Panitia acara nampak sudah membaca situasi menjurus kekacauan segera sigap membubarkan acara.
Kami segera diungsikan ke belakang panggung ketika pendukung bandku dan band rivalku nampak semakin susah di atur panitia. Acara yang bertajuk ajang musik untuk persatuan malah diakhiri dengan perpecahan. Insiden ini tidak terjadi kalau saja masing-masing punya satu bentuk kedewasaan.
Di ruang pengungsian spontan Anggi kehilangan kesabaran langsung menunjuk muka si biang kerok. “hehh monyet gara-gara lo nih acara jadi berantakkan” emosi Anggi begitu memuncak. Pria yang di tunjuk melihatkan wajah tidak senang kembali berkomentar pedas. “lo aja bawa fans orang kampung” wajahnya tidak melihatkan rasa bersalah. Hampir tanganku mendarat di wajah menyebalkan itu untuk meninggalkan bekas yang tidak bisa dilupakannya namun panitia segera mencegahku. “Sudah Ryu… cuci muka sana biar dingin kepalamu” ujar Panitia menenangkan emosiku.
Kepalaku sudah panas bertambah panas ketika sampai di pintu kamar mandi sudah terkunci rapat. Hampir ku dobrak pintu tersebut setelah menunggu cukup lama tapi kubatalkan juga. Karena tidak ku sangka dari balik pintu keluar wajah manis berambut panjang tergerai. Di tambah senyumnya otomatis membekukan aliran darah panas dari otakku. “haiii kamu dancer ya?” komentarku tanpa berpikir panjang. Kalimat pembuka yang dangkal karena memang tidak kurencanakan. “hihihihii… kakak bisa saja” si cewek begitu geli mendengar pertanyaanku. “Lalu kamu disini ngapain?” kembali aku tidak ingin berpisah dengan gadis manis yang siap beranjak pergi dari pandanganku. “kan kakak sudah merhatiin aku dari tadi di atas panggung” jawabnya sambil terus berjalan. “hahaha… kupikir dia tidak sadar kalau mataku selalu memandang dia” batinku tertawa malu. “Oh iya namamu siapa” aku kembali bertanya. “kan sudah tahu namaku Mega” jawabnya setengah berteriak sambil membalikkan badannya. Segera aku menghampiri dirinya memberikan handphoneku “kalau gitu minta nomor kontakmu donk?”. Dengan tersenyum Megi mengetikkan beberapa angka dalam handphoneku. Kesempatan juga untuk aku memperhatikan wajahnya lebih dekat merekam lebih dalam lagi wajah manisnya dalam hati ini.
Semenjak itu hubunganku dengan Mega semakin hari semakin erat. Musik juga menjadi perekat kami berdua, tiada hari yang kami bincangkan kalau temanya bukan musik. Mulai dari embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sampai releasenya album Kiss This dari Se* Pistols pada tahun 1992 yang membangkitan era musik punk.” aku heran sama kamu girly tapi musik sukanya yang cadas.” tanyaku di sela jamming bareng berdua.
Sebenarnya aku kagum atas kemampuan oleh vokal Mega yang pas. Mulai dari Double bass drum sangat tipis juga sangat bertenaga, kadang bersama-sama dengan pukulan Snare Drum dengan gaya meledak-ledak cewek bernama Megi ini dapat mengikuti. “memangnya kenapa, memangnya cuma pria aja yang boleh bermain musik Metal? Musik itu untuk semua orang bung tidak terbatas pada ras, jenis kelamin ataupun golongan. Di musik juga terdapat bahasa universal yang murni juga mudah dipahami” ucap Megi mengejar nafas. Setelah menyanyikan lagu bernot tinggi tentu cukup menyiksa Megi berkomentar demikian. Kecintaan Mega terhadap satu jenis aliran musik semakin tidak ke kejar olehku.
Tetapi kami berdua mulai saling memahami makin tahu apa yang kurang darinya sampai yang kurang dariku. Intinya kami saling memenuhi. Sampai pada titik aku dan dia saling mengenal keluarga masing-masing. Aku juga nyaman berada di keluarganya demikian nampaknya Mega terhadap keluargaku. Hingga semua itu berubah pada rasa ego-ku memandang dunia. Sepatu boot yang kugunakan sebagai bentuk penolakan terhadap aparat yang menindas rakyat kecil. celana juga baju robak robek sebagai bentuk anti “budaya mapan”. rantai-rantai kugunakan sebagai bentuk protes terhadap aparat yang membelenggu demi kepentingan materialistis semata bukan keadilan berdasarkan fakta, rambut mohawk-ku sebagai bentuk protes terhadap penyeragaman selera dan masih banyak pengalaman estetika mode kugunakan. bukan semata hanya karena style tapi mempunyai makna estetika di balik itu semua. Menyimbolkan jiwa protesku terhadap kebusukkan dunia ini. “Ryu bila kamu terus seperti sekarang tidak ada lagi masa depan untuk aku bisa aman bersamamu” Pinta Mega mendesakku di antara saudaraku. Yahh aku sedang berada disaudaraku yang mempunyai satu visi sama terhadap dunia. Dunia yang terjajah oleh selera fundamentalis. kaum fundamentalis tidak akan pernah menerima keanekaragaman yang di bawa dari hati keunikan setiap insan. Mega belum mengerti itu, wanita yang ku sayang belum sadar bahwa dia sebenarnya terkurung dalam kemunafikkan. “Pasti kamu di suruh orangtuaku untuk ajak aku pulang. sudahlah kalo kamu tidak suka kamu boleh pergi” usirku. “aku peduli sama kamu Ryu.. kalau aku tidak perduli sama kamu aku tidak disini” tangan Mega menahan tanganku. Selintas Mega nampak menangis entah karena takut dengan penampilanku yang sekarang atau memang dia sangat peduli terhadapku. “Kamu benar-benar sayang sama aku ngga sihh. Aku sudah menerima kamu dalam hati ini Ryu. sekarang aku minta kamu menerimaku dalam hatimu dan kembali pulang” Ucap Mega terus menangis. “apaan sih kamu sudah sana pulang” Teriakku keras kepadanya. “Ryu…” suara keras seorang pria langsung menggetarkan hati ini. Karena sosok pria tersebut sangat kuhormati, dia ayahnya Mega. “kamu jangan lagi berkata kasar kepadanya nak” Ucap pria tersebut masih memanggilku seperti pertama ketemu. “Nak” masih saja dia memanggilku seperti anak kandungnya sendiri. “sudahlah pak bawa anak bapak dari sini tidak ada yang salah denganku ini jalan yang aku pilih” ucapnya sambil pergi. Aku sudah tidak tahan lagi akan idelogi dan manifesto palsu yang coba di hipnotis dalam otak ini…
Aku merasa senang di pinggiran jalan dengan berselimutkan angin dingin dan jendela dunia yang tidak terbatas oleh dinding kepalsuan. Makin hari makin aku bingung dengan Mega dan ayahnya kenapa mereka tidak melupakan aku. Masih saja Mega membawakan makanan untukku di pagi dan malam yang dingin. Masih saja ayahnya mengantar setiap Mega menghampiri aku mengantar makanan. Bahkan ada interaksi yang menyentuh aku dari ucapan ayahnya. “Ryu aku tahu kamu masih punya cara sendiri memandang dunia” Ayah Mega berucap sambil meletakkan tubuhnya untuk duduk disampingku. Tidak jelas bagaimana perasaanya mengendus bau badanku yang aku sendiri lupa kapan aku tersentuh air. “Mega kemana pak. Tumben bapak sendiri?” ucapku tidak peduli sambil melahap makanan yang tersaji di depan mata. “Mega sedang sakit Ryu. dan bapak sudah janji kepada Mega untuk selalu melihat keadaan kamu” jawabnya sambil terus memperhatikan apakah aku peduli. “Mega sangat sayang sama kamu Nak. kenapa kamu tidak bisa menyambutnya?. Kebebasan bukannya harus dijalani tanpa bertanggung jawab, Persaudaraan tidak akan ada tanpa saling menghargai, arti kebebasan perlu nafas penghargaan terhadap nilai kemanusian, bukan pelarian dan kebutuhan budaya pamer semata Ryu. kamu jangan sempit memandang dunia karena dunia sendiri berputar sudah ada aturannya. Bila semua planet berjalan tidak pada aturannya tentu saja tidak akan ada alam semesta lagi” Ucap ayah Mega. “Ahhhh…” gumamku sambil ku banting tempat makanan darinya. Ucapannya membuatku marah bukan karena tidak kudengarkan. Namun ada benarnya setiap ucapan pria separuh baya itu. Hari demi hari semakin kencang suara ayah Mega melintas tiap detik pikiranku. Semakin aku membuka mata atas keteraturan dunia ini harus berjalan. Namun sekali lagi ego-ku belum sanggup diatasi untuk aku menyebrang kembali dalam susunan dunia yang ada.
Hingga pada hari Mega datang sendiri tanpa ayahnya.. “Ryu.. aku mohon kamu ikut aku sekarang” Ucap Mega begitu sedihnya dalam pelukanku. “Kenapa?” tanyaku heran. “Bapak sakit Ryu..” ucapnya mengharapkan aku melelehkan batu hatiku. Aku makin goyah terhadap keangkuhanku kepada Mega. Walaupun demikian aku masih manusia aku punya hati. Aku harus menemui orang yang sudah begitu susah payah menerimaku ketika orang lain malah menjauhi.
Di belakang Mega yang sedang begitu sedih memegang tangan Ayahnya aku hanya terdiam. “Nak… kamu mau datang juga terima kasih” ucap ayah Mega lirih kepadaku. Matanya nampak lelah seletih tubuhnya yang tergolek lemas. “Bapak jangan terlalu memikirkan Ryu, bapak sehat ya Ryu mau berubah” Ucapku sambil mendekat. Pria yang sangat baik ini hanya tersenyum memandangku entah apa yang dipikirkan mendengar ucapanku. “aku minta kamu baik sama Mega. Bentuklah diri kalian menjadi STAR” ucap ayah Mega dengan isyarat ayah Mega meminta aku menggengam lengan Mega yang terasa dingin. Belum sempat aku bertanya kepada ayah Mega suster rumah sakit dating, “adik-adik sebaiknya kalian keluar dulu. Bapak butuh istirahat setelah minum obat tidur” Ucap suster sambil memandang heran penampilanku yang berantakkan.
Di ruang tunggu Mega kembali menangis memelukku. “Ayah minta kamu kawin sama aku Ryu.” Ucapnya sambil menatapku. Ucapan Mega menambah kekagumanku pada ayahnya. Merelakan putrinya untuk bersama orang yang jelas di depan mata tidak memikirkan masa depan. “Aku mau Mega.. aku akan berubah. ayah telah banyak menyadarkan aku” Ucapku sambil menggengam erat tangannya. “Maaf Aku tidak bawa cincin emas ataupun berlian. Namun kalung ini sebagai tanda aku memilih kamu terantai dalam hidupku” ucapku sambil mengenakan kalung baja putih ke lehernya. Semenjak hari itu aku merubah cara pandangku pada makna kebebasan. Bagiku Kebebasan ada di hati dan perbuatan yang nyata bukan sekedar bebas hingga keluar dalam keteraturan.
Sekarang kami berdua berada di depan batu nisan ayah Mega. “Mega, ayah pernah berucap untuk kita bisa menjadi Star. maksudnya apa?” tanyaku. “STAR bukan bahasa inggris yang maknanya bintang. Ayah tidak ingin kita mengartikan seperti itu. STAR itu singkatan dari Sabar, Tawakal, Adil dan Rukun, itu yang ingin ayah lihat dari kita” Ucap Mega. Aku tersenyum dan berucap dalam hati “Ayah, akan kucoba penuhi janjiku menjadikan kami berdua STAR”. Sambil kumenatap persemayaman terakhir Ayah Mega.
Cerpen Karangan: Ary Qmtonk Facebook: Ony Jita