Dedaunan melambai-lambai gemulai di atas ranting-ranting pohon yang demikian kecil. Seirama dengan desiran angin lirih di tengah kesunyian malam. Kutulis kalimat dengan hati-hati, mencoba untuk merangkai deskripsi suasana. Kulemparkan pandangan ke arah sekitar, canda tawa lepas itu sudah tak lagi terdengar. Kupejamkan mata pelan-pelan, banyak hal terbayang dan membebani batinku. Kurebahkan tubuhku di depan rental pesantren, menatap kemilau bintang-bintang di bawah langit tanpa rembulan.
Menjelang prosesi formal yang akan mengukuhkan namaku sedikit lebih tinggi dan terhomat dari yang lainnya itu, batinku gelisah. Tambahan abjad yang kini mulai mereka sebut-sebut itu terasa cukup berat kupikul. Seakan harus kumiliki dan kuberikan sesuatu yang lebih dan istimewa pada mereka dan orang tuaku, terutama dalam hal finansial. Sebagian orang bahkan masih kuat menggenggam satu pemahaman bahwa orang yang menempuh pendidikan sampai sejauh yang kulalui ini, sia-sia jika tak bisa menjadi jalan untuk mendapatkan pekerjaan tetap dan mengangkat ekonomi keluarga dan masyarakat secara umum. Persis seperti stigma bahwa sekolah hanya untuk mendapatkan pekerjaan dan uang yang banyak.
Masih sangat kuat kuingat satu perbincangan yang sebenarnya lebih cocok disebut nasihat seseorang pada kerabatnya yang masih baru setahun menjalani masa kuliah di luar kota dan tengah menikmati kesempatan libur semester ganjil. Kata-katanya sungguh vulgar dan sedikit keras, terus bertambah dan bersambung, hingga nyaris tak ada kesempatan untuk kerabatnya itu menanggapi dengan beberapa patah kata. Tak begitu serius kudengarkan aliran kata-kata itu. Namun satu kalimat jelas kudengar dan tak bisa kulupakan hingga saat ini. “Orang kuliah itu harus beda dengan orang-orang yang tidak kuliah”. Disebutnya kemudian orang-orang yang kembali ke kampung halamannya dengan membawa sejumlah uang dan pekerjaan tetap. Juga orang-orang yang tak melanjutkan sekolah namun sukses kehidupan ekonominya, menurut mereka. Tak peduli bagaimana keadaan yang sesungguhnya, bahwa mereka yang katanya punya banyak uang dan pekerjaan tetap itu —sepertinya— belum bahagia. Tak begitu jelas penjelasan atas potongan kalimat terkait dengan perbandingan-perbandingan itu. Kalimat sederhana itu kucoba renungkan dan kucerna, termasuk perbandingan-perbandingannya. ‘Beda’, kata yang sangat umum, bisa ditarik ke sudut manapun. Profesi, pendapatan, perilaku, pengetahuan dan sebagainya.
Kurenungkan lebih mendalam. Hampir seratus persen batin dan fikiranku membenarkannya. Namun tidak dalam segala hal, sebab kehidupan tak bisa terlepas dari garis-garis takdir yang telah Tuhan bentangkan untuk masing-masing orang. Tidak semuanya mesti berbeda lebih baik hanya karena keputusan untuk melanjutkan pendidikan. Beda dalam hal tingkah laku, pengetahuan dan cara pandang itu harus. Tapi berbeda dalam hal materi, ekonomi dan kedudukan duniawi itu menyangkut takdir orang masing-masing yang katanya sudah digariskan Tuhan ketika masih dalam kandungan. Orang-orang yang tak pernah masuk sekolah atau kampus pun akan punya uang banyak jika rezekinya memang banyak. Demikian pula orang kuliah yang pandai setinggi langit pun jika rezekinya hanya sedikit, tetap saja sedikit meski sudah diusahakan dengan berdarah-darah. Seorang teman yang sepertinya tak sepenuhnya sependapat dengan kata-kata kerabatnya itu pun kemudian bicara panjang lebar, dibahas dengan sedetil-detilnya. Sampai-sampai aku merasa kesal karena dijadikan tempat pelampiasan seenaknya. Kucoba berikan penjelasan-penjelasan, di antaranya tentang pemahaman dan harapan masyarakat pada anak-anak akademisi yang memang masih berlebihan. “Mengapa mereka demikian sempit memahami jalan yang kita tempuh ini? Bukankah konsep takdir itu sudah sangat jelas dalam pelajaran-pelajaran tauhid dasar, juga tentang kewajiban menuntut ilmu?” tanyanya berat. “Sebenarnya mereka paham hal iu. Hanya saja kenyataan kondisi ekonomi yang terlalu mereka persoalkan itulah, pemahaman itu kemudian tertimbun” Dia pun mendesah letih. Sepertinya dia terbebani cukup berat oleh kenyataan yang tengah ia jalani. Disebutnya si Ahmad dan si Midi yang sudah empat tahun kuliah di Jakarta dan berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan dengan ijazahnya. Juga Amin, salah seorang teman dekatnya, yang kini sudah resmi menjadi Pegawai Negri dengan ijazah S-1 perguruan tinggi lokal. Kemudian si Umar yang meski setahun yang lalu selesai mengenakan toga di aula perguruan tinggi yang sama, sampai saat ini pun masih bingunng kesana-kemari, ngajar pun tidak. Kuliah selesai, malah orang-orang menggunjingnya terus menerus. Meski si Umar sebenarnya sudah mempunyai usaha sendiri dengan mendirikan sebuah toko sembako sederhana, tapi masyarakat malah bilang “Jika hanya jualan seperti itu, si Anto yang tak pernah masuk kuliah sekarang sudah sukses dengan jualannya”
Aku bisa memahami, sebagai mahasiswa luar kota yang selama ini mamang lebih masyarakat soroti, ia harus mulai merancang jalan hidupnya dari sekarang. Mau kemana dan apa yang akan diberikan kepada masyarakat setelah lulus nanti, terutama kaitannya dengan keadaan ekonomi masyarakat yang masih memprihatinkan. Selesai kuliah yang menghabiskan banyak biaya dan tenaga tidak hanya menjadi pengangguran begitu saja, begitulah kira-kira perasaannya. “Sekolah memang tidak untuk mendapatkan uang. Bahkan jika demikian, maka habislah titik tujuan yang sebenarnya, menuntut ilmu. Tapi walau bagaimanapun, masyarakat harus tetap diperhatikan maunya, pemahamannya dan harapan-harapannya. Jika semua itu tidaklah sejalan dengan yang sementinya, maka tugas kita adalah memperbaikinya. Kita harus ingat bahwa masyarakatlah yang menilai kita bagaimana,” kucoba sedikit memperluas penjelasan.
Kupejamkan mata beberapa saat. Inilah persoalan dalam masyarakat. Teori-teori pemecahan masalah yang kudapatkan dari bangku kuliah dan diskusi-diskusi terasa begitu sulit untuk diterapkan. Ternyata kenyataan tidak sesederhana yang dibayangkan atau dipelajari. Satu persoalan dalam masyarakat mengandung mata rantai yang akan menghubungkannya dengan persoalan-persoalan lainnya. Satu persoalan bisa saja terhubung dengan dua sampai tiga persoalan lain, yang jika hendak diselesaikan berarti harus berhadapan dengan beberapa pesoalan sekaligus. “Apa yang harus kita lakukan?” “Menurutku yang terpenting adalah kesadaran masyarakat. Semuanya berangkat dari sana. Jika masyarakat sadar bahwa sekolah bukanlah untuk kerja yang ujung-ujungnya adalah uang, persoalan mungkin akan selesai. Kita harus bisa meyakinkan mereka bahwa kita sekolah bukan untuk kerja dan uang, tapi demi kewajiban menuntut ilmu. Persoalan uang dan kerja, itu hal lain meski sebenarnya bisa saja sekolah itulah yang menjadi perantara. Kita mesti menghilangkan stigma bahwa anak-anak sekolahan harus bisa mengangkat ekonomi keluarga dan masyarakat, tidak boleh tidak. Di samping itu, sebagai orang terpelajar kita harus bisa “mempertanggung jawabkan keilmuan kita”
Kokok ayam sudah dua kali menyapa malam. Kukibaskan ingatanku menatap kenyataan waktu yang tengah berhembus. Ah… kini aku sudah ngajar di salah satu Madrasah Diniyah yang baru setahun berjalan di desaku. Paling tidak ini bisa menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya selalu mereka tagih, mana hasilnya. Paling tidak ini bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin mulai mereka dengungkan untukku dari kejauhan, untuk title sarjana yang sebentar lagi resmi kusandang. Dan paling tidak mereka tak berani bicara sembarangan pada orang tuaku, karena setelah sarjana, aku tidak nganggur begitu saja. Profesi sebagai guru bukanlah hal sepele dalam komunitas masyarakatku, meski dalam hal pendapatan uang aku sendiri tak tahu ada atau tidak gajinya.
Kenyataan waktu yang menghadiahiku satu profesi terhormat di ujung masa pendidikanku ini, sungguh tak sempat aku bayangkan dan kusangka sebelumnya. Dulu saat masih seperti temanku itu aku pun bingung menyadari kenyataan dalam masyarakat. Tapi kini, ketika tinggal menghitung hari untuk dikukuhkannya namaku sebagai sarjana, semuanya terjadi begitu saja. Kepala sekolah Madrasah Diniyah di desaku yang sekaligus kerabatku sendiri, beberapa hari yang lalu menelfon dan menawari profesi itu. Meski berkali-kali kutolak dengan alasan status santri yang masih mengkikatku, tapi ia memaksaku bertubi-tubi hingga tak bisa kutolak lagi.
Kembali teringat temanku yang beberapa hari yang lalu sudah kembali ke kota. Terbesit sebuah e-mail untuknya. “Untuk temanku yang mungkin tengah gusar memikirkan kata-kata kerabatmu itu, jalan hidup tidak selalu mengalir seperti yang diperkirakan. Ada banyak keajaiban yang tak seorangpun tahu sebelum tiba waktunya. Tapi usaha harus tetap keras dan semangat. Jangan terlalu terbebani hingga tak berbuat apa-apa untuk hidup yang sedang kau tempuh. Jalan masih panjang. Lakukan saja yang terbaik, selebihnya pasrahkan pada Tuhan yang maha kuasa.”
Mengingat fenomena pemahaman masyarakat tentang dunia sekolah atau kuliah, tugasku adalah memperbaikinya, paling tidak agar tak semakin parah. Dan dari profesi baru yang kudapatkan tanpa terduga sebelumnya itu, aku bisa mulai menanamkan pemahaman tentang sekolah, kewajiban menuntut ilmu, rezeki dan takdir pada anak-anak didikku, calon masyarakat.
“Perjalanan pendidikan yang kutempuh sampai sejauh ini bukan untuk apa-apa, bukan sekedar untuk mencari kerja dan uang yang banyak. Aku ingin anak cucuku nanti termotivasi dengan title itu, dan berucap ‘Jika ayah S-1, bisa ini dan itu, aku juga bisa, bahkan lebih’.” Kata seorang teman yang juga tengah menunggu waktu bertitelkan Sarjana Pendidikan Islam.
Namun walau bagaimanapun kehawatiran-kehawatiran masih membayangiku. Bagaimanakah gerangan hidupku setelah 22 Oktober nanti? ujung jalan yang masih sunyi… Yang terpenting, aku harus mempersiapkan diri untuk menyukuri dan menerima apapun yang terjadi, serta menyadarinya sebagai karunia Tuhan. Jika semuanya tidak pasti, maka apapun mungkin (Mario Teguh)
Cerpen Karangan: Dira W Facebook: warid.saja[-at-]facebook.com alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Selatan dan Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep. Tinggal di Lengkong Bragung Guluk-Guluk-Guluk Sumenep Madura Jawa Timur