Namaku Winnera Saraswati aku dilahirkan dengan keadaan hanya memiliki satu tangan. Ibuku memberi namaku Winerra karena Ibu berharap suatu saat aku akan jadi pemenang. “Winnera.” diambil dari kata Winner yang artinya pemenang. Yah, itulah Ibu dengan harapannya. Kadang aku cemas tak dapat memenuhi harapan wanita renta itu. Bagaimana tidak, aku dilahirkan dalam keadaan tidak sempurna, semua orang memusuhiku, dunia mengutukku, tak ada seorang pun yang mau berteman denganku.
Hari-hari yang ku lewati begitu kelam tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Nampaknya hidupku akan terus mendung seperti ini. Hidupku terasa hampa, selalu perih diterjang badai tanpa ada pelangi setelahnya. Apakah aku mampu untuk menjadi seperti apa yang diharapkan Ibu. Aku tak yakin akan itu. Aku benci hidup, aku benci segala perbedaan yang tercipta di dunia. Mengapa harus aku yang terlahir seperti ini? Mengapa tidak untuk orang kaya saja. Kenapa harus aku?
Kenapa ketidaksempurnaan ini harus diberikan kepada orang miskin sepertiku? Aku benci semua ini. Aku benci perbedaan ini, mengapa dunia tercipta dengan banyak sekali perbedaan? Mengapa? Bukankah perbedaan banyak menimbulkan perselisihan dan pertentangan. Bukankah perbedaan dapat menimbulkan permusuhan. Entahlah mengapa, mungkin hanya sang pencipta yang tahu.
Hari-hariku berlalu begitu lama dirasa. Tanpa ada semangat hidup ku jalani jalan setapak kehidupan. Dengan beban yang bergelantungan di dada aku terus berjalan. Beban itu sungguh berat dirasa. Bagaimana aku bisa mewujudkan harapan Ibu? Bagaimana orang cacat sepertiku dapat menjadi pemenang. Ketika ku lontarkan pernyataanku ini kepada Ibuku. Ibuku selalu menjawab. “Bisa nak, setiap anak memiliki sisi terang dan sisi gelap. Kehilangan satu tangan merupakan sisi gelapmu dan sekarang tugasmu! carilah sisi terangmu itu!”
Aku selalu tersenyum ketika ingat kalimat itu. Kalimat itu sungguh telah mengubah hatiku. Hatiku yang gelap sekarang mulai terang. Langkah kaki yang dulu serat kini mulai gesit geraknya. Impian yang dulu ku fatwahkan haram sekarang menjadi wajib bagiku. Aku mulai mengukir mimpi dengan semangat yang ditorehkan oleh Ibu. Dari wanita renta itulah aku mulai belajar tentang mimipi. Mimpi yang akan membuat semuanya jadi lebih kuat, mimpi yang akan membuat hidup kedepannya menjadi surga. Sungguh Ibulah sumber kekuatanku tanpa Ibu aku akan rapuh, tanpa Ibu aku seperti rumah tanpa pondasi. Aku selalu menyayangi wanita renta itu. Wanita itu adalah sumber inspirasiku.
1 Januari 2005. Hari ini aku telah resmi menjadi salah satu murid di SMA Tunas Bangsa. Aku sengaja memilih sekolah biasa, karena aku tidak ingin dianggap orang-orang lemah. Aku ingin orang-orang dapat melihat sisi terangku. Aku ingin membuktikan kepada mereka bahwa orang lemah sekalipun dapat menjadi kuat ketika kepercayaan dirinya mulai muncul. Sekolahku ini salah satu sekolah yang diunggulkan di kotaku. Tak banyak orang yang dapat bersekolah di sini. Siswa-siswa yang bersekolah di sini kebanyakan dari kalangan atas. Aku mendapatkan beasiswa makanya bisa sekolah di sini.
“Selamat pagi anak-anak, selamat datang di SMA Tunas Bangsa, selamat atas keberhasilan kalian semua yang telah masuk di SMA ini dan ingat!! Ketika kalian telah memilih untuk sekolah di sini maka kalian harus patuh pada tata tertib yang telah berlaku di sini!” ucap bu Salma, wali kelas di kelasku. Semua anak mengangguk tanda paham.
Karena hari ini adalah hari pertama kami menginjakkan kaki di SMA Tunas Bangsa jadi kami tidak belajar. Seharian kami hanya perkenalan dan satu lagi yang menarik pada hari itu pada pelajaran kesenian yang diajar oleh Pak Harpan ia menanyakan cita-cita semua siswa di kelasku. Cita-cita yang dimiliki teman sekelasku sungguh menarik ada yang ingin jadi dokter, polwan, guru dan aku sendiri memilih untuk jadi pelukis. Aku memang sangat senang melukis bagiku melukis adalah hal yang paling menyenangkan yang dapat mengalihkan kesedihannku.
Dengan melukis aku dapat memarkirkan pikirannku ke sebuah tanah-tanah indah yang terpampang di atas kanpas putih. Aku memang kehilangan tangan kananku namun aku tak kehilangan rasa, daya khayal dan satu lagi tangan kiriku. Dengan tangan kirikulah aku mulai melukiskan sesuatu. Tangan kiriku inilah sumber kekuatanku selain Ibu. Aku sangat menjaga anggota tubuhku yang satu ini aku tak mau kehilangannya seperti aku yang kehilangan tangan kananku.
Hari itu kami juga membahas tentang definisi mimpi dari semua murid yang ada di kelasku. Semua definisi temannku sangat bagus dan agung aku sampai ternganga dengan kata-kata yang diucapkan dari lidah mereka. Sedangkan aku hanya kotoran yang yang menyamaratakan antara mimpi dan khayalan. Sungguh aku sangat terpojok, aku seperti tak dianggap. Tak ada satu pun dari teman-teman sekelasku yang mau mendekat denganku. Namun aku mencoba untuk tetap bertahan dan tak meghiraukan hantaman hinaan yang bertubi-tubi meremukan jiwaku. Aku telah mempersiapkan benteng yang kokoh untuk mempertahankan pirinsip dan impiannku sampai akhirnya suatu saat mimpiku yang berbaur dengan harapan Ibuku dapat terwujud.
29 Oktober 2007. Hari ini adalah hari yang spesial dalam hidupku karena tepat pada hari itu aku beserta 105 siswa kelas tiga SMA Tunas Bangsa dinyatakan lulus dengan cemerlang. Aku sangat senang dan bangga aku dapat menyelesaikan sekolah menengah atasku dengan gemilang. Ibuku menyambut kebahagian itu dengan pelukan hangatnya. Ia tersenyum mata yang tertutup dengan kacamata tipis itu pun tak dapat menahan jeboalan air mata haru dari matanya.
Hari itu adalah awal dari keberangkatanku menuju ke pulau impiannku. Hari itu aku menyatakan siap untuk bertempur demi mencapai mimpiku yaitu menjadi pelukis. Namun kebahagiaan itu hanya berlangsung sebentar tragedi tawuran yang sering dilakukan oleh siswa SMA 17 dengan siswa SMA 60 Pun telah merenggut segalanya. Lokasi tawuran antar sekolah itu tak jauh dari sekolahku. Para Siswa berserta orangtua yang panik langsung berhambur untuk menyelamatkan diri namun malang menimpa aku dan Ibuku. Aku harus rela kehilangan tangan kiriku yang ditebas samurai tajam milik salah satu peserta tawuran.
Bukan hanya itu separuh ragaku, motivatorku, serta inspirasiku pun ikut hilang bersamaan matinya Ibuku. Ibuku menjadi korban dalam tragedi itu. Aku sangat sedih samurai tajam yang tadi telah menebas tanganku seakan telah menyayat hatiku melihat sumber inspirasiku terkapar tak bernyawa. Duniaku hancur, tak ada lagi harapan aku merasakan badai kedua dalam hidupku telah datang. Kini aku benar-benar sendiri. Kini aku merasa dunia benar-benar mengutukku. Sepertinya aku tidak diperbolehkan untuk mengecap sedikit kebahagiaan. Hidupku benar-benar hancur, hidupku bagai raga tak bernyawa. Bernapas tapi tak hidup. Melihat tapi tak merasa. Mimpiku pun telah terkubur bersamaan kematian Ibuku.
Akhirnya aku yang sebatang kara pun memutuskan untuk pergi ke sebuah desa kumuh yang letaknya asing dari keramaian kota. Ku rasa tempat itu cocok untuk sampah sepertiku. Akhirnya setelah kurang lebih tiga jam menempuh perjalanan sekitar pukul dua pagi aku sampai di mulut gerbang desa itu. Desa itu bernama desa vikerkaar yang dalam bahasa Esti artinya desa pelangi. Nama yang lucu mengingat kondisi desa yang kumuh dan kotor ini. Satu permasalahan pun muncul aku tak tahu mesti tinggal di mana sekarang? Akhirnya dengan beralaskan koran aku tidur di bawah pondok yang dijadikan warung oleh penduduk sekitar.
Malam yang begitu dingin hanya diselimuti oleh angin yang menambah frekuensi kebekuan dalam hati dan jiwa. Namun seketika semua terasa hangat sesuatu menyelimutiku. Kini darah yang beku akibat suhu pun mencair akibat kehadiran selimut gaib itu. Rasannya nyaman dan tenang sampai akhirnya sang senja yang murka memaksaku untuk membuka mata. Dengan mata yang buram aku memandang aneh tempatku berada sekarang. Semua asing, pondok reot sekarang telah berubah menjadi kasur reot beralaskan selimut tebal. Apa aku sudah mati? Apa ini surga? Tapi kenapa surga tak seindah seperti yang terlukis dalam AL-Quran?
Tiba-tiba muncul sesosok wanita paruh baya yang menggunakan kerudung panjang berwarna merah muda. Wanita itu tersenyum hangat kepadaku. Aku pun bergidik apa benar ini surga dan apakah yang ada di hadapanku ini bidadarinya. Tapi mengapa bidadarinya begitu tua tak seperti yang dilukiskan dalam AL-Quran bahwa bidadari di dalam surga itu cantik dan muda.
“Sudah bangun rupannya kamu nak.” Wanita itu tersenyum menyapaku lalu kemudian menyeretku untuk pergi bersamannya. “Maaf Ibu siapa yah? Dan saya sekarang ada di mana?” Ibu itu tersenyum. “Panggil saja wak Asih biasanya anak-anak panggil nama itu. Dan kamu sekarang ada di rumah saya. Semalam saya lihat kamu kedinginan di pondok Pak Bayan makanya wak bawa ke sini” lalu tersenyum kembali. “aduh jadi ngerepotin, terima kasih wak, sekarang kita mau ke mana?” “ambil air wudu nak, kita salat dulu.”
Akhirnya aku dan wak Asih pergi ke belakang rumahnya untuk mengambil wudu. Tempat ini sangat aneh untuk kategori rumah tempatnya begitu sederhana dan terdapat banyak kamar yang memiliki kasur dua tingkat tempat ini seperti asrama. Setelah mengambil wudu akhirnya kami menuju ke ruang salat. Ruangan itu dipenuhi banyak anak-anak yang cacat dan satu pria yang memakai baju koko sederhana namun ketampanan yang dilukiskan wajahnya tak redup dari koko kusam itu, ia tersenyum hangat sekali kepadaku. Akhirnya senja yang sejuk, hati yang damai pun telah mampir di peraduan hatiku.
Keesokan harinya aku yang tak enak hati dengan wak Asih untuk tinggal di tempatnya pun berpamitan kepadannya. “wak Win pamit yah, Win nggak enak sama wak takut ngerepotin.” “Nak win nggak ngerepotin wak kok, nak win wanita yang baik cantik lagi.” Aku tersenyum mendengar perkataan wak Asih. “Terus nak win sekarang mau tinggal di mana?” “Nggak tahu wak mungkin nanti Win cari kontrakan saja.” “Kenapa harus repot cari kontrakan, kan Win bisa tinggal di sini saja, wak sangat senang jika Win mau tinggal di sini.” Aku tersenyum melihat wanita satu ini. Sosok ini mengingatkanku pada Ibuku. Ia begitu lembut dan penuh kasih sayang. Akhirnya aku tak dapat menolak permintaan Wak Asih dan memutuskan untuk tinggal panti sosial milik Wak Asih.
Malam ini langit begitu lantang memperlihatkan keagungannya. Ia begitu perkasa menaburkan bintang berkelap-kelip menata bentuk samudera. Dalam kebisuan dan kelelahan aku mulai berdiskusi dengan bintang. Dalam bisu aku bertannya pada bulan yang benderang mengapa aku dilahirkan seperti ini? Mengapa setelah aku mulai bangkit sumber kekuatanku harus pergi. Apa rencanamu Tuhan? Apa yang kau rencanakan dalam hidupku ini. Apa kau yang menggerakkan kakiku ke tanah ini. Apa rencanamu yang mempertemukanku dengan orang-orang baik ini? Apa?
“Tidak mengantuk?” Sebuah suara memecah lamunanku. Sebuah suara yang sumbernya dari pria yang ku jumpai di ruang salat tadi. “belum tir.” Fatir nama pria itu. Pria rupawan di balik baju koko yang kusam. “Lalu Win sedang apa di sini?” “sedang berdiskusi dengan bintang.” Ia tersenyum lalu duduk di sampingku. “Diskusiin apa atuh Win, kayaknya seru.” “Berdiskusi tentang kejamnya hidup di dunia.” Aku pun tersenyum getir. “Kenapa kejam? Dunia indah kali Win.” “Bagimu mungkin memang indah, tapi bagi orang cacat sebatang kara sepertiku mana mungkin indah.” Ia tersenyum mendengarkan perkataanku.
“Bahagia, itu kuncinya Win. Hidup akan indah ketika kita merasa bahagia, dan bahagia itu soal hati Win bukan kesempurnaan fisik. Cuma hati yang bisa menimbulkan kebahagiaan. Hanya hati yang selalu bersyukurkah yang akan dapat menyentuh kebahagiaan.” Ia tertunduk lalu tersenyum kembali. “ya.. ya.. ya. Mungkin aku perlu belajar tentang hal itu. Dan kamu? Kamu anakknya wak Asih dan anak-anak yang di musala tadi apa itu semuannya anak wak Asih?” “Bukan Win aku hanya orang asing yang dapat pertolongan dari wak Asih sama kayak kamu. Anak-anak yang lain juga begitu.” Aku terkejut mendengar hal itu ternyata wak Asih benar-benar orang yang dermawan.
“Terus sehari-hari kamu ngapain? Nganggur gitu?” Ia tersenyum mendengar perkataanku. “masa nganggur Win, malu lah sama wak Asih.” “hehhe, habis ngapain dong?” Ia menghela napas. “sehari-hari aku mengajar di sini.” “mengajar?” “Iya mengajar, aku mengajar membaca, menulis, bahasa Inggris, melukis juga iya.” Ia tersenyum. “Melukis?” Aku mengernyitkan dahi. “Iya melukis kenapa? Mau diajarin?” “ahhh kamu becanda, mau lukis pake apa? Tangan aja nggak punya!” Ucapku sambil tersenyum getir.
Ia terdiam dalam bisu lalu bersuara kembali. “Pakai kaki kan bisa” Ia tersenyum lalu mengangkat alisnya. “Kamu gila! mana bisa ngelukis pake kaki, pasti hancur banget lukisannya.” Aku tersenyum mengejek. “Kalau kamu tidak percaya besok akan ku buktikan, besok pagi jam 10 kamu ikut aku ada yang mau aku kasih lihat” lalu ia pergi tanpa menghiraukan jawabanku.
Keesokan harinya tepat jam 10 aku yang telah berjanji untuk menemui Fatir pun bersiap-siap. Fatir yang ku kira tadi sendiri ternyata mengajak seorang anak laki-laki yang begitu manis namun satu lagi yang membuatku tertarik kepada anak itu. Anak itu tak bertangan keadaannya sama sepertiku. Fatir dan anak laki-laki tadi yang bernama Ari menggiringku ke sebuah danau yang sangat mustahil ada di desa kumuh ini. Danau itu begitu indah. Air yang berwarna biru muda dihiasi bebatuan kapur yang besar membuat danau ini terlihat agung.
Buluku bergidik melihat pemandangan indah di depan mataku ini, mataku tak mampu berkedip barang sekejap saja terpana oleh alam ciptaan Tuhan. “Kenapa atuh Win? Bagus bukan?” “Bagus banget tir ini kayak ada di surga. Oh iya sekarang kamu mau tunjukin apa sama aku? Danau ini? Kalau iya terima kasih sekali karena aku sangat suka tempat ini.” Ia tersenyum. “nggak Win ada satu lagi yang mau ku tunjukin sama kamu.” Ia tersenyum lalu berkedip ke arah Ari.
Ari yang seakan diberi isyarat oleh Fatir membuka bungkusan yang sedari tadi ia pegang bungkusan itu berisi kanvas putih, cat warna-warni, dan beberapa kuas. Ari pun membentangkan Kain kanvas dengan dibantu oleh Fatir dan menuangkan cat warna dengan menggunakan kakinya. Lalu dengan cekatan ia melukis keindahan danau itu dengan menggunakan kakinya. Setelah sekitar 20 menit bergelut dengan kanvas ia pun dapat menyelesaikan lukisannya.
Betapa terkejutnya aku melihat hasil lukisan Ari. Lukisan itu begitu indah dengan garis-garis lukisan yang detail. Bagaimana ini dapat terjadi? Ari yang keadaannya sama sepertiku dan yang pasti Ari yang umurnya jauh lebih muda dariku dapat melukis seindah ini. Sungguh malu diriku, rasannya ditampar dan dicemplungkan ke laut rasa malu membunuhku. Fatir pun tersenyum dengan mata yang seakan berkata. “Ini Win yang mau ku tunjukin sama kamu, hal yang kita anggap nggak mungkin ternyata dapat menjadi mungkin.” Aku yang terkesima tak dapat meluncurkan kata-kata akhirnya aku yang didera malu mengakui kenaifan pikiranku dan memutuskan untuk berguru kepada Fatir.
Setelah 6 bulan aku belajar melukis dengan menggunakan kaki akhirnya aku pun bisa menuangkan hasrat gilaku ke dalam sebuah lukisan kontemporer. Fatir sangat terkejut melihat perkembanganku ini dan ia tak menyangka jika melukis adalah mimpiku sejak lama. Selama 6 bulan itu aku dan Fatir cukup dekat. Ia pun mulai mau cerita tentang keluargannya. Ternyata Fatir anak dari keluarga berada. Ayah dan Ibunya tinggal di luar negeri. Dia yang tak mau ke luar dari negeri akhirnya memutuskan untuk tinggal di sini. Ia selalu berkata kepadaku kebahagiaan itu sederhana. Dengan memejamkan mata dan setelah membukanya melihat orang yang menyayangi kita itu cukup membuatnya bahagia. Semakin lama aku semakin dibuat kagum akan pribadinya dan semakin lama aku pun mulai jatuh cinta kepadanya.
16 Agustus 2009. Hari ini aku sungguh sangat senang karena lukisan pertamaku terjual dengan angka fantastik yaitu 1 Miliar. Aku bergidik mendengar angka itu dan puncaknya aku ditawarkan untuk belajar melukis secara profesional di Paris. Hatiku sangat senang. Sedari dulu aku memang sangat ingin pergi ke sana. Hari ini aku yang diantar Fatir langsung pergi ke rumah Pak Edi orang yang menawarkanku untuk belajar melukis ke Paris kemarin pun sangat masih gugup dibuatnya.
“Bagaimana mbak, apakah mbak tertarik dengan tawaran saya?” Aku yang sedari tadi bersemangat kini mulai bingung untuk menjawab. Aku menatap Fatir dan Pak Edi bergantian. Fatir hanya tersenyum seakan mengisyaratkanku untuk memilih berdasarkan hati. Berbagai pernyataan berkecamuk di hatiku. “Ingat nak suatu saat kau akan jadi pemenang” Ucapan Ibu mengaung di telingaku. “Bahagia itu sederhana Win, dengan melihat orang yang kita sayang ketika mata terbuka itu saja cukup untuk membuatku bahagia” Ucapan Fatir pun menggema.
Setelah 10 menit berputar pada pikiran sendiri akhirnya aku mulai bersuara. “Kayaknya aku nggak jadi terima tawaran bapak deh.” Bapak itu bingung dan bertanya. “mengapa?” Aku pun tersenyum. “Untuk apa pergi jauh-jauh pak kalau sumber kebahagiaanku ada di sini.” Aku pun tersenyum malu dengan perkataanku sendiri. Pak Edi pun tersenyum seakan mengerti. Aku pun berusaha membuka pandangan dan ingin melihat reaksi Fatir mengenai pernyataanku tadi. Fatir pun tersenyum dengan mata seakan berkata, “Terima kasih Win, ternyata kamu telah mengerti perkataanku kemarin.”
Akhirnya malam yang dulu sepi dan gelap seakan terang benderang dengan tiba-tiba. Hati yang dulu kosong sekarang telah terisi. Badai yang mengguncang kini telah menerbitkan pelangi. “Ibu maafin Win ya nggak terima tawaran bapak tadi. Win lebih senang di sini bu, Win ngerasa menang di sini. Terima kasih bu telah memberi nama yang indah untuk Win. Win sayang Ibu. Tuhan terima kasih atas mozaik kehidupanku yang telah kau susun sedemikian rapi. Terima kasih telah menerbitkan pelangi setelah badaiku terima kasih engkau telah mengirim malaikat di tengah badaiku.Teriama kasih Tuhan.”
Namaku Winnera. Ibuku memberi nama itu dengan harapan suatu saat aku akan jadi pemenang dan hari ini aku sangat bahagia, harapan Ibu bisa aku wujudkan. Aku bisa menang melawan kemelut kehidupan. Aku bisa menang melawan kekosongan. Aku bisa menang melewati ujian yang disuguhkan oleh Tuhan. Namaku Winnera dan aku adalah, “The Winner” aku seorang pemenang.
Cerpen Karangan: Husnul Khatimah Facebook: Husnul Khotima Anak abstrak yang mau memperbaiki hidupnya itu gue!! lahir di indralaya tepatnya di komplek TPI, gue suka benget nulis. Gue mulai nulis dari SD mulai dari pantun puisi lalu cerpen dan sekarang lagi proses mau bikin novel. Doain yak semoga berhasil terbit 😉