Mang Mukti, sapaan orang-orang kepadanya. Mang Mukti adalah tetangga di sebelah rumahku. Orangnya lucu, baik dan suka mengajak anak-anak kecil bermain. Dan beliau pun suka bernyanyi dengan diiringi petikan gitar yang dimainkannya. Ku ingat saat itu aku yang masih berumur 8 tahun tepatnya kelas 3 SD. Aku merengek untuk minta dibelikan robot-robotan bongkar pasang yang bisa juga menjadi mobil. Tapi mama tidak mau menuruti permintaanku. Karena kata mama aku baru saja membeli mainan yang lain. Tak henti-hentinya aku menangis.
Ternyata dari tadi Mang Mukti melihatiku menangis. Dan keesokan harinya saat aku pulang dari sekolah, ingin masuk ke pagar rumah. “Fi, Rafi.. Sini..” panggil Mang Mukti dari dinding pembatas rumah kami. Aku pun mendekat. “Ada apa Mang?” Jawabku. “Ini untuk Rafi, mainan..” ujarnya. Pas aku buka, ternyata.. “Horeeee robot-robotan bongkar pasang.” teriakku kegirangan. “Terima kasih ya Mang..” “Iya. Jangan nangis lagi ya. Dan harus rajin belajarnya..” Kata Mang Mukti sambil mengusap rambutku.
Mang Mukti bukanlah orang yang berpenghasilan besar. Beliau hanya seorang pedagang mainan anak-anak. Mang Mukti hidup sebatang kara. Mang Mukti telah lama bercerai dari istrinya. Mang Mukti mempunyai anak, tapi beliau tidak ingin menyusahkan anak-anaknya. Itulah yang ku salut dengan Mang Mukti. Mang Mukti tidak pernah sungkan untuk membantu sesama. Walau dengan penghasilan yang kecil yang ia peroleh. Beliau juga terbilang orang yang pandai dalam membaca al-qur’an. Oleh karena itu setiap malam habis salat magrib menjelang salat isya. Aku dan anak-anak di sekitar rumahku selalu ke rumahnya untuk belajar mengaji. Beliau tidak pamrih, dan sangat senang mengajarkan kami. Tanpa dibayar pun tidak masalah.
Oya pernah juga waktu itu beliau bercanda dengan kami -anak-anak di sekitar rumah. Entah aku lupa itu apa percakapan kami awalnya. Tetiba Mang Mukti mengeluarkan kalimat “Nahu Sen..” Kami tercengang. Lalu Fatan bertanya, “Apa mang nahu sen?” Hehe. Mang Mukti pun tertawa. “nahu sen itu artinya tidak punya uang.” “Ohh…” Jawab kami secara berbarengan. Karena kalimat nahu sen yang dicetuskan oleh Mang Mukti itu. Kami setiap hari sering menggunakannya ketika kami lagi bermain.
Namun setelah aku besar tepatnya aku sudah SMA. Mang Mukti pindah rumah. Dan rumahnya yang di sebelah rumah kami itu, dijualnya. Ternyata beliau sudah membeli rumah di dekat rumah anaknya, dan anak laki-lakinya yang meminta. Beliau pernah ditawarkan oleh anak laki-lakinya untuk tinggal bersama di rumahnya. Namun tetap saja Mang Mukti menolak. Walau sudah pindah tapi komunikasi keluarga kami dan Mang Mukti tetap terjalin dengan baik. Terkadang aku juga yang duluan menelepon beliau untuk menanyakan kabar.
Seminggu yang lalu.. Kring. kring.. kring.. Suara telepon rumahku berbunyi. Ternyata itu telepon dari keluarganya Mang Mukti, yang tidak lain adalah anak lelakinya. Papa yang mengangkat teleponnya. “Assalamualaikum..” “Waalaikumusalam..” “Ini benar dengan rumahnya Om Hafis” “Oya benar, saya sendiri, ini siapa?” “Ini Indra anaknya Pak Mukti Om.. Ingin memberitahu, tadi malam Ayah sudah pergi ke rahmatullah. Sempat koma selama 1 hari. Karena kecelakaan saat berjualan, keliling. Kesenggol mobil, dan langsung jatuh terbentur tortoar. Dan sebelum Ayah menghebuskan napas terakhir, beliau meminta untuk mengabarkan keluarga Om Hafis, dan beliau menitip salam kepada keluarga Om Hafis dan terutama untuk Rafi.”
“Innalillahi wa innaillahi rojiun..” Kami yang pagi itu ada di rumah, dan aku baru akan pergi ke kampus, terkejut mendengar papa mengucap itu. “Kami sekeluarga turut berduka cita ya ndra, semoga almarhum diterima di sisiNya, dan keluarga diberi kesabaran” sambung papa. “Ya om aamiin.. Terimakasih. Siang ini dimakamkan om, selepas bakda sholat zuhur” “Oya insya Allah kami sekeluarga akan ke sana.” “Terima kasih om, Assalamualaikum..” “Waalaikumussalam..”
Setelah papa menutup telepon tersebut dengan wajah yang senduh sekali. Aku yang paling semangat bertanya, “Pa siapa tadi? Dan siapa yang meninggal?” “Tadi anaknya Mang Mukti yang menelepon, ia mengabarkan kalau Mang Mukti malam tadi meninggal dunia karena kecelakaan. Dan sempat dirawat di rumah sakit dan siang ini akan dimakamkan” Ucap papa. “Innalillahi wa innaillahi rojiun” Ucapku dan mama.
Lalu sejenak ku ingat semua kenangan bersama Mang Mukti saat ku kecil dulu. Sekarang sosok yang murah hati, penyayang anak-anak kecil, suka membantu sesama, dan pekerja keras itu tidak ada lagi. Di akhir usianya pun beliau sama sekali tidak ingin merepotkan orang lain. Beliau masih tetap bekerja. Sampai dengan maut menjemputnya. Ku ingat pesannya, saat beliau ingin pindah rumah waktu itu.
“Fi, kamu itu laki-laki. Kamu harus jadi laki-laki yang pekerja keras, mandiri dan jangan sampai merepotkan orang. Berbagi dengan sesama adalah kewajiban. Dan ingat, ibadah kepada Allah jangan pernah putus. Karena semua yang kita miliki di dunia ini adalah kepunyaanNya. Termasuk diri kita. Dan kelak di akhirat, semua ini akan diminta pertanggungjawaban. Jadi berbuatlah yang bermanfaat selama hidup di dunia ini.”
Sampai kapan pun aku kan selalu mengingat pesan dari Mang Mukti. Aku juga heran, kenapa istrinya dulu meninggalkannya. Orang baik seperti Mang Mukti. Hhmm. Selamat jalan Mang Mukti “Nahu sen.” Heee. Kenangan-kenangan dan pesan moril yang telah engkau berikan. Insya Allah akan selalu ku ingat, sebisa mungkin pesan-pesanmu itu akan aku aplikasikan di dalam kehidupanku. Insya Allah. Yang tenang ya mang di sana.. Syurga pantas untuk orang sepertimu.
Hari ini adalah hari ketujuh selepas kepergian Mang Mukti.
Cerpen Karangan: Yeni Herlinda Blog: yenshino.blogspot.com