Keesokan harinya, Udin membawa singkong goreng menteganya ke sekolah dengan senyum merekah. Masih dalam bungkus yang sama, daun pisang. Entah kenapa, daun pisang turut menyumbangkan aroma nikmat dan menggunggah selera ketika digunakan untuk membungkus makanan. Hari ini bukan cuma dua iris singkong tapi dua belas. Ya, hanya duabelas. Sebenarnya Udin ingin sekali membawa lebih banyak, namun Ibunya melarang. Ibunya khawatir jika singkong goreng mentega itu tidak diminati teman-teman Udin dan tidak laku.
Jam istirahat dimulai. Udin mengeluarkan bungkusannya lebih cepat sebelum teman-temannya ke luar. Seketika itu aroma singkong goreng mentega yang gurih menguar di udara. Sedap. Beberapa siswa menoleh ke arah Udin, namun tidak sedikit juga yang acuh. Sementara itu Sekar dengan penuh semangat segera menghampiri Udin, “Hei, teman-teman Udin sekarang berjualan singkong goreng loh. Singkong gorengnya dijamin enaaak banget.” Sekar begitu saja mengumumkan kepada teman-teman sekelasnya bahwa Udin sekarang berjualan singkong goreng sedangkan Udin hanya diam. Dia masih merasa canggung dan bingung bagaimana caranya berjualan. Dia sedikit lega ketika Sekar berbuat seperti ini. Setidaknya apa yang dilakukan Sekar cukup membantu Udin mempromosikan dagangannya.
“Din, aku beli satu dong.” “Eh, tidak usah Sekar. Gratis untuk kamu kan kamu sudah membantuku promosi.” Sekar menggeleng kuat, “Teman ya teman, tapi bisnis tetaplah bisnis.” Sekar mengedipkan matanya. Dia mencomot dua iris singkong goreng di depan Udin, “Berapa, Din harganya?” Udin menggeleng, “Tidak usah Sekar.” Sekar mendengus, kemudian ia mengambil uang di saku seragamnya. Selembar dua ribuan. “Ini ya, Din. Semoga laku keras.” Sekar meletakkan uang tersebut di samping tangan Udin.
Udin hanya melihat apa yang dilakukan Sekar. “Ini terlalu banyak, Sekar. Harganya hanya lima ratusan satu potong.” “Sudah simpan saja kembaliannya. Buat penglaris, Din.” Sekar meninggalkan Udin. “Terima kasih, Sekar.” Udin mengucapkannya penuh syukur. “Iya, sama-sama.” jawab Sekar sedikit berteriak karena kini jaraknya dengan Udin semakin jauh.
Udin terdiam melihat Sekar berlalu begitu juga teman-teman sekelasnya yang acuh dengan dirinya dan apa yang dilakukannya sekarang. Tidak sedikit juga yang kembali mengolok-oloknya. Udin hanya tersenyum dan berpikir bahwa ini semua adalah cobaan, ujian untuk dirinya. Sampai jam pulang sekolah, singkong Udin masih tersisa delapan buah. Dua buah dibeli Sekar dan dua buah dia makan untuk makan siang. Ibunya benar, dia tidak bisa langsung membawa banyak singkong goreng sekaligus.
—
Sepulang sekolah, Udin segera bersiap menuju kebun Abah Sekar. Udin harus membersihkan rumput liar yang tumbuh di sekitar kebun. Sambil menyelam minum air, mungkin itulah peribahasa yang tepat. Sembari membersihkan kebun, Udin juga ngarit untuk pakan kambing tetangganya. Kebun Abah Sekar cukup luas. Udin tidak membersihkan semua rumput di kebun sekaligus, tapi bertahap. Selain karena ia tidak mampu, dia juga memanfaatkan rumput-rumput itu sebagai pakan kambing. Kambing tetangganya tidak akan mampu menghabiskan rumput satu kebun sekaligus, begitu pikirnya.
Abah Sekar setuju dengan apa yang dilakukan Udin. Abah Sekar malah senang ketika rumput-rumput yang biasanya hanya mengotori kebunnya itu masih bisa dimanfaatkan. Sudah hampir pukul tiga sore, Udin mulai mengikat karung berisi rumput ke sepedanya. Ia hendak pulang dan memberikan rumput-rumput itu pada kambing tetangganya. Pada saat itu, dari kejauhan Sekar berteriak memanggil nama Udin. Dia mengendarai sepeda mininya mendekati Udin. Udin berdiri menunggu Sekar.
“Din… anu… aku mau ngomong.” napas Sekar belum teratur. Dia masih terengah-engah. “Ada apa toh, kok sepertinya penting sekali sampai kamu harus datang ke mari?” Udin menjawabnya polos. Sekar masih berusaha menormalkan napasnya. “Ya sudah duduk di sana saja, yuk. Di sini panas.” Udin berjalan menuju saung yang ada di pinggir kebun dan Sekar mengikutinya. “Ini minum dulu kalau kamu haus.” Udin menyodorkan botol berisi air yang dibawanya dari rumah. Sekar langsung meneguknya. Kini mereka berdua tengah duduk di saung pinggir kebun singkong Abah Sekar.
“Ada apa kamu sampai ke mari, Sekar?” “Aku punya ide, Din.” napas Sekar sudah kembali normal sehingga ia bisa berbicara dengan lebih lancar. Udin tertawa terbahak-bahak, “Oalah Sekar, Sekar. Jadi kamu ke sini cuma buat ngomong ide kamu? Apa tidak bisa besok saja waktu di sekolah?” Udin masih tertawa. “Yee.. aku serius Udin. Ini tidak bisa ditunda.” Udin berusaha keras menghentikan tertawanya. Kini ia menunggu Sekar berbicara.
“Mangga, mau ngomong apa?” “Din, aku baru terpikir bagaimana kalau kamu titipkan saja singkongmu itu ke Ibu kantin. Pasti laku, Din!!” seru Sekar penuh antusias. Udin terdiam sejenak memikirkan kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Sekar. “Oh, iya ya kok aku tidak berpikir sampai ke sana.” Udin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Maka dari itu setelah aku dapat ide itu aku langsung ke sini supaya besok bisa langsung kamu lakukan.” Sekar tersenyum penuh kemenangan. “Iya Mbak Sekar. Maafkan Udin ya, yang langsung menertawakan tanpa mendengarkan terlebih dahulu.” mereka berdua pun tergelak bersama.
Keesokan harinya Udin menjalankan apa yang dikatakan Sekar kemarin sore di kebun. Dia datang lebih pagi hari ini. Dari tempat parkir dia berjalan menuju jajaran warung kecil di kantin. Udin mulai mencoba menitipkan dagangannya dari warung yang letaknya paling utara.
“Assalamualaikum, Bu.” “Waalaikumsalam. Kantinnya belum buka, kalau mau makan nanti saja.” jawab pemilik warung dengan ketus. “Ehm.. anu.. saya bukan mau makan di kantin, Bu, tapi saya mau menitipkan ini.” Pemilik warung itu melirik apa yang dibawa Udin. Singkong goreng. “Tidak, saya tidak mau. Warung saya tidak menjual makanan seperti itu.” jawabnya sedikit mengejek. Udin menghela napas panjang, “Oh, ya sudah, Bu, terima kasih.”
Udin meyakinkan dirinya untuk tidak menyerah. Ini baru satu warung, masih ada tiga warung lagi, pikirnya. Udin mulai menawarkan untuk menitipkan dagangannya lagi. Dua warung yang didatangi selanjutnya memberikan penolakan yang sama namun, penolakan yang lebih sopan daripada warung pertama. Udin tidak putus harapan. Masih ada satu warung lagi. Udin berharap banyak semoga di sini tidak ada penolakan. Memang warung terakhir ini lebih kecil dari tiga warung yang lainnya, tapi siapa yang tahu jika di warung ini malah menerima titipan Udin?
“Assalamualaikum, Bu.” “Waalaikumsalam. Ada apa cah bagus?” jawab Ibu pemilik warung dengan ramah. “Eh, ini Bu, apa boleh saya mau titip gorengan di sini?” Udin menunjukkan singkong gorengnya. Seketika itu aroma gurih singkong goreng mentega buatan Udin menguar di udara. “Mau sampean jual berapa?” Mendengar kata-kata itu Udin seperti tidak percaya. Apakah ini salah satu tanda penerimaan?
“Le, cah bagus?” Ibu pemilik warung menepuk pundak Udin, menyadarkannya dari lamunan sesaatnya. “Dari saya lima ratus, Bu. Nanti Ibu bisa menjualnya seribu lima ratus dapat dua.” Udin meyakinkan. Ibu itu malah tertawa, “Gampang lah itu, Le. Sampean taruh sini saja.” “Alhamdulillah. Terima kasih banyak ya, Bu. Assalamualaikum.” Udin meletakkan singkongnya di meja warung itu kemudian berjalan menuju kelasnya dengan wajah sumbringah.
—
Sebelum pulang sekolah, Udin menghampiri warung yang tadi pagi dititipinya singkong goreng. Dia berharap walaupun tidak laku semua, setidaknya ada beberapa yang terjual supaya dia bisa pulang tidak dengan tangan hampa. Kala itu kantin masih agak ramai. Udin memilih untuk duduk di bangku panjang tak jauh dari kantin. Dia menunggu sampai kantin sepi. Setidaknya masih ada harapan sebuah, dua buah singkongnya akan laku lagi. Beberapa saat kemudian kantin sudah mulai sepi. Udin berjalan perlahan menghampiri pemilik warung yang tadi dititipinya singkong goreng.
“Assalamualaikum.” Perempuan itu menoleh dan tersenyum ketika melihat Udin di sana. “Mau mengambil titipan ya, Le? Sebentar ya, Ibu hitung dulu.” Perempuan itu bergegas menghitung sisa singkong goreng yang tadi dititipkan Udin. “Tadi sampean titip dua belas biji ya, ini sisanya ada enam berarti uangnya tiga ribu.” Ibu itu mengeluarkan tiga lembar uang seribuan, “ini uangnya. Tidak usah khawatir kalau dagangan sampean tidak habis. Yang penting sampean sudah berusaha. Jangan kapok titip di sini ya, Le.”
Udin menerima uang dari pemilik warung penuh syukur, tidak lupa ia juga membungkus sisa singkong gorengnya, “Alhamdulillah. Iya, Bu. Terima kasih banyak ya, Bu. Saya pulang dulu, assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Udin mengayuh sepedanya pulang dengan penuh syukur. Udin bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan untuknya hari ini. Tidak banyak memang, hanya tiga ribu rupiah. Tapi tiga ribu rupiah itu sangatlah berarti untuk keluarga Udin. Udin bertekad untuk terus berusaha. Hari ini boleh hanya mendapat tiga lembar seribuan, tapi besok harus bisa lebih dari itu.
—
Hari-hari berikutnya Udin terus menitipkan singkong gorengnya di warung paling selatan di kantin. Kadang titipannya habis, kadang sisa. Tidak tentu. Tapi Udin selalu bersyukur atas itu. Setiap hari Udin memberanikan diri untuk menambah jumlah titipannya. Sekarang Udin tidak hanya menitipkan singkongnya pada warung paling selatan di kantin sekolahnya. Dua warung yang sempat menolaknya pun kini juga mau menerima titipan singkong goreng Udin. Udin juga menitipkan singkongnya di warung kopi sebelah rumahnya. Singkong goreng Udin sudah semakin banyak peminatnya.
—
“Wah, sekarang kamu jadi Kingkong beneran ya, Din.” Rina, teman sekelas Udin yang dulu sering mengolok-olok Udin tiba-tiba berdiri di samping tempat duduk Udin. Udin menoleh, “Belum kok, Na. Ini masih awal, suatu saat aku harus jadi pengusaha olahan singkong supaya menjadi seperti yang kamu katakan. Aku si Udin Kingkong.” Udin terkekeh, “Oh iya, terima kasih ya sudah memberiku julukan itu.”
Seketika itu juga wajah Rina merah padam. Ia merasa malu atas perlakuannya pada Udin selama ini, “Maafkan aku, Din.” Rina berlutut di samping tempat duduk Udin. Udin kelabakan, dia kaget dengan sikap Rina, “Rin, jangan seperti itu dong. Aku tidak marah padamu, sungguh Rin.” Udin membantu Rina berdiri. “Benar, Din kamu tidak marah?” Udin menggeleng kuat. “Terima kasih ya, Din kamu baik sekali. Padahal aku sudah jahat sama kamu.” ucap Rina penuh penyesalan.
“Sudahlah, Rin, jangan dipikirkan lagi.” kata Udin ramah. “Sekarang kita berteman kan?” Rina mengulurkan tangannya. “Loh, lah memangnya selama ini apa kita bukan teman?” Udin menjabat uluran tangan Rina. Mereka berdua pun tergelak. “Eh, ngomong-ngomong singkong kamu ternyata rasanya enak.” kata Rina di sela tawanya. “Oh, jadi sekarang kamu mau makan singkongku juga?” “Iya, aku sekarang kan Rina singkong lover.” Mereka pun tenggelam dalam canda. Sekar berjalan ke kelas, dari pintu dia melihat Udin tengah tertawa bersama Rina.
“Ciyee, ada yang sudah akur nih.” Sekar masuk dengan senyum menggoda. “Nah, ini nih. Pahlawan yang sudah membawaku menjadi seperti ini.” Udin berdiri menyambut Sekar. “Ehem.” Rina berlaga terbatuk walaupun sebenarnya tenggorokannya tidak gatal. “Kamu itu terlalu berlebihan, Din.” Sekar tersenyum malu. “Loh, aku serius Sekar.” Udin menghela napas panjang, “Terima kasih banyak ya, Sekar. Oh, ya nanti sore aku mau sowan ke rumah kamu boleh? Aku mau membagi singkong gorengku ke Abah?” Sekar mengangguk tanda setuju, “Sama-sama, Din, kita semua kan teman, jadi sudah semestinya saling membantu. Benar kan, Rin?” Sekar menyenggol lengan Rina dengan sikunya. Rina mengacungkan ibu jarinya tanda setuju.
—
Tidak ada lagi permusuhan. Tidak ada lagi kalimat ejekan. Semua menyatu dalam kebersamaan. Udin tidak pernah dendam dengan orang-orang yang dulu pernah memandangnya sebelah mata. Justru mereka adalah cambuk bagi Udin untuk membuktikan kemampuannya. Udin Kingkong. Udin si raja singkong. Udin bertekad untuk mewujudkan ejekan itu menjadi kenyataan. Suatu saat ia akan membuktikan pada dunia bahwa dia mampu menyandang gelar itu. Udin Kingkong, Udin si Raja Singkong.
Cerpen Karangan: Warastri Rezka Hardini Blog: rezkahardini.blogspot.com