Ini terjadi saat aku masih berada di sekolah menengah atas. Dulunya aku sering sekali bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dicari dalam sebuah pendidikan. Banyak dari manusia di dunia ini hidup dengan konsep itu —berpendidikan. Bisa dibilang, mereka membutuhkan hal itu untuk bisa survive di dunia kontemporer ini. Minoritas manusia di dunia ini berpikiran bahwa, pendidikan adalah hal yang berkenaan dengan pembaharuan status, revitalisasi dari keperibadian, dan tonggak khusus yang mampu menaikkan derajat atau taraf kehidupan. Namun, kebanyakan —mayoritas manusia di dunia ini banyak yang beranggapan bahwa, pendidkan itu tidaklah terlihat sebesar apa yang terjelaskan di depan mata mereka. Pendidikan cuma satu hal yang dinomor sekiankan dalam struktur prioritas agenda kehidupan. Ya, banyak dari manusia Indonesia bersikap seperti itu. Terutama bagi orang-orang terbelakang —secara pola pikir.
Untuk masyarakat Jepang, pendidikan adalah hal paling utama yang harus benar-benar ditekankan. Para orangtua di Jepang tak akan segan-segan mengeluarkan banyak uang untuk memberikan anak-anak mereka fasilitas pendidikan yang memadai, bahkan sangat tinggi. Mereka punya harapan besar pada pendidikan untuk mengangkat taraf kehidupan anak-anak mereka di masa depan agar tidak sukar menjalani dunia mereka nanti.
Sama halnya dengan para orangtua, anak-anak di Jepang juga mengkonsider betul tentang pendidikan mereka —walau tidak semua. Mereka giat belajar, begitu juga mengembangkan diri mereka pada minat yang mereka ingin geluti. Kebanyakan anak-anak di Jepang punya hobi membaca dan belajar. Hal yang tidak mudah ditemukan di Tanah Air, atau bahkan langka, juga, bisa jadi tidak lazim jika ditemukan. Apalagi di zaman serba moderen ini.
Sebelumnya, aku bahkan belum pernah bertemu dengan seorang pun dalam kehidupanku, ada orang yang hobi membaca dan belajarm —mungkin karena aku belum keluar jauh. Seolah diterpa dilema moderenisasi, manusia-manusia Indonesia, terutama kaula mudanya, lebih suka menghabiskan waktu mereka untuk hal-hal yang tak berfaedah: pacaran, keluyuran tanpa tujuan, balapan liar, hangout sampai larut malam tak kenal waktu, dan lainnya. Orang-orang itu bilang bahwa mereka ingin jadi orang besar satu masa nanti, tapi tidak satu pun memulainya secara serius.
Salah satu teman sekelasku pernah bilang begini waktu kami SMA dulu, “Aku mau ngambil FKIP kalau kuliah nanti.” Bagi kebanyakan orang, cita-cita semacam itu adalah suatu tujuan mulia yang tak bisa ditampik. Hanya saja, lanjutan kalimat berikut yang dia ujarkan langsung merubah pandanganku tentang tujuannya itu. “Aku mau jadi guru, biar tidak perlu kerja berat. Jadi guru kan mudah. Tinggal kasi catatan, terus suruh mereka ngerjain soal. Dapat gaji tanpa capek.” Penjelasan semacam itu jelas menunjukkan rencana kotor. Untuk seseorang yang tidak punya skill dalam mendidik, dia tentu akan mengalami banyak kesulitan dalam mengurus murid-muridnya. Tapi, seperti semua guru yang ada di dunia ini, jika dia ingin bekerja keras dan mengasah kemampuan mengajar dan ilmunya, dia pasti bisa jadi seorang guru yang kompeten. Dari kompetensinya itu pulalah, dia bisa mencurahkan bibit-bibit baru untuk tumbuh dengan kembang harum dan indah: dipenuhi kemuliaan. Hanya saja, kawanku itu, tidak pernah sekali pun berpikir untuk menjadi seorang pendidik. Sejak awal dia memang tidak tercatat sebagai manusia ‘anti kebodohan’. Dia hanya siswa dengan taraf inteligensi standar yang kebetulan punya kemampuan memahami informasi dengan lancar. Namun terlepas dari semua itu, dia tak masuk dalam golongan anti kebodohan. Karena dia tidak memikirkan seperti apa tugas seorang pendidik sebenarnya. Dia masuk dalam kelompok ‘orang-orang tak peduli pendidikan’.
Guruku pernah bilang, “Pendidikan itu adalah identitas diri seorang manusia.” Artinya, pendidikan merupakan indikator khusus yang mengukur letak kemampuan seseorang sesuai taraf berpikirnya. Hanya saja, tidak berhenti di situ. Pendidikan lebih dari sekadar identitas kecerdasan. Lebih jauh lagi, pendidikan merupakan sebuah barometer sifat manusia, baik dalam perilaku maupun caranya bertindak. Orang-orang yang dapat kesempatan untuk mengemban gelar-gelar besar setelah menamatkan sekolah tinggi mereka merupakan manusia terdidik. Saat tali di atas toga mereka pertama kali digeser, maka mereka telah menjadi salah satu manusia terdidik. Itu, menurut pemahaman awam. Hanya saja, sejujurnya —berdasarkan persepsiku— manusia terdidik itu tidak diukur dari huruf S. di belakang nama mereka atau pun Prof. dan Ir. saja. Sebenarnya, mengidentifikasi orang-orang berpendidikan itu lebih sederhana.
Biar kuberikan dua contoh dasar. Ada dua guru yang perbedaannya begitu mencolok pernah mengajar kami dulu, yaitu: Ibu Susan. S.Pd,. M.Pd. dan Bapak Arman. Ibu Susan, seorang wanita muda 20 tahunan —mendekati 30— adalah seorang sarjana pendidikan dengan gelar cum laude di universitas ternama di Batam. Dia juga mendapatkan beasiswa khusus untuk melanjutkan gelar magisternya di Jakarta dengan bidang yang sama, pendidikan. Lalu, Beliau kembali lulus dengan hasil memuaskan, nomor satu dari semua. Beliau adalah seorang manusia handal, cerdas, penuh dengan ilmu pengetahuan. Tidak ada wanita yang lebih sempurna dari dirinya di kampungku. Seorang wanita dengan paras cantik dan bergelar besar. Berbeda dengan Ibu Susan, Pak Arman hanyalah guru biasa yang tak memiliki gaji besar. Pak Arman bahkan tak pernah mengecap mengenakan toga. Beliau putus belajar saat sedang berada di semester 5 karena masalah biaya. Pak Arman hanya guru honorer yang kebetulan cuma direkrut karena SMA kami tak cukup guru. Beliau juga punya kemampuan dalam bidang sosial dan ekonomi. Penguasaan subjek IPS-nya lumayan bagus. Karena itu Beliau tetap mengajar di SMA kecil kami itu, di bawah pimpinan Ibu Susan.
Sekarang, sepertinya siapa pun pasti tahu seberapa jauh perbedaan kedua guru —pendidik— ini. Yang satu adalah seorang kepala sekolah dengan gelar M, sedangkan yang satunya lagi hanyalah lulusan SLTP negeri miskin kurang wawasan. Taraf pendidikan mereka jauh berbeda. Hanya saja, jika ingin dihitung dengan sudut pandang berbeda, sebenarnya Pak Arman —sarjana tak jadi— itu, jauh lebih berpendidikan daripada Ibu Susan sang magister pendidikan. Hal itu terlihat jelas, bahkan terlalu jelas dan tak perlu diperjelas terlalu dalam. Kenapa aku bilang begitu…? Ya, kurasa ada seribu alasan yang bisa kuungkapkan. Ibu Susan tidak pernah suka mengajar. Saat kami ingin melaksanakan UN dulu dan Beliau, secara terpaksa, harus mengajar les pada kami karena guru-guru lain sedang punya urusan masing-masing, Beliau menunjukkan belang tersembunyinya. “Kalian sengaja nak sekolah, bukan pandai juga kalau belajar. Baik balik saja sana, daripada menyusahkan saya. Dikasi tahu tak paham-paham.” Itu yang Ibu Susan pernah ucapkan pada kami. Bukankah guru harus sabar saat mendidik? Ya, itu benar. Ibu Susan tipe manusia yang tidak mau repot. Dia tidak pernah ingin mengambil bagian sebagai guru —membagi ilmunya pada para murid, namun juga dengan entengnya meremehkan kami dengan sarkasmenya. Baginya, kepalanya yang penuh ilmu itu tak akan mendapat keuntungan apa pun jika diputar sedikit untuk menyebarkan wacana-wacana ilmiah, membantu murid-muridnya agar bertambah pengetahuan.
Seperti layaknya kebanyakan manusia pintar, Ibu Susan tak berminat untuk berhubungan dengan manusia bodoh seperti kami. Dari pandanganku, sebenarnya dia lebih baik jadi dosen saja di universitas terkenal. Dengan begitu, ilmunya pasti bisa bermanfaat. Namun, sama seperti temanku yang mau jadi guru, Ibu Susan lebih memilih jalan mudah. Karena kebetulan SMA kami sedang butuh kepala sekolah baru, Ibu Susan pun segera bergegas mencalonkan diri. Karena tak ada magister lain melainkan Beliau, maka Ibu Susan pun terpilih jadi Kepala Sekolah baru —di kampung kami.
Sekarang ini, orang itu hanya makan gaji buta, tak melakukan apa pun selain eksis di media sosial —selfie-an dan sebagainya. Sungguh pemandangan yang miris untuk dilihat. Seorang manusia dengan pendidikan tinggi dengan gelar magister pendidikan malah mengabaikan pendidikan itu sendiri. Aku bahkan tak tahu harus seperti apa mendeskripsikan kekecewaanku pada kepala sekolah kami itu.
Tapi, berbeda halnya dengan sang guru honorer, Pak Arman. Beliau merupakan seorang guru biasa, tak memiliki kompetensi tinggi, dan hanya bisa mengajar ilmu sosial saja. Walau begitu, sang guru honorer tersebut bukanlah tipe buruk yang meninggalkan murid-muridnya —jika pun ia tak secerdas Ibu Susan. Kekurangan itulah sebenarnya poin terbaik dari Pak Arman. Beliau bukan hanya memberikan taburan ilmu dalam buku yang dituntut rumusan bernama kurikulum, tapi juga memberikan kami tegukan ilmu moral dan petunjuk rohani yang luas. Beliau menyentuh kami bukan hanya sebagai guru, tapi juga sebagai seorang pembimbing —pendidik yang sebenarnya. Beliau sering berkata, “Jangan pernah kalian tertidur dalam kebodohan. Jika hendak jadi orang besar, maka pergi arungi lautan ilmu, dan kumpulkan sebanyak mungkin pengetahuan bermanfaat, biar kalian bisa punya manfaat buat orang banyak.” Tidak hanya memikirkan orang lain, tapi juga merupakan bagian dari orang lain. Begitulah pesan terpenting Pak Arman untuk kami. Seorang guru muda yang masih berusaha untuk maju ke depan biarpun tidak punya apa-apa. Baginya hidup dengan keterbatasan bukanlah sebuah ketidak-beruntungan, tapi merupakan bentuk kasih sayang Tuhan padanya. Guru yang tak pernah memperlihatkan aura negatif, penyabar, ceria, sopan, penuh perhatian, dan sangat peduli pada pendidikan. Dibandingkan dengan sang magister, sarjana gagal itu sepertinya lebih terbilang sebagai manusia berpendidikan.
Kenapa? Ya, sebenarnya arti pendidik —didik— yang tercatat dalam KBBI sendiri berarti: bimbingan akhlak (moral) dan kecerdasan. Dari sini sepertinya kita bisa langsung memetik alasannya. Manusia berpendidikan itu bukan hanya seorang pribadi dengan kecerdasan intelektual saja, tapi juga memiliki kebaikan hati yang mencerminkan sikap anti autisme. Yang artinya, peduli pada orang lain, bukan hanya pada dirinya sendiri. Masalah utama bangsa ini sekarang —terutama dalam dunia pendidikan— adalah terlalu banyak pendidik yang hanya ingin tempat aman dan tak mau bekerja untuk meningkatkan strata kecerdasan bibit-bibit bangsa. Akibatnya, anak-anak negeri ini jadi tak teratur, kemudian hidup dalam ketidak-sinambubgan. Itu terjadi karena stimulan akhlak tak dijaga baik. Akibatnya, manusia-manusia tak berpendidikan-lah yang muncul ke masyarakat…
Sekarang, apa ada yang bertanya kenapa bab ini menceritakan tentang pendidikan…? Ya. Orang berpendidikan itu tak harus seorang S, M, Dok, Ir, atau pun Prof. Seorang yang berpendidikan adalah pribadi pemilik kecerdasan ilmiah dan berhati besar. Ia yang menjadi pendorong kebaikan dan pelopor dunia bersih yang tahu tanggung jawabnya sebagai manusia—sebagai khalifah dan pembimbing. Itulah manusia berpendidikan sebenarnya. Dan, kita kekurangan manusia semacam itu. Manusia-manusia seperti Pak Arman.
Karena dunia kontemporer ini tak memandang moralitas sebagai kelebihan, makannya orang-orang seperti Pak Arman tidak banyak. Jika ingin temukan Ibu Susan, kurasa kita tak perlu mencari. Di sepanjang jalan negeri ini, mereka merupakan mayoritas.
Cerpen Karangan: Faz Bar I’m just an ordinary guy, with no talent or awesomeness. I like to write, especially a light novel. My dream is to write a light novel that then being adapted into an anime series (I’m serious about this). I like anime and J-Pop music, and all about Japan. My favourite protagonist is Hikigaya Hachiman, whether the heroine is Yukinoshita Yukino from Oregairu. I’m still an amature. But, I sure can be one of like those great writer whom had made history with their works. I want to be one like that. A famous writer (once again, I’m serious about this).