Matahari pagi seperti menjadikan kulit si Hari kecil memerah. Ternyata bukan karena terik surya, tapi di pagi itu raut wajah kekecewaan dan kekesalan terlihat jelas menemani setiap langkahnya yang juga tergesa-gesa.
Hari adalah pendengar setia keluh kesah orang lain. Ketika temannya mengadukan air mata dan kemarahan, ia siap menjadi sandaran dan mencoba memberikan ketenangan. Ketika terlihat putus asa ia mencoba memberikan semangat. Ketika saatnya kebahagiaan ia masih ada sampai suara itupun terdengar lelah menceritakannya. Kepercayaan sangat berharga, adalah bagian dari semangat hidup untuknya. Masalah yang hinggap padanya seakan berkurang bahkan tak harus ia ceritakan, hanya dengan mendengarkan orang lain. Tapi Hari kecilpun tetaplah manusia biasa, sepi kadang menggerogotinya. Ketika tak ada seorangpun yang menyapa walau hanya dengan pesan singkat. Ia mencoba mengirim beberapa kata dan berharap ada siapa yang akan membalas pesan itu.
“mungkin sebentar lagi, mungkin sebentar lagi…”, satu, dua, tiga hari ia melakukan itu tapi hasilnya tetap sama, tak ada seorangpun yang membalas. Tapi tunggu, baru saja ada pesan masuk untuk Hari. Ia pun senang handphonenya berbunyi, dan itu dari salah satu temannya. Tapi pesan itu malah membuatnya kecewa, pesan yang menyiratkan bahwa Hari kecil telah mengganggu. Kali ini kesabarannya seperti meledak, entah karena itu bukan yang pertama kali ia alami.
“aku seperti cermin, saat seseorang berlari padanya, ia disana untuk menyaksikan refleksi dari emosi yang meluapkan air mata, kekecewaan, amarah ataupun kebahagiaan. Tapi bagaimana dengan si Cermin, ketika ia butuh seseorang, ia hanya bisa bercermin pada dirinya sendiri, tetap pada dirinya sendiri. Karena ia tak bisa berlari kepada orang lain seperti orang lain yang berlari padanya.”
Kekecewaan yang ia tuangkan dalam tulisan di malam itu tak lantas menghapus amarah saat pagi memulai hari baru. Kesabaran tak harus dipertahankan pikirnya. Dalam perjalanan menuju tempat kerja dengan langkah yang juga tergesa-gesa
“kenapa mereka seperti itu?, aku selalu ada kapanpun mereka butuh, tapi mengapa tak sebaliknya?, baiklah! sekarang aku akan mencoba untuk tidak peduli.”
Hati si Hari kecil menggerutu amat kesal. Tiba-tiba ia tertuju pada seseorang di depan pandangannya. Kemudian ia turunkan kaki dari trotoar bermaksud menghindari orang gila yang berjalan kearahnya. Saat berpapasan
“cuih!!”, orang gila itu membuang ludah tepat di wajah si Hari kecil yang sedang berjalan di samping trotoar. Tentu ia merasa kaget. Tanpa memperhatikan sekitar, ia berlari ke tempat wudhu suatu mesjid. Ia membasuh bagian wajah yang terkena ludah sambil dalam hati ia mengucap Istighfar
“Astaghfirullah Al ‘adzim, Astaghfirullah Al ‘adzim!, mungkin aku memang pantas mendapatkannya, karena dengan sikap itu hanya menambah kehinaanku saja dihadapan-Nya”
Ludah itu seperti menjadi teguran untuk si Hari kecil, Bahwa kesabaran tanpa keikhlasan itu hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia. Kesabaran tanpa keikhlasan itu hanya menyisakan amarah yang bertumpuk di dalam dada. Ia mulai belajar tentang ketulusan, ketulusan itu tanpa pamrih, ketulusan itu bagaimana kita memberikan yang terbaik. Kini ia ingin tetap ada untuk teman-temannya. Ia ingin tetap peduli sekalipun menjadi yang terabaikan, Karena meskipun terasa sakit saat ia merasa tak ada yang peduli, tapi ketika ia tak peduli itu terasa jauh lebih sakit.
Itulah si Hari kecil yang dengan keegoisannya, ia merasa menjadi orang yang paling mengerti. Itulah si Hari kecil yang mencoba berlapang dada dengan ketulusan. Itulah si Hari kecil. Kecil, karena ia masih belajar untuk mengerti. Itulah aku, si Hari kecil.
hmm, Massa memang benar-benar menjadi salah satu guru terbaik dalam kehidupan, banyak hal yang tak terduga yang datang melayangkan makna sebagai pesan untuk menemani langkah selanjutnya.
Cerpen Karangan: Hari Arianto Facebook: Hari Arianto