Hamparan bintang menyinari kota dengan terang benderang, bulan seakan berada di mana mana, ada yang di permukaan laut, sungai, bahkan sampai ada di genangan air sekalipun, ranting dedaunan melambai lambai seakan berdansa mensyukuri keindahan yang telah tercipta di malam ini, ya sungguh malam yang indah untuk semua orang di kota ini, tapi bagiku ini merupakan suatu penghormatan yang diberikan alam kepadaku untuk malam terakhirku, tepat jam 12 malam aku akan dieksekusi mati.
“Satu jam lagi pak”, terdengar suara berat basah dari luar sel “Aku mengerti”. “Apa bapak takut”. “Hmmm takut lah”. “Saya sudah 24 tahun sebagai pengawal yang akan dieksekusi mati pak!”. “Lama sekali ya”. “Manusia memang aneh ya pak, ketika mereka mengetahui kapan ajalnya datang mereka tiba tiba sangat patuh pada ajaran agamanya, mereka begitu tenang”. “Ya begitulah”, aku menjawab sekenanya “Tapi ketika detik detik terakhir eksekusi, raungan, teriakan yang sangat menyedihkan, caci maki kepada entah siapa, memohon dikasihani, mereka masih ingin hidup. Sungguh memalukan”. “Hmmm, ketika manusia sudah berada di tepi tepi jurang kematiannya sifat aslinya akan muncul, sifat yang tidak dibuat buat, sifat yang mamang harus ada pada diri manusia itu akan muncul”, sambungku dengan suara yang rendah. Kami pun bercerita berbagai macam hal dari keluarga, sampai kenapa bisa ajalku ditentukan waktunya oleh manusia bukannya tuhan, si pengawal menghentikan pembicaraan, hening, memberiku kesempatan meratapi kehidupanku yang begitu membingungkan ini.
“Waktu eksekusi dimajukan lima belas menit pak”, tiba tiba saja si pengawal memecah keheningan, memecah belah angan anganku. “Jadi sisa waktuku tinggal berapa menit lagi?”. “Tujuh menit lagi pak”.
Si pengawal menanyaiku apakah ada kata kata terakhir atau permintaanku pada keluarga sebelum dieksekusi, aku tertawa, si pengawal heran, “Kenapa anda tertawa pak”, “Aku ingin kembali ke waktu empat puluh tahun lalu, ketika umurku empat tahun” “Kenapa pak?”, tanya si pengawal “Aku hanya ingin menghentikan diriku menjadi terlalu baik” “Hehahahahah”, tawa si pengawal lepas Kami pun tertawa bersama, tidak tahu kenapa, seperti tawa paling menyenangkan, penyedihkan, memalukan yang pernah kurasa, mungkin karena ini adalah tawaku yang terakhir dalam hidup ini.
Waktu eksekusi pun tiba, aku dibawa ke tempat terakhirku, tanganku diborgol dengan dikawal oleh banyak sekali eksekutor, tapi aku tak melihat pengawal yang ngobrol denganku tadi. Aku memasuki tempat pencabutan nyawa, begitu ramai orang yang menyaksikan, aku kenal mereka semua, banyak manusia yang berteriak mencaci, menangis, aku melihat sekelilingku, para eksekutor sudah siap dengan senapan angin di tangan masing masing, aku pikir ketenanganku akan tiba tiba lenyap entah ke mana yang akan berganti dengan ketakutan, tapi aku tetap tenang tak ada ketakutan tak ada emosi yang menjamahku, para eksekutor menghitung mundur dari lima sampai pada hitungan ke satu suara keluarnya timah panas dari senapan angin menggelegar aku sudah siap menerimanya, namun sebelum timah panas tersebut mengenai kepalaku tiba tiba aku ketakutan dan bingung bukan karena timah panas melainkan karena semuanya berubah menjadi putih, ruangan kosong yang sangat luas berwarna putih borgol di tanganku menghilang entah ke mana.
Terdengar samar samar suara manusia tak tahu arah datangnya, aku seperti mengenal suara tersebut makin lama suaranya makin jelas. “Waktumu lima belas menit!”, ujar suara dari mahluk yang aku tak tahu entah di mana keberadaan jasadnya. Aku berlari mencari dari mana sumber suara tersebut berasal tapi nihil, belum usai rasa penasaranku tiba tiba sekelilingku berubah menjadi tempat perkampungan pada sore hari dimana banyak sekali anak anak yang bermain, aku termenung sejenak melihat anak anak yang asyik bermain dengan tawa yang ceria, aku tertarik melihat seorang anak yang baru datang dengan pakaian kumuh terkena noda minyak oli membawa banyak sekali roti di tangannya kemudian roti tersebut dibagi ke semua anak anak yang berada di situ dan ikut bermain bersama namun ketika semua rotinya habis dimakan maka anak kumuh tersebut diusir dan tidak diajak ikut bermain, bukannya marah dan sedih namun anak itu nampak tersenyum dan berkata akan membawa roti yang banyak lagi esok hari sambil berlari meninggalkan kerumunan anak anak tersebut, aku terenyuh dan baru sadar anak kumuh itu adalah diriku empat puluh tahun yang lalu, aku tak menyangka akan kembali ke masa lalu. Ini kesempatan emas buatku untuk mengubah diriku sendiri dengan memberitahukannya apa yang terjadi padanya empat puluh tahun kemudian.
Aku berlari menghampiri diriku sendiri yang masih bertubuh mungil itu, aku menyapanya, dia kaget dan langsung tersenyum dan memberiku sapaan hangat “Selamat sore, paman”. “Kenapa adik tidak ikut main sama teman teman yang lain”. “Roti saya habis paman, jadi saya memutuskan untuk kembali ke rumah”. “Apakah gara gara kehabisan roti, adik tidak diajak bermain, apakah adik tidak marah diperlakukan seperti ini, apakah adik tidak mau cari teman yang lain, apakah adik sedih, apakah adik gembira, apakah! Apakah!, kalau adik seperti ini terus maka adik akan berakhir seperti paman yang begitu menyedihkan ini, yang percaya kebaikan merupakan suatu hal yang utama, lebih baik menyakiti diri sendiri dari pada orang lain demi kebaikan, yang rela dihukum mati demi menyelamatkan seorang teman”, dengan tidak sabaran aku menembakinya bertubi tubi dengan pertanyaan pertanyaan yang tanpa kusadari keluar dengan sendirinya dari mulut ini.
Suasana menjadi hening, kami berdua diam terpaku menatap satu sama lain, tiba tiba diriku yang masih kecil tertawa terkikik kikik “Apa paman diriku empat puluh tahun yang akan datang?”. “Iya, aku datang untuk mengubahmu”. “Paman tidak perlu mengubahku”. “Kenapa?”. “Aku begitu bangga pada paman, kalau memang benar paman diriku empat puluh tahun lalu aku ingin menyampaikan bahwa aku akan sangat bahagia, diriku begitu keren dan selama empat puluh tahun dari sekarang aku tidak berubah dan tetap menjadi diri sendiri, menjadi apa yang kuinginkan, aku empat puluh tahun yang akan datang jangan takut, walaupun semua orang dunia ini membenci dan memanfaatkan sifat kita, setidaknya kita masih punya diri kita sendiri, jangan menilai orang bahagia seenaknya loh, setiap orang bahagia dengan caranya masing masing, namun banyak orang masih belum sadar jika mereka sedang bahagia”.
Aku tertawa terbahak bahak diikuti dengan tawa kecil dari diriku empat puluh tahun lalu, air mata mengalir membasahi pipi hitamku, aku sadar selama ini itulah ketakutanku, ketenangankulah yang membuat aku takut, terima kasih diriku empat puluh tahun lalu, engkau telah menyadarkanku bahwa selama ini aku begitu bahagia menjalani hidupku ini, aku tidak menyesal lagi, kemudian diriku empat puluh tahun lalu itu berubah menjadi seorang lelaki paruh baya yang bertubuh tinggi berotot kekar, wajahnya seperti tak asing, aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat.
“Waktu anda sudah habis pak”. “Kau penjaga penjara yang ngobrol denganku kan”. “Betul pak, dan sekarang waktunya pergi ke tempat anda semestinya pak”. “Ke mana?”. Belum sempat pertanyaanku dijawab olehnya, dia langsung menodongkan pistol hitam tepat di dahiku, sebelum dia menarik pelatuk, aku menyadari bahwa penjaga yang berbincang denganku itu adalah malaikat maut yang ditugaskan untuk mencabut roh dari ragaku, tapi aku tidak menyesal lagi, aku bahagia dan doorrr!!!, semua hitam pekat.
Cerpen Karangan: Halif Halifah Agung Facebook: Halif Halifah Agung Nama: Halif halifah agung Alamat: kampus ipdn jatinangor sumedang km. 20 No. Hp: 087827544631 Kuliah: institut pemerintahan dalam negeri