Panas matahari menyengat tubuhnya yang berjalan menyusuri cairan aspal yang telah memadat. Suara bising kendaraan yang merambat lebih cepat dari siput yang cacat, sama sekali tak dihiraukannya. Bibir hitamnya memungut sebatang rok*k yang ditinggal pemiliknya, hanya tersisa satu per tiga bagian rok*k itu. Bibirnya melukis senyum seperti baru mendapat bonus dari raja Fir’aun yang kaya raya.
Ia menyesap rok*k di pinggir kota metropolitan jakarta. Menikmati sesaknya udara beracun yang menyelubungi Bumi jakarta. Peluh menetes di dahinya karena sengatan matahari siang itu siap membakar siapa saja menampakkan batang hidungnya. Dengan sangat nikmat ia memejamkan mata mengingat puzle puzle kehidupan yang telah ia lalui.
“siapa namamu” pertanyaan seorang teman yang baru dikenalnya kala itu. “Sudirman” jawabnya dengan mengulum sebatang rok*k, lalu ia nikmati rok*k itu sama seperti saat ia menyusun puzle ini di tepi kota metropolitan.
Mendengar pengakuan namanya, segerombolan orang orang kumal yang sudah berhari hari tak kenal mandi. Baunya, jangan ditanya seperti apa. Sama busuknya dengan panggilan orang awam terhadap mereka “sampah masyarakat”. Mereka tetap nyaman satu sama lain karena mereka sama sampahnya. Mereka tertawa, terbahak bahak, menyusuri kehidupan di tepi jalan. Memungut sisa makanan di tempat sampah atau apa saja yang ditemui.
Orang yang menghisap nikotin itu tetap menikmati kegitannya. Baginya hal ini sudah biasa, tertawa ketika mendengar namanya. Tak ada yang lucu, nama itu sederhana, hanya satu kata yang baginya tak bermakna yang mudah diingat karena nama itu sama seperti nama salah satu tokoh pejuang negeri ini.
“nama itu tak cocok untukmu kawan, Sudirman itu nama terhormat, pejuang kemerdekaan” kata salah seorang dengan rambut yang di warna merah dan berkulit hitam legam, sama sekali tidak serasi dengan warna rambutnya. “apa kau mau memperburuk citra nama “Sudirman” ini, haha kasian bapak tua yang kini telah terkubur dengan nama yang terkenang indah di setiap sanubari rakyat yang di perjuangkanya, jika namanya kau cemari dengan alkohol dan s*bu s*bumu itu” gelak tawa pun kembali terdengar, sangat ramai di pinggir tempat pembuangan sampah. “kau mau kami memanggilmu apa kawan?” tanya seorang teman barunya lagi. Yang kini duduk memakan roti yang ia temukan di tempat yang banyak sampah sampah dan tikus tikus kelaparan. “panggil saja aku Sudirman, apa salahnya. Itu namaku.” Katanya yang memungut putung rok*k di sebelahnya, kali ini bukan satu rok*k penuh, hanya setengan. Namun rasa nikmat yang ia dapatkan tak jauh berbeda. Sudirman, pemuda dengan pakaian hitam yang sengaja dibolong bolong, kulitnya coklat sawo matang yang tak terawat sama sekali. Ia memejamkan matanya lagi. Menata puzle puzlenya lagi.
“kenapa Sudirman bu?” Tanya anak kecil bekulit sawo matang, masih polos dan menggemaskan. “karena ibu berharap kamu akan menjadi seorang pahlawan seperti Jenderal Soedirman, menjadi laki laki yang kuat, dan bertanggung jawab. Berguna untuk bangsa dan negara” senyumnya merekah, matanya menggambarkan pengharapan yang teramat besar untuk anak di depannya. Anak itu tertawa lepas, tanpa beban dan menyenangkan, mungkin jika ia tau masa depannya ia akan murung dan memilih nama yang lebih cocok untuk dirinya. Anak yang tak tau apa apa itu memeluk ibunya. “terima kasih bu, Sudirman suka nama itu” ucapnya di telinga sang ibu. Lalu mereka tertawa bersama dan merasakan kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Ia berterima kasih paha Tuhan, karena yang tahu masa depannya saat itu hanyalah Tuhan. Jika ia tahu, mungkin ia tak akan merasakan kebahagiaan ini.
Di hari hari selanjutnya anak itu tumbuh dengan keluhuran budi dan sopan santun yang baik, didikan dari ibunya. Karena ibunya seorang perempuan jawa tulen yang mengerti unggah ungguh. Hingga seorang laki laki yang dipanggil ayah oleh anak tersebut mengubah segalanya. Setiap hari mabuk mabukan, dan kekerasan yang tak henti hentinya ia lakukan pada keluarganya sendiri. Menyakiti istri dan anaknya seperti seorang konglomerat pada zaman Fir’aun yang menyiksa budaknya. Hingga air mata itu mengalir berhari hari karena ditinggal sang ibu pulang ke peristirahatan terakhir. Hanya ia kini yang menanggung derita hingga rasa putus asa itu menyelinap dalam jiwanya. Mengubah pendirianya, luhur budinya. Ia dibentak maka ia membentak. Ia dipukul, maka ia memukul. Hingga ayahnya pun pergi dengan mengerikan. Dikeroyok masa karena mencuri uang warga. Malu yang ia dapat sudah tak bisa lagi ia tanggung.
Ia langkahkan kaki tanpa menbawa setetes air pun, pergi menelusur bumi yang dikatakan orang bulat. Mencari kawan senasib, sepenanggungan. Membuang harapan harapan yang ia susun bersama mata bening ibunya. Hingga pada saat matahari di atas kepala ia sampai di sini. Ia membuang rok*k yang satu per tiga tadi karena telah habis dimakan api keputus asaan. Api menyalahkan semua pihak.
Ia berjalan lagi menyusuri aspal aspal hitam yang menjadi saksi beribu ribu kajadian. “mungkin jika aku Soedirman. Kini aku sedang bergerilya menyusun strategi untuk menyerang para koloni.” lalu ia tersenyum. Langkahnya terhenti di bangunan kumuh yang tak di pakai lagi. Kawannya telah menunggunya. ia menyeringai lebar. Menyeramkan, sangat berbeda dengan senyuman anak kecil beberapa tahun silam yang menggemaskan. Ia mendekati seorang remaja yang terlihat lebih muda darinya. Membawa beberapa lembar uang yang ia peroleh dari mengamen di jalanan. Ia keluarkan dari saku celana jeans yang sudah beberapa minggu tak pernah lepas dari tubuhnya.
“beneran kau mau menggunakan ini” kata temannya itu. “iya, aku ingin coba” katanya. “tapi kau Sudirman” kata temannya denagn wajah kurang yakin. “aku Sudirman bukan Soedirman. Aku Sudirman si pengecut yang kalah dengan kejamnya dunia fana’ ini, bukan Soedirman sang pahlawan” katanya dengan menatap lekat lekat temanya. “Baiklah” kata temannya kalah. Ia menyodorkan sebuah suntikan ke Sudirman. Dan menerima beberapa lembar uang yang di sodorkan Sudirman.
Sudirman segera pergi dari tempat itu, ia menuju tempat pembuangan sampah. Dan di dekat boks besar ia segera menyuntikkan cairan haram itu. Ia merasa dirinya melayang, menembus awan terbang dengan bebas, hanya beberapa detik. Lalu potongan puzle hibupnya tersusun seperti sebuah film yang diputar di kepalanya. Dengan cepat film itu mengabur. Ia merasa begitu menyesal. Penyesalan yang teramat dalam. Hingga wajah ibunya terlihat menangis menatapnya sendu. Gurat kekecewaan itu telihat jelas di matanya.
Sudirman terhuyung. Ia mencoba berjalan namun ia ambruk. Ia mencoba lagi, namun ia ambruk lagi. Begitu seterusnya hingga senja datang. Ia merasakan sakit luar biasa di tubuhnya. Penyesalan, kekecewaan semua datang bertubi tubi. Kulitnya seperti ditarik paksa, terkelupas. Ia ingin menjerit namun tak mampu. Ia ingin memohon, namun sudah terlambat. Hingga ia sadar, ia memang bukan Soedirman.
Soedirman dikenang dengan gelar pahlawannya. Sedangkan ia tak kan pernah dikenang, semua teman senasib sepenanggungannya akan bernasib sama dan tak akan pernah mengenangnya. Ia hanya akan mati bersama tumpukan sampah di tempat ini. Dan merasakan kesengsaraan di kehidupan selanjutnya. Tikus tikus itu akan memakan jasadnya. Tanpa tersisa, dunia tak akan tau dia pernah ada. Hanya sampah sampah dan tikus tikus kelaparan yang menjadi saksi bagaimana ia meregang nyawa. Meninggalkan harapan yang meraung raung menangisi nasibnya. Menuju penyesalan yang tersenyum licik penuh kemenangan.
Di senja itu jiwanya terbang dengan kesakitan di saksikan jiwa ayah dan ibunya yang berada di tempat yang berbeda. Ia menggapai-gapai tempat ibunya yang sangat indah dan harum, namun takdir berkata lain ia pergi menuju tempat ayahnya yang menjerit kesakitan, bau nanah dan darah yang menyengat telah membakar hidungnya. Jilatan api terlihat sangat menginginkan jiwanya, tak sabar untuk melahap habis yang tersisa dari jiwa yang telah membusuk itu. Namun apa daya dia bukan Soedirman yang dikenang dan di doakan setiap hari senin saat upacara bendera. Ia tidak akan merasakan dinginya ampunan tuhan saat orang lain mendoakan, karena orang lain tak pernah tau bahwa ia pernah ada. Ia harus membayar semua yang ia lakukan, kewajiban kewajiban yang ia tinggal harus ia bayar, larangan larangan yang ia lakukan juga harus ia bayar dengan kesengsaraan yang abadi di tengah jilatan api yang membara.
Nafasnya tersengal saat terbangun dari tidurnya. Di sebuah ranjang usang dan foto seorang perempuan yang di dekapnya dengan erat. Sisa air mata yang mengering menodai pipinya. Ia segera turun dari ranjang usang, dan meletakkan foto ibunya di meja berkaki tiga di kamar reotnya. Ia keluar dari kamarnya, mencari sosok yang ia peluk fotonya. Hingga ia menyadari salah satu potongan dari mimpinya bukanlah fiksi bunga tidurnya. Ibu dan ayahnya benar benar telah meregang nyawa.
Jadilah seorang anak kecil itu di sini sendirian. Hari demi hari berlalu, ia tetap melakukan rutinitasnya walau banyak cemoohan yang memcoba merobohkan kepercayaan dirinya, namun ia tetaplah seorang Sudirman. Ia bersekolah tanpa mempedulikan cemoohan para tetangga. Namun, dari sekian banyak mulut mulut yang menghinanya, ada satu mulut yang selalu menyunggingkan senyum untuknya. Dari sekian banyak tangan yang menepisnya, ada satu tangan yang selalu mengulurkan tanganya. Dari sekian banyak pasang mata yang menatapnya dengan jijik, ada sepasang mata mata yang selalu menatapnya dengan sendu. Pak Karmin, seorang laki laki tua yang setiap pagi menunggu kios korannya. Sama sekali bukan orang yang kaya raya, hidupnya sebatang kara, pergi merantau lantaran semua yang ia punya telah habis 12 tahun silam saat tsunami besar di kota kelahirannya menimpa.
“Sudirman, mau jualan Koran lagi?” kata pak Karmin melihat Sudirman dengan baju kumalnya datang siang itu, Anak yang masih duduk di sekolah dasar itu mengangguk “sudah makan?” Tanya Pak Karmin Anak itu menggeleng. Pak karmin mengambil sebuah bungkusan di atas lemari reotnya, “makanlah” Sudirman segera mengambil bungkusan itu dan segera melahapnya, sangat terlihat bahwa dia sangat lapar di sela sela makanya ia berkata “terima kasih pak” Pak Karmin tersenyum lega, sejak Sudirman menjajakan Koran dari kiosnya ia sama sekali belum mendengar suaranya. “makanlah, selesai makan baru kau jualan Koran lagi” kata Pak Karmin lalu meninggalkan Sudirman yang sedang makan dengan lahapnya.
Peristiwa siang itu terulang setiap harinya. Sudirman selalu datang untuk makan dan setelahnya baru mennjajakan Koran, sorenya ia pulang membawa sedikit upah dari pak Karmin, dan malamnya ia membaca semua buku yang ia punya, hanya itu yang menghiburnya, buku buku pinjaman dari perpustakaan sekolahnya.
Tahun terus berganti hingga Sudirman yang kini telah memasuki Sekolah Menengah Atas. Beruntunglah dia sekolah di kota yang tak terlalu besar ini, dimana sekolah dasar hingga perguruan tinggi dibiayai seutuhnya dari pemerintah, serta peralatan dan bus sekolahnya, semua gratis. Bagi seseorang yang tahu berterima kasih seperti Sudirman pasti memanfaatkanya dengan semaksimal mungkin, karena ini adalah sedikit keberuntungan untuknya dari sekian banyak kemalangan yang menimpanya selama ini.
Sore itu ia tak segera pulang dari kios Pak Karmin. “Pak Karmin, boleh saya bertanya?” Tanya Sudirman malu malu. “silahkan, tapi ya Sudirman taulah, saya ini hanya tamapat SLTP jadi nanyanya jangan sulit sulit” guyonan Pak Karmin. “kenapa bapak bersikap baik kepada saya, padahal dulu ketika ayah saya masih hidup, pedagang di sini yang paling di rugikan karena ayah selalu memalak dan mencuri uang, kenapa bapak mengizinkan saya berjualan koran di kios bapak padahal saat saya ingin bekerja di pedagang pedagang lain tidak mengizinkan saya” ungkap Sudirman “karena kamu Sudirman, yang bapak izinkan untuk makan di sini, bekerja di sini itu karena kamu Sudirman. Sudirman tidak pernah mencuri uang bapak, tidak pernah memalak uang bapak, tidak pernah merugikan bapak, jadi kenapa bak harus melarang Sudirman hidup seperti anak anak lain yang ingi bekerja” Pak Karmin menghela nafas. “ingat Sudirman seseorang itu dinilai bukan karena ibunya, bukan karena ayahnya. Tapi karena dirinya sendiri. Yang mencuri, memalak dan menyusahkan warga sini kan ayahmu bukan kamu. Jadi jangan pernah malu, karena kamu tidak bersalah Sudirman. Sudirman yang bapak kenal itu jujur, rajin, ibadahnya baik. Bapak kira bapak tidak salah jika bapak mengizinkan kamu bekerja di sini” Pak Karmin tersenyum, senyum yang dari kecil selalu Sudirman lihat. Begitupun dengan Sudirman.
Satu orang saja lebih dari cukup menjadi sebuah alasan untuk tidak melakukan hal buruk yang selalu menghantuinya dalam mimpi. Dan satu orang saja lebih dari cukup untuk sebuah motivasi untuk hidupnya lebih baik lagi. Setiap malam Sudirman selalu terbayang bayang akan janji kehidupan yang sejahtera. Membangun pengaharapan yang sempat terbelenggu kata kata kotor para tetangga yang menyakitkan jiwanya.
Waktu pun berlalu dengan sangat cepat tanpa seorang pun yang menyadarinya. Sudirman terhentak sejenak, mendengar riuh tepuk tangan para penonton yang menunggu sepatah dua patah kata dari seorang pengusaha sukses. Pengusaha yang membangun banyak lapangan pekerjaan. Membantu negaranya yang sedang berkembang. Dengan kemauan dan mental tahan bantinganya membuat pasar ekonomi dunia bertekuk lutut di depannya. Pengusaha itu bernama Sudirman. Sudirman yang telah menjadi Soedirman. Dua tokoh yang menjadi pahlawan untuk negaranya dalam orde yang berbeda. Namun dengan nama yang sama, tekat yang sama, kemauan yang sama.
Sudirman yang belajar dari sebuah mimpi, mengarungi kejamnya dunia fana’ ini dengan keteguhan jiwa dan menjaga hati nuraninya. “mungkin ibu saya dengan bangga melihat saya di atas sana. Mata yang bening dan penuh pengharapan yang kini telah saya wujudkan sebagai rasa bakti saya kepada ibu saya yang kini telah tiada. Dan ayah saya, mungkin ayah saya akan melihat takjub kepada saya karena saya lebih tangguh mengarungi bahtera kehidupan dibanding dirinya, dan bahkan dia bukanlah halangan bagi saya untuk menjadi seorang Sudirman, seorang pahlawan. Dan seorang Guru serta kawan saya dalam mengarungi kehidupan, mungkin beliau tidak menyesal atas perlakuanya yang sangat baik kepada saya” ucapnya di akhir pidatonya yang disaksikan hampir seluruh masyarakat indonesia. Disaksikan para pencemoohnya, penghalang kehidupanya dengan mata terbelalak di depan layar kaca mungil mereka.
jadilah mereka saksi keberhasilan seorang anak manusia yang telah dirundung malang sejak kecil, yang membuktikan pada siapa saja bahwa kemalangan bukanlah sebuah alasan untuk kegagalan.
Cerpen Karangan: Ravin25 Facebook: Ravina isnar