Semerbak aroma khas kopi mulai tercium harum mengawali semangat di pagi hari. Matahari mulai membumbung tinggi, menembus celah-celah ruangan yang mulai terkontaminasi akibat radiasinya. Aku terperanjat dari tempat tidurku sambil menekuk tulang punggungku agar tidak kaku.
Aku meninggalkan ruangan kecil ini. Membuka pintu. Mataku menyorot ke arah tanggalan “2 juni 2012”. Aku bergegas membersihkan diri cepat-cepat berangkat ke sekolah.
Pagi ini adalah moment yang paling berkesan. Acara yang paling ditunggu seantero jagat. Pejuang nilai sejati tak akan pernah lupa akan hari ini. Pengumuman nilai ujian nasional SMP. Aku berangkat ke sekolah bersama dua sahabat karibku. Menitih sepeda sejauh 12 kilometer. Lain halnya dengan murid yang lain menyambutnya penuh suka cita. Wajah kami pucat murung, terlihat gusar. Seolah tak punya semangat akan adanya hari ini.
Setelah terengah-engah hampir setengah jam lamanya, kami tiba di pelataran ranah sekolah favorit ini. Kami disambut riangan wajah murid yang sangat antusias menunggu pengumuman. Terlihat jelas mereka lagi asyik menunggu seolah tak sabar. Mata mereka kini mulai menyorot ke arah kami. Seolah berkata, “Bocah Telatan!”. Ini biasanya para laki-laki. Ada juga yang melihat sambil tersenyum seolah berkata, “Itu dia bocahnya, si pahlawan kesiangan”. Ini biasanya para bidadari-bidadari.
“Kita menunggu di sini saja”, ucap temanku Galih. “Mengapa gak sama teman-teman?” Jawab temanku satunya Iwan. “Mereka sudah diterima di SMA favorit di kota! Jika mereka mau tanya kita melanjutkan di mana? Kau mau jawab apa?”, Bantah Galih dengan lantang. Aku terdiam tak bisa berkata apa-apa. Kami sadar dengan kondisi kami saat ini. Tanpa adanya bantuan siswa miskin, sudah lama kami terdepak dari sekolah. Kami adalah tiga sahabat karib. Mereka tak lebih beruntung dariku. Krisis ekonomi, kekurangan materi. Mengakibatkan kita terancam tidak bisa melanjutkan sekolah SMA. Nasib kami di ujung tanduk. “Masih beruntung kami bisa sekolah. Terlebih lagi sekolah favorit” gumam batinku seolah benar apa yang dikatakan Galih.
Kami bertiga adalah murid terpandai di kelas kami masing-masing. Nama kami dikenal apik oleh teman-teman SMP ini bahkan sampai Kepala Sekolah. Meskipun demikian, kami bertiga juga dikenal sebagai murid yang datang paling terakhir. Wajar. 12 kilometer jarak yang harus ditempuh. Melalui jalan makadam. Itu pun kalau tidak ada hambatan di jalan, sampai di sekolah paling pagi jam 7 kurang 10 menit.
Papan pengumuman mulai terpampang. Berbondong-bondong murid berlari memenuhi papan itu. Kulihat wajah senang dari murid yang telah melihat papan ajaib itu. Di belahan bumi lain, isak tangis lambat laun mulai terdengar. Dengan wajah gamang kami berjalan melihat papan pengumuman itu. Lamat-lamat kusisiri nama itu satu persatu. Tiga nama peraih nilai tertinggi. Yaitu kami.
“Selamat zi, kalian hebat!” Tutur ucapan selamat dari temanku sekelas. 1. Fahrozi Anwar An-nawawi (38.95) 2. Widyar Galih Saputra (38.00) 3. Ridwan Maulana (37.95)
Sekolah kami dikenal bagus sebagai sekolah favorit. Tak cuma itu, dulu kami adalah bocah yang penuh dengan impian. Memori itu teringat jelas di kepalaku.
“Namaku Fahrozi, kalau nanti aku besar aku pengen jadi Guru” Ucapku saat pertama kenalan. “Bagus sekali nak, selanjutnya adalah Iwan” Jawab guruku kelas 1 sd waktu itu. “Ridwan Maulana, pengen jadi polisi” ujar Iwan. “Widyal Galih Saputra, cita-cita pengen jadi Doktel bu” jawab galih yang waktu itu masih cadel.
Waktu berjalan dengan sangat cepat. Kami masih mensiasati mimpi itu. Saat kami masih kelas lima. Kami sangat sering belajar bersama hingga sampai menjadi sahabat sedekat ini. Kami saling mengisi satu sama lain. Saking kepinginnya akan mimpi itu. Kami nekat bersekolah di SMP favorit ini. Meskipun orangtua ikhlasnya cuma setengah hati, tapi demi anak-anaknya. Mereka rela membanting tulang dua kali lipat. Atau bahkan lebih.
Mimpi itu pun lambat laun mulai tergerus ombak kehidupan. Kami tak sanggup melawan arus. Di titik puncak inilah akhirnya. Di titik inilah kami patah semangat. Meskipun tawaran dari berbagai SMA berbasis Beasiswa tak lantang aku nekat melawan arus untuk kedua kalinya.
Desa kami jauh dari sekolah. Beruntung di penghujung akhir masa SMP ini aku mendapat tawaran dari sekolah yang baru selesai jadi. Di desaku sendiri. Sekolah Menengah Kejuruan. Bukan main. Embel-embelnya sudah Negeri. Dengan iming-iming yang sama pula. Dengan tawaran yang sangat menggiurkan pula yaitu “lulus langsung kerja”. Akhirnya kami menjadi murid angkatan pertama SMK NEGERI itu.
Tak pelak jika orangtua langsung merekomendasikan kami di sana. Di sisi lain karena sering mepetnya kebutuhan materi. Setiap pulang sekolah kami bertiga bahu-membahu mencari rupiah untuk membantu perekonomian. Setelah beberapa bulan sekolah di SMK NEGERI ini.
“Rozi, bukankah itu teman sekelasmu waktu SMP?” Tanya Galih. “Bisa mati kutu! Lewati rumah ini kita masuk gang lih”. Jawabku dengan nada malu.
Sudah hampir setahun aku sepulang sekolah menggeluti profesi ini. Sebagai pengamen jalanan. Hinggap kesana kemari. Melantunkan alunan petikan senar dari rumah ke rumah. Mengumpulkan pecahan koin. Sungguh tak masuk akal jika harus dinalar berjuang sejauh ini di era serba super modern seperti sekarang.
“Gelandangan! Gak ada receh! Pergi sana”. Gertak salah satu penghuni rumah mewah saat kami mulai memetikan alunan senar gitar. Gertakan semacam itu kerap sekali aku dengar. Lambat laun aku mengeluh-eluhkan kegiatan ini. Aku sadar memang ini adalah kegiatan yang sangat mendorong perekonomian sekaligus tak menyita waktu sekolah kami.
Di penghujung jalan, pohon rindang tempat kami berteduh saat ini aku menanyakan kepada mereka. “Apa kalian sudah lupa mimpi itu? Mimpi yang sering kalian sebutkan saat kita belajar bersama?” Tanyaku kepada kedua sahabat karibku. “Tapi ini juga untuk kebaikan ki…” Jawab Galih. “Kebaikan kita apa? Menjadi pengamen? Ini memang profesi yang mudah untuk membantu perekonomian kita! Apa kau mau seterusnya menjadi pengamen? Tabiatmu dulu ke mana!? Haaaa!?” Sambarku kepada Galih. Saat itu aku mulai meyakinkan temanku bahwa itu adalah bukan mimpi yang kita harapkan. Ambisiku sekarang menciut berada di tingkat pertama teori hierarki maslow. Dimana dasarnya adalah materi dan materi.
Kepalaku pusing. Benar-benar pusing dihujani kenangan. Menyaksikan bocah yang dulunya berambisi yang selalu mengisi puncak tahta tertinggi di dunia akademisi kini lambat laun bermetamorfosis seratus delapan puluh derjat. Sungguh sangat mengenaskan.
Esok harinya mereka mulai sadar. Teori yang kukhotbahkan itu merasuk ke dalam lubuk hati mereka. “Mau apa kalian? Ngajak ngamen? Aku sudah tidak mau!”. Tegasku kepada mereka. “Hehehe. Sabar fahrozi. Tenang”. Jawab Galih “Ikutlah dengan kami. Kami janji! Jalanan itu bukan lagi tempat kita”. Terang Iwan.
Aku ikut mereka berdua. Mengejutkan. Hal ini sangat tak terpikirkan olehku. Dua bocah itu tak hanya pintar. Mereka kreatif. Diam diam Iwan mengumpulkan uang recehnya untuk keadaan seperti sekarang. Dia lebih mahir dari perkiraanku. Uang hasil ngamenya itu tak serta merta dibuat untuk menyambung hidup keluarganya. Dia menyisihkan uang itu untuk diberikan kepada salah seorang tetangga kami yang ekonominya tak lebih baik dari keluarga kami. “Kuenya sudah jadi bu?” Tanya iwan kepada ibu itu. “Sudah nak. Tinggal dijual”. Jawab Bu Rosmini. Pengamen cerdik. Sungguh cerdik. Dia memberikan uang receh itu untuk modal salah seorang tetangga kami. Profesi kami akhirnya meningkat satu derajat. Sebagai penjual kue.
3 tahun berlalu sudah. Aku lulus dari SMK NEGERI itu. Bahkan kami telah diterima di salah satu perusahaan bonafit. Iwan dan Galih diterima bekerja sebagai operator PT. Astra Daihatsu Motor. Salah satu perusahaan gaji terbesar. Lalu aku? Tak serta merta aku meninggalkan impian yang telah lama itu. Kepala Sekolah yang mengerti tentang bakat dan kemampuanku menyuruhku untuk melanjutkan jenjang ke pendidikan yang lebih tinggi. Berada di Fakultas Teknik. Tepatnya Jurusan Teknik Industri. Tak main-main embel-embelnya Universitas sudah Negeri. Bermodal nekat serta niat. Tentunya juga beasiswa bidikmisi. Aku berangkat. Menitik impian sejengkal demi sejengkal di kota jawa tengah. The Spirit of Java.
Ketika seorang mempunyai mimpi, disitu pasti ada suatu proses usaha yang diperjuangkan. Tak pernah mundur akan semua aral rintangan yang menghalangi, tak pernah menyerah akan kegagalan yang menghampiri. Dia tak pernah tau apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, karena setiap hidup seseorang pasti mempunyai kejutan yang berbeda. Mereka mengerti apa yang harus mereka jalani, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan karena hidup adalah sebuah perjuangan. Perjalanan hidup yang harus dipertahankan. Manisnya hidup kita yang tentukan.
Cerpen Karangan: Faiz Arteta Blog / Facebook: arikurniaf.blogspot.com / Muhammad Nur Faiz