Mentari mulai kembali ke peraduannya. Digantikan oleh sang rembulan yang meski tak secerah mentari, tetapi tetap menawan dan memperindah mataku ketika melihatnya. Aku dan temanku Arif pergi ke masjid untuk sholat magrib berjamaah. Seusai sholat kami duduk di masjid sambil bercerita untuk menunggu waktu sholat isya. Aku melihat Abdur termenung di depan mimbar mesjid mungkin ada yang ia pikirkan pikirku di dalam hati. Arif adalah seorang temanku yang satu universitas denganku tapi dia beda jurusan dia berasal dari Kupang NTT, nama aslinya sebenarnya adalah Arifin Jones dan katanya di kampung ia dipanggil dengan Jones, tapi menurutku dia lebih cocok dipanggil Arif saja.
“Hey apa yang kamu pikirkan a..?” ujarku “oh tidak.., aku Cuma mengenang kejadian yang waktu itu terjadi di Kupang” “kejadian apa?” “waktu itu di pulau Flores, gunung berapi Rokatenda meletus, dia meletus dari oktober 2012 sampai desember 2013, 14 bulan. Itu bahkan dari awal dia meletus sampai dia ulang tahun yang pertama begitu tidak ada kado yang datang, tidak ada” “wajar abdur waktu gunung berapi Rokatenda meletus pada waktu itu tertutup oleh berita banjir Jakarta, wajar kalau pemerintah tidak tahu, bahkan banjir Jakarta itu menjadi bencana nasional, karena merugikan negara 20 triliun” “iya 20 triliun, sedangkan bencana alam yang melanda daerah kami Cuma merugikan negara seribu rupiahkah. 2 buah koin 500 untuk tutup telinga” “begitulah pemerintah kita mereka tidak bisa mau melihat apalagi memperhatikan daerah kami, kalian enak punya listrik, makan enak, tidur nyaman, beda dengan kami di timur sana, listrik tidak ada, kami duduk masih beralaskan tanah makan seadanya, itu bahkan pemerintah itu bicara “hey kalian orang timur kalian sabar saja saja nanti kami bangun kursi di situ, kami kasih listrik, kami kasih kalian makan enak” tapi sampai masa jabatan mereka habis tidak ada dari mereka yang datang”
Mendengar ucapan Arif aku hanya diam, sambil berpikir ada apa dengan negeri ini sampai-sampai orang timur menganggap mereka bukanlah warga negara Indonesia. Apa benar kita ini merdeka, apakah kita ini sama saja seperti Palestina tapi dengan jalur yang berbeda, 71 tahun kita merdeka tiap tahun kibarkan bendera tapi kenapa masih banyak yang menderita! Katanya fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara tapi nyatanya mereka di kolong jembatan meminta-minta, selatan ke utara timur ke tenggara dari pangkal pulau Sumatra hingga ujung pulau Papua kita semua bersaudara disatukan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, tapi kenapa kita seperti di Palestina, tapi kalau memang kita merdeka, kenapa akses pendidikan dan kesehatan masih sulit seperti dijalur Gaza. Kita ini berdiri di atas kaki dua tapi tidak mampu tegakkan kepala kita punya banyak sumber daya tetapi terpumpung di bawah negara adidaya.
Tak kusangka waktu telah menunjukkan pukul 19:05 WIB, 10 menit lagi adzan isya Arif membangunkanku dari lamunanku untuk pergi mengambil air wudhu. Setelah sholat isya aku langsung pulang ke rumah, karena masih ada tugas kuliah yang belum aku kerjakan, sewaktu aku berbaring di tempat tidur aku masih teringat dengan perbincanganku dengan Arif tadi hingga sampai membuatku tertidur.
Keesokan harinya. Sewaktu aku dikampus aku dikejutkan dengan suara orang memangil-manggil namaku dipanggil “Rozy” dan aku menolah ke belakang ternyata Arif “Hey sudah makan kah?” Tanya Arif “belum!” “ohh belum! Kalu gitu pergi mari pergi makan?” “ayolah!!”
Setibanya di kantin kami melihat seorang perempuan namanya Fira, dia sudah lama disukai Arif, tetapi Arif tidak mau mengatakan isi hatinya pada Fira. “Arif, kamu tahu tidak kenapa sekarang tidak ada perempuan yang namanya Bunga, Mawar, Melati, tahu tidak?” “yah jelaslah tidak ada itu kan nama tumbuhan!” “Hey aku serius!” “Oke oke, mungkin terlalu kampungan mungkin!!” “salah lu Rif, sebenarnya itu karena perempuan-perempuan sekarang cantik karena make up, bedak tebal-tebal tidak ada dari mereka yang cantiknya alami seperti indahnya Mawar, Melati, itu tidak ada!” “keren bro, keren-keren, hey tahu nggak bukan hanya itu, orang juga sering melihat seseorang dari luarnya saja, bahkan mereka membuat anggapan “Dont judge a book by its cover” tapi kita ini manusia stop tipu-tipu” “iya kan, kita semua menilai seseorang dari luarnya saja, bahkan bukan hanya itu ada juga orang menganggap diri mereka sempurna, dan mengangap pasangan mereka tidak layak untuknya” ujar Arif padaku “pada dasarnya manusia ini tidak ada yang sempurna, yang sempurna itu hanya Tuhan, dan lu tahu kenapa tuhan menciptakan kita berpasang-pasangan, itu sebab setiap orang punya kelebihan dan kekurangan, jadi pasangan yang satu bisa menutupi kekurangan pasangannya begitu juga sebaliknya” jawabku
“Hey kawan, menurutmu cinta itu seperti apa?” tanya Arif “Sebenarnya gua juga tidak mengerti akan halnya cinta, tapi menurut gua cinta itu nggak perlu yang mahal karena yang mahal itu semakin di depan” “hey aku serius?” Tanya Arif lagi “Nggak bro..!! cinta itu bukan dilihat dari seberapa lu menyayangi pasangan lu men, tapi menurut gua cinta itu seberapa besar lu bisa menerima pasangan lu apa adanya, sebab cinta yang paling besar itu cinta Allah Kepada hambanya, cinta yang paling… adalah Nabi kepada umatnya dan cinta yang paling tulus itu cinta orangtua kepada anaknya!! Sedangkan cinta yang mudah pergi adalah cinta anak SMA!!” “Iya… iya, sudah kayak orang bijak aja lu!” “Terus menurut lu cinta sejati itu ada nggak?” Arif kembali bertanya padaku. “yang namanya cinta sejati itu nggak ada bro.., itu hanya ada di cerita dongeng saja! Pasti di antara pasangan akan pergi duluan bro…! Tapi kalau lu mencintai seseorang, kamu harus seperti anak kecil apa adanya, gak usah banyak mikir, cari alasan, cuku sesimple “aku sayang dia! ” “weeehh…, keren bro, nggak salah lu jadi wakil gue.!!” “wakil apaan ni?” “wakil untuk membuat Indonesia ini tertib, bebas korupsi dan yang paling penting Zi.. bebas banjir!!” “bebas banjir..!! hey udah siap makan kan, gua balik ke kelas duluan ya..!!” aku pergi menuju kelas. “Rozy…!!” “hey jangan lupa nanti jam 4 sore kita ngumpul tempat biasa..” Arif berteriak kepadaku. “sip..!!”
Setelah jam kuliah selesai aku langsung pulang ke kosan, bersiap-siap untuk pergi menuju tempa tongkrongan teman-temanku! Sesampainya di sana aku menyapa mereka. “Hey bro.. apa kabar!! sehat-sehat..?” tanyaku. “sehatlah bro!!” jawab. “sory bro. Gua telat!” “Gak apa-apa, inilah Jakarta. Di mana kita bisa melihat polusi di mana-mana, macet, banjir tangisan mereka yang menderita. Berbeda dengan kampung kita bro!” “gua jadi ingat kampung gua bro..!!” kataku. “emang ada apa di kampung lu bro?” tanya Nanda padaku “iya di kampungku itu nyaman udara bersih, air jernih beda dengan di Jakarta. Polusi di mana-mana air pantai saja hitam” “iya mungkin mereka kasihan lihat saya main di lampu merah! Tapi jujur saya menangis lihat mereka bisa mandi di air seperti itu” ujar Arif dengan muka agak sedih. “hey bro lu tengok di depan?” “miris sekali, beginilah negeri kita, yang kaya semakin kaya. Yang susah semakin susah!”
Di depan kami nongkrong kami melihat sebuah pemandangan yang miris sekali. Saya melihat ada keluarga pemulung ayah dan ibunya berteduh di bawah pohon di depan apartemen mewah sekali, dan 2 orang anaknya tidur di dalam gerobak berisikan kardus-kardus, adiknya tidur nyeyak dan kakaknya kipas-kipas adiknya, setelah itu saya sadar mungkin ini adalah bentuk sejati cinta di dalam kesulitan.
Hari menunjukan semakin sore. Dan kami akhirnya pulang ke kosan masing-masing. “lain kali kita ngumpul-ngumpul lagi ya?” Ujar Nanda “ok. Hati-hati” kami saling mengikati
Aku pergi pulang ke kosan sambil menaiki motorku, tapi sewaktu perjalanan aku melihat segerombolan anak bermain bola di lapangan diwaktu sore hari. Dari kejauhan aku melihat mereka dan tidak kusangka mereka semua hebat-hebat dalam bermain bola, aku pun menghampiri mereka dan bertanya “kalian besar mau jadi apa” dari jawaban mereka semua tidak ada satu pun yang ingin jadi pemain bola mereka semua ada yang ingin jadi presiden, menteri dan lain-lain. Tapi ada seorang anak yang namanya Uri aku bertanya padanya “Hey Uri kamu besar mau jadi apa?” “Aduh kakak, saya tidak mau mulut-mulut seperti teman yang lain! Biar saya jadi petani seperti ayah saja.” Mendengar ucapan itu aku langsung merenung. Sekejam apa negeri ini sampai anak sekecil ini saja tidak berani untuk bermimpi. “hey Uri. Meskipun kau preman tapi cita-citamu harus tinggi” “iya kakak. Kalu begitu aku jadi penulis saja” sambil tersenyum “itu bagus kamu harus rajin-rajin belajar. Dan yang lain juga kalau mau jadi orang sukses kita nggak harus pintar cukup dengan kerja keras dan doa, agar kita bisa sukses” “tapi untuk apa belajar tinggi-tinggi! Kalau kita tidak diperhatikan negara. Buat apa?” ujar seorang anak padaku “sebenarnya bukan pemerintah semuanya yang salah, tapi kita semua ikut salah! Karena kita Cuma bergantung pada pemerintah dan ketika mereka tidak bisa menyelesaikan masalah kita menganggap mereka gagal!” kata putra pada temanya Mendengar ucapan anak sekecil ini yang tersenyum, ternyata ada anak yang pemikirinnya bisa sehebat ini. Saya merenung dan sadar akan percaya dan cinta terhadap tanah air dan jangan hanya bisa mengkritik.
Dan kupikir-pikir Indonesia itu tidak jelek meskipun nggak sesempurna yang diceritakan di dalam buku pelajaran, masalah kita mungkin satu, kita itu tidak mau turun tangan untuk menyelesaikan masalah di Indonesia, pemerintah saja yang kita suruh karena kita pikir itu pekerjaan mereka. Selama ini kita salah itu semua juga pekerjaan kita, karena kita tinggal di negera yang sama.
Sekarang saya tahu! dan semakin banyak yang saya lihat dari Indonesia, saya semakin sayang dan semakin mengerti dengan Indonesia. Indonesia itu memang tidak sempurna, tapi Indonesia itu layak diperjuangkan, kita tidak tahu kedepan kita akan jadi seperti apa, tapi mari kita yang membangun negeri ini kita yang membuat Indonesia mandiri pakai tangan kita sendiri, kita yang memakmurkan negeri “TERIMA KASIH INDONESIA”
Cerpen Karangan: Vikri Rozy Facebook: Vikri Rozy