Suatu hari seekor kelinci sedang duduk di bawah pohon rindang. Di stepa yang indah itu ia hanya memandang langit mendung yang sangat luas. Beberapa saat ia melihat koloni burung terbang melintas, bermigrasi. Kemudian sesuatu terpikir olehnya, dalam sekejap.
“Aku tidak mau jadi hewan, apapun itu wujudnya,” batin kelinci. Dia bosan dengan kehidupannya, yang hanya mementingkan teritori dan sumber makanan yang didapatkan tiap musim silih berganti.
Beberapa hektar jauhnya dari tempatnya sekarang, ia bisa melihat taman penuh beranekaragam bunga yang bermekaran di dataran rendah. Pandangannya beralih pada bunga yang melilit pohon dan ranting-rantingnya. Ia tersenyum melihat bunga itu, tak perlu khawatir tak dapat tempat. Karena setiap makhluk hidup sukarela bersama mereka.
“Jika dilahirkan kembali, aku ingin jadi bunga ini, Morning Glory…”
Tanpa pikir panjang ia memetik bunga berbentuk terompet berwarna ungu yang anggun itu dan alangkah kagetnya ia.
“Astaga, bunga ini memang sangat lembut dan manis! Tapi mudah layu. Aku tidak ingin menjadi orang yang cepat putus asa.”
Si Kelinci tidak puas. Ia pun pergi menjelajah alam stepa yang luas terbentang di hadapannya. Sesekali ia memetik bunga, kemudian melihat mahkota yang rontok dan layu. Betapa mengenaskannya hidup bunga-bunga ini! Padahal mereka tinggal di tempat yang indah.
Hari berganti minggu dan bulan berganti musim. Sampai di kaki gunung, kelinci lanjut perjalanan. Ia menemukan seikat bunga yang sangat menarik perhatian. Sontak membuatnya kagum dan terpesona.
“Edelweiss…” desisnya. Bunga langka yang hidup di lingkungan ekstrem. Warna putih saljunya yang khas menciptakan kesan mendalam. Suci, bersih, putih, dan… abadi.
“Tapi aku takut,” pikir kelinci kalut. “Abadi, dan melakukan penantian panjang sampai ada yang menemukan. Syukur kalau ada yang berani pergi sejauh ini hanya untuk mencari Edelweiss, kalau tidak? Kasihan, ia harus menunggu selamanya.”
Di puncak gunung, kelinci menarik nafas dalam-dalam. Ia berbaring sambil mengap-mengap, kesulitan untuk menghirup kadar oksigen yang sedikit. Akhirnya, inilah akhir perjalanannya, tanpa arah, tiada tempat untuk bersama koloninya yang hanya mementingkan tahta dan teritori.
“Matilah aku di sini… dan semoga aku dapat lahir menjadi…”
Tiba-tiba suatu benda melayang terbang ringan mengikuti arah angin. Kerlap-kerlip cahayanya di antara langit mendung dan kristal es yang berjatuhan. Benda itu bertebaran, putih mengilap, menghias suasana malam yang suram tanpa bintang.
Sekejap, di tarikan nafas terakhirnya, sang kelinci membatin.
“Menjadi… Dandelion…”
—
Di suatu tempat yang jauh sekali, masih dari stepa yang indah, ada komunitas dari berbagai bunga yang indah. Di antaranya adalah dandelion, yang selalu memberikan senyuman dan kisah-kisah menariknya ketika terbang melintasi malam. Ketika ia melihat seekor kelinci meninggal di puncak gunung di musim bersalju. Salah satu kerabat Dandelion datang ke sana dan mengabarkan itu pada seluruh populasi kelinci.
Sehingga tempat itu disulap menjadi kuburan terindah dan terharum oleh bunga-bunga yang cantik.
Ya… itu cerita hidupku sebelumnya, batin si Dandelion di tengah kerumunan bunga. Sekarang, aku tahu pilihanku sebagai Dandelion tidak salah, karena aku dapat memberikan kehangatan kepada siapa saja, dan menyebarkan semangat perjuanganku melewati hidupku.
Tuhan menciptakanku dengan takdir yang telah ditentukan. Kau bebas memilih garis manapun asalkan menempuh tujuan takdirmu dari-Nya.
Cerpen Karangan: Lunariel