Langit abu berangsur-angur menjadi gelap. Gemuruh guntur sayup-sayup terdengar berbarengan dengan gema adzan isya. Rintik hujan mulai jatuh membasahi atap amben bambu. Nampak kekecewaan timbul pada wajah pengunjung warung tersebut dikarenakan mereka lupa membawa payung. Beberapa nampak masih menikmati masakan sederhana berupa nasi dengan lauk ayam, telur dadar, tahu, ikan asin serta paduan sambal yang menjadi incaran pengunjung tetap. Pengunjung yang sudah selesai makan nampak mulai menyalakan rok*k untuk menikmati cuaca yang semakin dingin mengigit.
Seekor Kucing nampak baru terbangun dari tidurnya. Ia melirik ke arah meja dan perlahan bangkit berjalan mendekatinya. Gadis yang duduk di meja tersebut menoleh dan merasa tergoda untuk membelai kepala si Kucing. “Meong!” seru si Kucing, menghindar. Sekejap kucing tersebut melompat ke meja dan memandangi piring di meja dengan tatapan mengiba. “Astagfirullah! Agresif banget ini kucing hamil,” teriak gadis tersebut karena terkejut melihat kelakuan Kucing yang ternyata sedang hamil tua, “Meong!” balasnya singkat sambil tetap melemparkan tatapan iba dan manja.
Dari tiang bambu di samping meja tersebut, sebuah Topeng berwajah garang nampak mengamati kejadian tersebut. Setiap kerutan di wajahnya nampak menyayangkan sikap si Kucing yang telah berperilaku sembrono. “Nih ambil!” seru si gadis sambil melempar sisa tulang ayam supaya si Kucing mau menjauh. Dengan riang si Kucing melompat menuruni meja, berlari ke arah tiang bambu untuk mengejar tulang ayam tersebut. Tulang ayam tersebut digerogoti Kucing dengan nikmat. Topeng hanya bisa mendelik dari atas tiang mengamati perilaku Kucing tersebut. Dengan suara parau, sang Topeng mulai menegur si Kucing, “Lahap benar kau makannya,” serunya singkat. “Iya. Habis tidur jadinya laper banget,” jawab Kucing singkat tanpa memalingkan kepala.
Hanya dalam waktu beberapa saat tulang ayam tersebut sudah tinggal setengah karena digerogoti oleh Kucing. Ia menjilati sisa-sisa bumbu di tangannya sebagai tanda sudah kenyang. “Sopan benar kau caranya,” lanjut Topeng, menyinyir tajam, “He?” kali ini Kucing memalingkan kepala dengan malas, “Iya, sopan benar cara kau meminta makan,” ulang Topeng dengan suara parau. Kucing memandangi wajah Topeng sejenak. Lalu memalingkan kepala lagi untuk melanjutkan menjilati tangannya. “Urus dulu itu wajahmu yang seram,” ucap Kucing tak ingin kalah nyinyir.
Mendengar hal itu, Topeng langsung mendelik ke arah cermin penolak bala pada dinding di seberang tiang gantungan dirinya. Dari cermin tersebut nampak bayangan wajahnya yang penuh dengan guratan keriput di dahi, dipadukan alis yang naik secara tajam, serta mulut yang menyeringai. Melihat wajahnya yang mematikan, ia menjadi bergidik ngeri. Sekali lagi sang Topeng merasa dirinya adalah sebuah kesalahan karya yang tujuan penciptaannya tidak menguntungkan baginya ataupun benda lain. Sekonyong-konyong sang Topeng berusaha keras menurunkan alisnya untuk memperlunak guratan keriput di dahi, mengubah seringai mulutnya menjadi senyuman, dan sekali lagi semua usahanya berakhir sia-sia. Ekspresi wajahnya tak berubah. Ia hanyalah sebuah Topeng kayu, sebuah benda mati yang dipahat untuk dijadikan hiasan di warung makan.
“Andai saja saya bisa seperti kau. Menjadi benda yang dapat bebas berekspresi, berbuat, dan berkesempatan memaknai hidup,” seru Topeng dengan nada iri.
Kucing yang sedang meregangkan otot untuk hendak melanjutkan tidurnya sekali lagi menoleh ke arah Topeng. Kali ini ia melayangkan tatapan biasanya yang penuh iba. Selintas ia menjadi semakin yakin bahwa dunia ini memang tidak adil. Mungkin hal ini sesederhana disebabkan oleh pencipta mereka yang berbeda. Ia tau bahwa hidupnya memang jauh lebih enak daripada sebuah benda mati. Ia dapat tidur-tiduran di manapun dan kapanpun ia mau, makan kenyang dari piring-piring sisa, atau mengemis kasih sayang baik ke manusia ataupun ke kucing pejantan di tempatnya. Selintas ia berusaha menimbang apakah dirinya sudah bijak dalam memanfaatkan kebebasannya. Namun entah, dinginnya malam membuat ia malas untuk berpikir. Perlahan-lahan ia mematikan akalnya. Cuaca seperti ini memang enaknya untuk tidur, batinnya.
“Ya, andaikan saja,” balas singkat si Kucing hamil dengan malas.
Cerpen Karangan: Aggy Agatha Facebook: @aggeeyy