Hampa, langit cerah tanpa awan. Kutatap langit, ingin kucurahkan segala perasaan ini. Air mata telah mengering, tapi hati ini masih menangis. Hancur diriku ini, hancur bersatu dengan tanah…
Yang pertama kurasa adalah sinar matahari yang membangunkanku. Di mana ibu? Itu pertanyaan yang terbersit dalam pikiranku. Kuseret badanku untuk berjalan, aku harus hidup.
Mungkin ini terlalu awal untuk berhenti, tapi aku telah lelah. Ayolah kau baru saja datang, kenapa kau ingin kembali begitu cepat? Batinku. Kulanjutkan langkahku, tapi tak lama aku berhenti lagi. Aku telah mencapai titik tertinggi, pertolongan pasti datang.
Aku mencium aroma manusia yang mendekatiku. Seorang anak kecil datang meraihku. Aku telah berpikir bahwa ini akhir duniaku, namun gadis ini membawaku dan meletakkanku di sebuah tempat yang nyaman. Tak hanya itu, ia juga memberikan makanan kering untukku.
Ia tersenyum padaku. “Tenanglah merpati kecil, aku akan merawatmu.” Katanya sambil mengelus buluku. Detik itu, aku merasa bahagia. Aku memiliki harapan dan kehidupan yang baru. “Sekarang, aku akan memberi namamu Putih. Namamu Putih! Kau suka, kan?” Tanya gadis itu. Aku setuju, itu memang nama yang bagus. Nama yang sangat mendeskripsikanku.
Kondisiku mulai pulih, aku juga telah mampu terbang. Aku telah berjanji untuk mengabdi kepada ibu kecilku, gadis itu. Aku akan menjaganya, baik tidur maupun terjaga. Kawasan tempat kami tinggal memang tidak aman, banyak terjadi kerusuhan di wilayah perbatasan. Walau begitu, nyaliku tak akan ciut untuk menjaga ibuku.
Pagi begitu hangat, aku berjemur di atas tenda milik gadis cilik itu. Kubiarkan buluku terkena panas matahari, ini benar-benar menyenangkan.
“Putih! Putih!” Panggilan yang sangat kukenal, ibu kecilku memanggil. Aku segera menuju ke kebun kecil, di sana gadis itu tampak memerhatikan sesuatu. Aku bertengger di bahunya dan melihat hal yang menakjubkan.
Seekor burung merpati kecil yang terlihat begitu kuyu dan lemah. Ibuku mengelus buluku. “Aku menemukannya di dekat sini. Kita harus menolongnya, dia akan mati.” Ujarnya. Aku setuju, aku rela berbagi makanan dengannya, berbagi tempat tidur dengannya, bahkan aku rela berbagi kasih sayang gadis kecil ini dengannya. Dia diberi nama Salla dan menurutku itu nama yang baik walau itu tidak begitu bagus.
Musim transmigrasi akan dimulai, itu berarti aku harus meninggalkan ibu kecilku dan juga Salla. Aku merasa agak berat, seandainya aku bisa memilih aku ingin tinggal. Namun, Salla tak ingin aku kehilangan masa ini. “Pergilah, kak. Aku akan menjaga ibu dengan baik, kakak tak perlu khawatir.” Salla meyakinkanku. Aku masih ragu. “Aku tak ingin jauh dari kalian, bagiku kalian adalah segalanya.” Aku menatap Salla, ia memang baik namun aku lebih ingin di sini. “Kak, demi aku dan ibu, pergilah.” Kalimat itu membuat hatiku luluh. Aku akan pergi, walau rasanya begitu berat. Rombongan burung dari utara datang, aku berpamitan dengan semuanya dan terbang bersama rombongan itu.
Tak terasa, telah lama aku meninggalkan kampung halamanku. Untungnya, musim panas akan datang dan aku akan kembali. Rombongan burung pulang kembali. Kulihat ke bawah, di sana rumahku. Segera aku berpamitan dengan rombongan itu dan turun ke bawah. Aku mendaratkan kakiku ke tanah, mencari ibuku. Di seberang jalan, aku melihat sosok yang benar-benar kukenal. Dia, ibuku. Tak sengaja, ia menoleh dan pandangan kami bertemu.
“Putih.” Lirihnya. Air matanya menetes, ia tak pernah berubah wajahnya masih bisa kukenali. “Putih. Itu kau?” Katanya tak percaya. Ia berlari ke arahku dan aku segera terbang menujunya. “Putih! Aaah!” Suara jeritan itu serentak dengan sesuatu yang mencengkram sayapku dan menarikku pergi. Aku melihat siapa yang menahanku dan aku benar-benar terkejut. “Salla! Apa maksudmu?!” Jeritku marah, apa Salla telah benci padaku. Ia menarikku ke sebuah pohon. “Berterima kasihlah padaku!” Seru Salla kesal. Aku bingung, aku tak mengerti. “Untuk apa?” Salla menghela nafas. “Aku telah menyelamatkanmu. Kau tahu? Terjadi krisis pangan di sini. Setiap ada hewan terlihat oleh penduduk, mereka akan menangkapnya. Ibu memintaku bersembunyi di sini.” Cerita Salla panjang lebar. Aku menangis, aku benar-benar merindukannya.
Salla merasa tidak enak. “Ibu selalu menjenguk jika ada kesempatan.” Kata Salla menghiburku. Aku yakin, namun kenyataannya tidak. Gadis kecil itu tak menjenguk kami lagi dan Salla membuat keputusan: Kami harus pindah.
Kukepakkan sayapku dan terbang meninggalkan tempat itu. Aku tak bisa menangis, kutolehkan kepalaku dan melihat untuk terakhir kalinya. Aku datang dan aku telah pergi, aku merindukanmu.
Cerpen Karangan: Azizah Awliya Facebook: Syar mila