Mentari telah bangkit dari peraduannya. Lagi-lagi, satu hari sudah berlalu. Bagiku, satu hari itu terasa bagai satu tahun. Bagaimana tidak? Hidupku bagai dikurung dalam jeruji, senantiasa terkekang dan terbelenggu. Aku tahu betul, aku hanya makhluk hina. Terlalu hina hingga tak seorang pun mengasihiku. Dipukul, sudah biasa. Ditendang, apalagi. Dari pagi hingga pagi lagi, tak henti-hentinya aku menapakkan langkah kaki kesana-kemari. Meminta, mengais, apapun kulakukan demi memperoleh sekelumit sumber kehidupan yang biasa orang-orang sebut sebagai makanan.
“Kau lihat itu? Sungguh menjijikkan! Kupikir ia memang terlahir di tempat sampah!” Untuk kesekian kalinya, seseorang mengacungkan jari telunjuknya ke arahku, mencaci, dan memaki. “Aku muak memandang parasmu, Orthros.” Orthros, begitulah orang-orang biasa memanggilku. Tentu saja, sejatinya ini bukanlah namaku. Namun, apalah arti sebuah nama? Toh, mereka akan tetap memanggilku dengan sebutan itu.
“Ini dia, Orthros. Kau layak menerimanya.” Jordan, sepatu mahal garapan perusahaan Cina, terangkat dari kaki sang pemilik, mengenai kepalaku. Ya, aku ditendang. Bukan hanya sekali, namun lagi dan lagi. Bagiku, sudah tak asing lagi untuk disiksa seperti ini. Bahkan seringkali sebuah pikiran melintas di benakku, bahwa aku ingin disiksa hingga mati. Perlu kau ketahui, banyak dari mereka yang berkehendak mati bukan karena ingin mengakhiri hidupnya, tapi karena ingin mengakhiri penderitaannya.
“Berhenti!” Seorang lelaki perempat baya bertopi fedora menyerukan sebuah kata yang hampir tak pernah kudengar. Ini pertama kalinya ada seseorang yang meminta mereka untuk berhenti. “Biarkan saya membawanya.” Hm? Apa maksudnya? Membawa apa? Perlahan namun pasti, lelaki itu mendekatiku. Mengayun-ayunkan pergelangan tangannya, seolah-olah memberikan isyarat agar aku datang menghampirinya. “Sobat, mari kita pergi.” Kedua bibir pucatnya melengkung, membentuk sebuah kurva yang kau sebut senyuman. Mungkin ini akhir dari penderitaanku. Akhirnya seseorang yang selama ini hanya ada dalam mimpi telah datang.
“Ini dia, kita sudah sampai.” Kami lekas turun dari Volkswagen Caravelle, mobil van hitam yang membawa kami ke sebuah bangunan dengan arsitektur Italia yang memesona. Seiring dengan didorongnya daun pintu, terdengar begitu jelas sebuah deritan, seakan bilahan kayu itu menjerit. Kulangkahkan kaki ini untuk memasuki bangunan itu. Sungguh luar biasa, keindahan arsitektur Italia bukan hanya nampak dari luar saja, namun juga nampak dari dalam. Terdapat pula patung-patung klasik Eropa yang menghiasi setiap penjuru ruangan. Aku merasa takjub, teramat takjub hingga tak kusadari ternyata kedua rahangku telah ternganga. “Dalmazio.” Huh? “Namaku Dalmazio Giovanoni.” Ah, jadi bukan hanya rumahnya, namun namanya juga terdengar sangat Italia.
Kurang lebih sudah seperenam jam kami melangkah kesana-kemari. Seperenam jam? Ya, betul. Tak heran, tempat ini memiliki luas yang sepadan dengan luas setengah lapangan sepakbola. Terlebih lagi, terdapat tiga lantai di mana masing-masing memiliki balkon tersendiri. “Kuberi tahu satu hal.” Suara berat Dalmazio memecah kesunyian. “Ada kalanya di mana kita tak seharusnya berekspektasi terlalu tinggi.” Seiring dengan kata terakhir yang ia ucapkan, seringai kecil muncul di bibir tipisnya.
Dalmazio menghentikan langkahnya sesaat setelah memasuki ruang tengah yang terdapat di lantai pertama. Diusapnya patung mungil yang melekat di atas perapian. Ajaib namun nyata, dinding di balik perapian berputar sembilan puluh derajat, memberikan akses untuk masuk ke sebuah lorong misterius. “Ikuti aku.” Titahnya sembari mengedikkan kepalanya ke arah lorong tersebut.
Layaknya sebuah lorong rahasia yang berada di dalam kastil klasik Eropa, lorong yang satu ini terlihat tak kalah mencurigakan. Terdapat sejumlah obor yang melekat pada dinding sisi kanan maupun kiri, dimana tentunya obor satu dan lainnya mempunyai jarak yang teratur. Dari kejauhan, nampak sebuah pintu besi berwarna hitam. Sepertinya lorong ini didesain untuk menghubungkan ruangan utama dengan ruangan misterius yang berada di balik pintu itu.
Tepat satu langkah di depan pintu, Dalmazio berhenti menapakkan kedua kakinya. Ia memasukkan tangan kanannya ke dalam saku kiri jasnya. Dikeluarkanlah sebuah logam pembuka pintu, kunci. Ia ulurkan lengannya ke arah sebuah lubang yang ada di daun pintu, lalu ia pun mulai memasukkan kunci tersebut. Maka terbukalah pintu besi itu. “Masuk.” Aku hanya memandang Dalmazio dengan tatapan heran. “Aku tak akan mengucapkannya dua kali.” Raut wajah Dalmazio datar, tak ada lagi senyuman manis yang terlukis di bibirnya. Dan akhirnya, dengan pasrah aku menuruti titahnya. “Baik-baik di dalam sana.” Dan tentu saja, ia segera menutup pintu itu sekaligus menguncinya dari luar.
Setelah diperhatikan, ruangan ini benar-benar berantakan. Terdapat serpihan vas pecah yang ditelantarkan di penjuru ruangan. Terdapat pula jaring laba-laba yang senantiasa menghiasi ruangan ini. Namun begitu, kupikir suasana di dalam sini tidak begitu buruk. Sepi, damai, tak ada gangguan. Mungkin aku berpikir demikian karena selama ini aku hidup dalam cemooh dan penindasan.
Sudah empat hari lamanya aku mendekam di ruangan ini. Tanpa makanan, dan tentunya tanpa memandang indahnya matahari terbit di pagi hari. Aku merenung sejenak, apa sebenarnya yang sudah kulakukan hingga layak menerima perlakuan demikian? “Kuberi tahu satu hal.” Secercah kata yang pernah diucapkan Dalmazio melintas di benakku. “Ada kalanya di mana kita tak seharusnya berekspektasi terlalu tinggi.” Ah benar, itulah yang ia katakan kepadaku. Aku rasa sekarang aku paham. Dalmazio bukanlah seseorang yang berhati emas, dia hanyalah satu dari manusia-manusia berhati iblis yang berpura-pura menjadi seorang malaikat penyelamat. Namun apa salahku? Aku bahkan tidak pernah menggigit orang-orang. Boro-boro menggigit, mengeluarkan suara pun aku tidak pernah. Untuk berbagai alasan, aku memang sengaja tidak pernah mengeluarkan suaraku. Karena aku berpikir bahwa dikala tak ada sesuatu yang dapat diucapkan, diam itu emas. “Diam saja ditindas, apalagi tidak diam?” Pikirku.
Di tengah renunganku, tiba-tiba terdengar suara kunci yang tengah diputar di lubangnya. Perlahan namun pasti, pintu besi itu terbuka. “Bagus, rupanya kau masih hidup.” Orang itu akhirnya datang, namun tak terpikirkan bahwa ia akan mengenakan jas yang berbeda dari yang ia kenakan sebelumnya. Bukan jas hitam formal lagi, namun jas laboratium lengan panjang yang juga dilengkapi dengan masker. “Kau harus ikut denganku.” Dalmazio mendekatiku dan mengulurkan lengannya ke arahku. Merasa ada yang tidak beres, aku berusa memberontak sekuat tenaga. “Menurutlah!” Bentaknya yang kemudian mengeluarkan sebuah sapu tangan. Diarahkanlah sapu tangan itu ke wajahku. Apalah dayaku? Aku lapar, kehabisan tenaga, sehingga tak dapat mengelak lagi. “Tidak!” Elakku dalam hati. Obat bius, itulah yang sudah ia siapkan di sapu tangan ini. Pandanganku mulai mengabur, sedikit demi sedikit aku kehilangan kesadaranku.
Beberapa saat kemudian Perlahan kesadaranku mulai terkumpul, dengan berat kubuka kedua mata ini. Aku paham betul apa yang baru saja terjadi, aku dibius. Dan sekarang, tubuhku diikat di atas sebuah ranjang pasien. “Sudah sadar rupanya.” Suara familiar yang paling tidak ingin kudengar masuk ke kedua telingaku. Sungguh menyedihkan, akan lebih baik jika aku bisa melarikan diri dari sini. “Jangan berpikir untuk kabur. Aku tidak akan melepaskanmu.” Sudah kuduga, ia tak akan membiarkanku lari begitu saja. “Cih, aku tidak menyangka di dunia ini memang ada Orthros sungguhan. Oh, atau mungkin kusebut saja sebagai tiruan si Orthros?” Apa maksudnya berkata demikian? “Orthros, kau tidak tahu mengapa orang-orang memanggilmu dengan sebutan itu? Kupikir makhluk hina sepertimu tidak akan pernah tahu.” Untuk saat seperti ini aku tidak perlu tahu, yang penting lepaskan saja aku. “Lebih baik kau tahu alasannya sebelum kau tidak berada di dunia lagi.” Siapapun, tolong selamatkan aku! “Kau mengalami sebuah kelainan genetik. Dan Orthros sendiri merupakan sebutan untuk makhluk berkepala dua yang dibunuh oleh Herakles.” Kelainan genetik? Berkepala dua? “Sepertinya kau sudah paham. Dan di sini, aku akan berperan sebagai Herakles.” Kurasa inilah saat dimana riwayatku akan benar-benar berakhir. “Teramat aneh untuk hidup, namun teramat langka untuk mati. Setidaknya itu yang bisa kukatakan kepadamu. Namun seperti yang dapat kau saksikan sekarang, aku tak punya pilihan lain. Ucapkan selamat tinggal kepada dunia, Orthros.” Aku merasa ada sebuah benda tajam yang menusuk tubuhku. Ternyata benda itu adalah jarum suntik yang sudah diisi dengan kalium klorida dengan dosis tinggi. Dan naasnya, kalium klorida dengan dosis tertentu dapat menghentikan detak jantung.
Ajal sudah dekat. Perlahan mataku mulai menutup untuk selama-lamanya. Pada detik-detik terakhir, secara tidak sengaja aku melihat sebuah tulisan yang melekat di jas sang manusia berhati iblis. Tulisan tersebut adalah Altezza. Altezza merupakan nama sebuah organisasi yang kami, para anjing, paling takuti. Mereka menangkap makhluk terlantar seperti kami dan tak segan-segan untuk membunuh. Aku sendiri tak menyangka bahwa pada akhirnya riwayatku akan berakhir di tangan mereka. Setidaknya ini akan menjadi penderitaan terakhir yang kualami. Selamat tinggal, dunia.
Tamat
Cerpen Karangan: Prabawaning Sitoresmi Facebook: Praba