Di hutan yang sangat lebat, hiduplah para binatang. Mereka hidup dengan aman dan damai. Bahkan, hutan itu terkenal sebagai hutan yang paling tenteram di negeri binatang. Jarang sekali terjadi perselisihan. Binatang dari tempat lain pun ingin menetap di sana. Sayangnya hutan itu sangat kecil, sehingga binatang lain hanya dapat mengunjunginya saja. Tapi kebahagiaan tidak akan berjalan selamanya. Kebahagiaan itu terganggu ketika ada seekor jerapah yang bersikeras menetap di hutan lebat itu.
Pada suatu hari, Jerapah sedang berjalan menuju hutan itu. Ia ingin menetap di sana, bagaimanapun caranya. Sesampainya di sana, ia disambut dengan ramah oleh para penghuni hutan itu. Tapi mereka heran dengan Jerapah, yang membawa barang-barangnya. Setelah bersalaman dengan Jerapah, binatang lain pun pulang. Hanya Singa yang masih berdiri di sana.
“Wahai jerapah, apakah kau ingin berkunjung di hutan ini?” tanya Singa, si raja hutan. “Tentu saja,” jawab Jerapah singkat. “Apa yang kau bawa di punggungmu itu?” tanya Singa curiga. “Oh, ini barang-barangku,” “Berarti, kau ingin menetap di sini?” “Ya, pasti begitu,” “Tapi, hutan ini kecil. Kau hanya boleh berkunjung. Lihat saja, tanah lapang di hutan ini sangat sedikit. Maaf ya, kau tidak berhak tinggal di sini,” “Tapi, aku dari gurun. Kupikir ada tempat yang bagus untukku menetap,” “Dari gurun? Apa kau tersesat?” “Ya, aku selalu berjalan-jalan mencari tempat yang bagus. Aku tidak punya rumah,” “Oh, begitu ya. Baiklah, tapi maaf, kau hanya mendapat sedikit tempat. Itu pun kalau kau mau,” “Baiklah, apa pun akan aku lakukan supaya aku mendapatkan rumah,” “Tapi, ada syaratnya,” “Baiklah, aku akan mengikuti syaratmu,” “Kau harus membangun rumahmu sendiri dan berbuat baik kepada sesama binatang,” “Oke, aku berjanji!”
Setelah sepakat, mereka pun berpisah. Sang raja hutan kembali ke singgasananya. Sementara itu, Jerapah mulai membuat rumahnya dengan tekun. Seminggu kemudian, rumahnya sudah jadi. Semua binatang lain mengagumi hasilnya.
“Wah, rumahmu bagus sekali,” kata Kelinci. “Iya, benar,” kata beberapa yang lain. “Bahkan aku ingin punya rumah seperti ini,” kata Bebek. “Hahaha! Masa’ kalian tidak bisa membuat rumah yang bagus begini?” jawab Jerapah dengan angkuh. “Huh! Mentang-mentang rumahnya bagus, malah sombong begitu!” ledek Kelinci. “Yang penting aku lebih bagus daripada kalian semua,” jawab Jerapah sombong lagi. “Apa bagusnya menjadi jerapah?” tanya Gajah marah. “Aku tinggi dan kuat, bukan seperti kamu yang gemuk dan cebol!” kata Jerapah yang memperlihatkan tubuhnya. “Ah, tinggi saja tidak hebat,” kata Gajah lagi. “Aku juga tidak akan tenggelam di air, tidak mudah ditangkap pemburu, dan buluku indah,” kata Jerapah dengan lebih sombong. “Huh, sombong banget kamu!” keluh Bebek dan Ayam kesal. “Awas kau! Kulaporkan pada Singa, sang raja!” ancam Tikus. “Hah, dasar tikus kecil! Mudah diinjak!” ledek Jerapah. “Memang apa ruginya menjadi kecil?” Tikus bertanya. “Huh! Dasar kalian semua jelek! Begini saja dilaporkan! Dasar lemah!” Jerapah kembali menghina mereka. Tapi binatang lainnya tidak menghiraukannya. Mereka sudah pergi meningglkannya.
Ternyata, Jerapah terkejut juga saat diancam akan dilaporkan ke raja. Wah, gawat! Aku pasti akan diusir dari sini. Pikir Jerapah khawatir. Aku harus mencari cara agar aku tidak dihukum oleh raja. Pikirnya lagi. Tapi terlambat. Raja yang ditakutinya sudah berada di hadapannya dengan menyimpan amarahnya. Raja Singa memandanginya dengan tajam.
“Wahai jerapah sombong,” kata Singa dengan marah. “Ada… apa, yang… mulia?” jawab Jerapah mencoba tidak cemas, tapi ia gugup. “Aku sudah tau, kau telah menyombongkan dirimu,” jawab Raja Singa bijaksana. “Ah, apa gunanya kau menjadi raja, kalau kau pendek begitu,” Jerapah malah sombong. “Apa maksudmu?” “Raja, aku hanya ingin mengatakan, raja itu harus tinggi, seperti aku,” “Tidak! Kau tidak tinggi!” teriak sebuah suara. “Siapa itu? Menggangguku saja. Kau pasti tidak setinggi aku,” kata Jerapah marah, walaupun sebenarnya dia juga deg-degan. “Aku pohon beringin, di belakangmu,” jawab suara itu lagi, yang ternyata adalah pohon beringin. Tingginya jauh, jauh, jauh, lebih tinggi daripada jerapah. “Lho, kok kamu bisa bicara?” tanya Jerapah tak percaya. “Aku yang melakukannya,” jawab Singa. Seketika itu, pohonnya tidak berbicara lagi.
Jerapah pun mulai menyadari, ia tidak boleh sombong lagi. Masih banyak yang lebih baik daripada dia. “Maafkan aku, Singa. Kau memang bijaksana. Kau pantas menjadi raja,” kata Jerapah berpura-pura minta maaf. “Baiklah, tapi jangan pernah mengulanginya lagi,” jawab Singa dengan tulus.
Sejak itu, mereka bersahabat. Jerapah diangkat sebagai prajurit raja. Ia tidak sombong lagi. Tapi, ada satu pertanyaan lagi. Bagaimana Raja Singa membuat pohon bisa berbicara? Wah, raja ini bodoh sekali, pikir Jerapah dalam hati. Ia sengaja tidak melontarkan pikiranya, supaya Singa tidak marah. Singa yang tidak curiga pun segera mengajaknya ke singgasananya. Setelah memandang sekeliling, Jerapah mulai mengomentari tempat itu.
“Huh! Tempat ini lebih mirip tempat sampah daripada istana!” kata Jerapah menghina. “Namanya juga hutan,” jawab Singa santai, sepertinya ia tidak menghiraukan Jerapah. “Lebih baik aku pulang saja daripada masuk tempat sampah ini,” keluh Jerapah sombong. “Tidak! Seharusnya kau tidak menetap di sini!” teriak Singa marah. “Jadi, aku hanya pengunjung?” tanya Jerapah segan. “Tidak, kau bukan penghuni, dan bukan pengunjung. Kau hanya binatang buangan!” teriak Kelinci yang tiba-tiba muncul bersama yang lain. “Ya! Jerapah harus pergi! Kau harus pergi!” teriak binatang lainnya serempak. “Ssst, tenang semuanya! Sabar. Kita harus selesaikan masalah ini dengan damai,” lerai Singa. “Tidak perlu! Yang penting Jerapah pergi!” teriak beberapa binatang protes. “Tapi ini hutan yang aman dan damai, tidak baik merusak nama baik hutan ini,” jawab Singa bijaksana. “Ya sudah, tapi bagaimana?” tanya Landak marah. “Kalian pergi dulu, kami akan berbicara berdua,”
Setelah binatang lainnya pergi, Singa dan Jerapah hanya tinggal berdua. Mereka pun berbincang. “Kau telah melanggar janji. Sekarang kau harus memilih hukuman,” kata Singa memulai percakapan. “Tolong, jangan hukum aku!” kata Jerapah memohon ampun. “Tapi, kau harus memilih. Hukum mati atau diusir?” “Tidak mau!” “Kalau begitu, aku saja yang memilih. Kau diusir dari sini,” “Ya, benar itu!” teriak para binatang lain yang muncul dari semak-semak. Mereka memang telah mendengar pembicaraan tadi.
Setelah binatang lain setuju, Jerapah pun diusir. Hutan itu pun kembali menjadi hutan yang aman, damai, dan tenteram.
TAMAT
Pesan moral: Jangan merasa lebih hebat, karena masih ada yang lebih baik daripada kita. Jangan meremehkan orang lain, karena belum tentu kita lebih bisa daripada dia. Janganlah melanggar / mengingkari janji. Kita harus berbuat baik terhadap sesama.
Cerpen Karangan: Karunia Ilahi