Petak Umpet
“ Yu Mariiik....., Farid ilang di sekolahan!” teriak seorang wanita paruh baya, ia terus berlari mendekati Marik yang jaraknya hampir 500 meter. Sesekali badannya hampir tersungkur karena melewati pematang jalan setapak di area persawahan. Ditambah licinnyatanah liat yang siap membuat jebakan untuk Siti agar bermesraan dengan tanah becek sawah.
“bruukkk.....” kali ini badan Siti benar-benar telah terjatuh.
Bagian pantatnya telah lebih dulu menyentuh tanah. Pantatnya terasa panas. Wajahnya meringis kesakitan.Tapi rasa sakit tersebut sekarang tak penting. Ia punya misi penting yang harus segera ia sampaikan kepada Marik. Sebuah pesan yang akan menggemparkan perasaan dan pikiran orang yang mendengarnya. Dengan segera ia bangkit, berlari lagi walau tak cepat. Penuh kewaspadaan. Ia tak mau kasus serupa terulang kembali.
Samar-samar Marik mendengar ada yang memanggilnya, tak jelas memang, hanya saja Marik merasa ada yang menyebutkan namanya dan Farid putra sulungnya.
Dari kondisi membungkuk karena mencabuti rumput di antara tanaman padinya, kini Marik sudah berdiri, kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri. Hanya sekedar memastikan bahwa ia tak salah dengar. Terik matahari yang sedang terus naik membuat matanya silau.
Benar saja, retina matanya menatap di seberang lumayan jauh. Seseorang sedang berlari ke arahnya. Beberapa orang di sawah sedikit heboh karena ulah perempuan tersebut.
“Yuuuu Mariiiikkk..... Fariiiidddd Ilaaaang” katanya lagi sambil teriak.
Marik masih tak begitu mendengar, mungkin karena jarak antara Marik dengan wanita tersebut masih tergolong jauh. Sekalipun suasana cukup lengang, namun jarak sudah membuat suara teriakan tersebut hanya lewat ke telinga Marik, seperti angin sepoi.
“Siapa sih Lek Jan? kok teriak-terik, manggil-manggil“ tanya Marik kepada Jan yang jadi pekerja di sawahnya.
“embuh, kok kayak Siti ya?” kata Jan sambil melihat ke arah Marik.
Siti masih berlari, hampir sampai kepada Marik . Setelah benar-benar berada di depan Marik. Siti menarik nafas. Hampir saja napasnya terputus karena berlarian di pematang sawah yang licin di siang hari. Keringatnya telah menetes dari wajahnya sedari tadi.
Wajah Marik penasaran, Siti yang ada di depannya nampak panik seperti melihat penampakan hantu di siang bolong. Rupanya tak hanya Marik, kini Jan juga beranjak menghampiri dua wanita yang berbeda ekspresi.
“Yu..Marik, Farid ilang digondolGenderuwo !” kata si Siti memberitahu sambil mengeraskan suaranya. Marik terdiam.
“Beneran ini yu, aku dikabari Bu Ema guru SD” kata Siti menyakinkan.
Kini ekspresi Marik berubah, rasa penasarannya berubah menjadi kekagetan yang luar biasa. Pikiran dan hatinya bertolak belakang. Mana mungkin anaknya di gondol Genderuwo di siang hari, itu bisa saja terjadi. Penduduk setempat percaya bahwa jam 12 siang adalah waktunya para dedemit seliweran. Muka Marik kosong, pikirannya menerawang mencari logika yang membuat dirinya lega. Bisa saja anaknya tak di gondol Genderuwo , hanya orang-orang tak tahu keberadaannya. Tapi ini jam sekolah, tak mungkin putra sulungnya bolos. Duh.. Gusti.. tolong beri penalaran yang memungkinkan.
“ Yu Marik..” kata Siti lagi, kali ini tangan Siti meraih badan Marik, lalu meraik-narik. Tak lama kemudian. Marik sudah tak sadarkan diri lagi
“tulung.....tulung Lek Jan” teriak Siti, kali ini teriakannya tak kalah menarik perhatian dari teriakannya yang pertama.
Jan dengan segera menopang badan Marik. Hampir saja Jan ambruk karena badan Jan yang kurus kering ketimbang badan Marik yang hampir seperti buldoser.Beberapa warga yang ada di pematang pun datang penasaran dengan suasana yang kini menegang. Marik segera ditepikan di gubuk dengan kondisi tak sadarkan diri.
Jan kini tengah sibuk mengotak-atik hp bututnya. Ia tahu benar siapa yang harus segera Ia hubungi untuk menolong Marik.
“Halo Darsono, ini aku Jan, ini..Marik pingsan di sawah,.. iya.. abis denger Farid di gondol Genderuwo Dar, iyo.., yo wes.. salamualikum” tut..tut.. hpnya mati.
“Tau gini aku bawa minyak kayu putih ya Lek Jan” kata Siti sambil memandangi wajah Marik, kasian. Tak ada persiapan di sawah, maksudnya seperti minyak angin atau balsem untuk membuat Marik siuman.Kini Siti hanya mencipratkan air ke wajah Marik sambil berharap Marik bisa siuman dari pingsan yang mengerikan.
Mata Marik remang-remang, pandangannya blur, entah siapa saja yang kini mengerumuninya, badannya lemas. Marik segera ingat, Siti berulah dengan menyampaikan berita Farid di gondolGenderuwo .
Jaringan kabar angin dengan segera cepat menjalar ke penjuru desa. Berita hilangnya Farid yang di gondolGenderuwo pun segera menyebar luas.Tukang ojek, tukang soto, tukang pecel, yang disawah, yang di pertambangan batu kapur, yang menjala ikan di waduk, semuanya sudah lebih tahu. Berita menyebar dengan cepat, sejurus dengan menyebarnya sang angin.
Marik menjadi linglung, entah karena berita Siti atau karena si Genderuwo yang berani-beraninya menyembunyikan anak sulungnya.Marik menangis sejadi-jadinya, orang-orang sibuk menenangkannya.
“Kita langsung ke rumah Mbah Sakijan saja Rik, biar bisa langsung dilihat, si Farid di sembunyiian dimana” kata salah seorang warga bernama Yar.
Bukan Marik tak ingin pergi ke rumah orang pintar di kampungnya, tapi Darsono suaminya pasti tak akan mengijinkannya dan secara naluri seoarang istri Marik pasti akan menaati suaminya.
“Musrik” bentak suaminya kepadanya, waktu itu karena dompet Marik hilang. Ia hanya menyampaikan niatannya untuk pergi ke rumah Mbah Sakijan, tapi Darsono dengan marah menasehatinya. Marik tau betul bagaimana watak suaminya. Ia tak ingin menyekutukan Tuhannya Yang Esa. Darsono memang bukan keturunan priyayidan orang yang berpendidikan, tapi ketekunannya dalam beragama menjadikan rumah tangganya tentram, tak ada kata ngilmu atau berobat ke dukun, sesajen rokok, kopi, atau buah pisang dalam nampan seperti yang tetangganya lakukan untuk memuliakan leluhur .
***
Di sekolahan SD N 1 Merona, semua murid bubar, tak ada masa jam pelajaran, para guru dibantu warga sibuk mengobrak abrik semak-semak di belakang sekolah untuk mencari Farid. Semua siswa dipulangkan, tapi bukannya pulang malah ikutan nimbrung warga ke belakang sekolah. Acara babat-membabat semak menjadi tontonan bahkan sampai warga desa sebelah.
Sekolah tersebut sebenarnya letaknya cukup startegis, berada di tepi jalan utama, namun karena belakang sekolah yang semak-semak dan bantaran Sungai Brahala membuat sekolah tersebut dipandang angker oleh warga sekitar.
Menurut cerita ada saja warga yang melihat penampakan seperti Putri Corong, Banaspati ataupun Lampor. Seperti apa bentuknya? berbagai karangan warga menunjukan wujud yang berbeda-beda. Merekalah setan yang menghuni sekolahan tersebut.
Kini belakang sekolah sudah lebih gersang karena semak belukar telah rata diatas tanah, hanya beberapa pohon aren yang tumbuh menjulang tinggi dibiarkan. Ada warga yang menyarankan untuk menebangnya sekalian, ada juga yang mencoba menerangkan “Nanti seng mbaureksongamuk” sambil memandang pohon aren tersebut.
Di belakang sekolah masih ramai dan terus ramai karena warga terus berdatangan, Wiji warga terdekat sudah membawa Ayam Cemani kesayangannya. Wiji rela kalau ayamnya yang menggantikan Farid, agar Farid segera dikembalikan. Lekas setelah si ayam disembelih, dilemparkanlah si ayam di sungai agar tak ada lagi tumbal atau siswa yang di gondol dedemit sungai Brahala.
Tak ada tanda-tanda ditemukannya bocah bernama Farid. Warga berputus asa, ada yang menghisap dalam dalam putung rokoknya, ada yang sibuk bergunjing, dan ada yang makan gorengan.
***
Marik sudah sampai rumah, kini rumahnya dipenuhi para tetangga dan sanak saudara. Marik dan Darsono masih di teras, sekalipun para warga mencoba menenangkan pasangan tersebut. Tapi kini kondisi Marik makin panik karena sebagian warga menyarankan untuk pergi kerumah Mbah Sakijan. Batinnya tertekan, bagaimana mungkin suaminya akan menyetujui ide yang diberikan warga. Matanya makin berair. Bibirnya tak bisa berkata-kata. Namun hatinya sangat berisik dan bergejolak. Dalam hati Darsono pun gusar, keyakinannya hampir runtuh oleh rayu bujuk warga. Dia kepepet, mungkin Tuhan tak akan marah kalau hanya sekali saja dia berbuat musrik. Lagi pula ia hanya bertanya pada Mbah Sakijan dimana Farid di sembunyikan. Dalam hati pula Darsono menyimpan dendam pada dedemit, bagaimana mungkin makhluk halus menganggu manusia, terlebih bocah .
Teguh putra bungsunya tengah dijemput Edy pamannya, di SMP 1 Merona. Darsono yakin adanya Teguh dirumah mungkin bisa menenangkan hati Marik.
Darsono lupa belum membuka rumahnya dikarenakan banyak warga yang mencegatnya dan membuat obrolan singkat untuk membantu memcahkan duduk persoalan hilangnya Farid.
Tangannya kini merogoh saku celananya, benar saja kunci rumah memang ada di kantong celananya.
“kreeekkk..............” suara pintu rumah Darsono, memang engselnya sudah berkarat sehingga jika pintu digerakkan akan menimbulnya suara berisik. Aura rumahnya sudah sedikit panas akibat cahaya matahari.
“kreeekk.........” pintu kamar tengah rumahnya ada yang membuka.
Seorang bocah keluar sambil menguap matanya yang merah, mulutnya menguap
Darsono tersentak “Fa....Farid....”
“Bruk....”badan Darsono ambruk
“Bapak....” teriak si bocah
Warga berebut masuk melalui pintu yang hanya muat dimasuki dua orang tersebut.
“Yu Marik... Farid udah dibalikin sama Genderuwo ” teriak Jan.
Farid nampak bingung, bocah 10 tahun tersebut bertanya-tanya mengapa ada banyak warga yang datang kerumahnya, bahkan bibinya dari desa sebelah pun datang. Marik merengkuh badan Farid dari belakang. Ibunya tak henti-hentinya menciuminya.Darsono sudah siuman, kini si Faridlah yang bersyukur karena Bapaknya telah sadar. Rasa syukur untukNya tak terhingga bagi Marik, Darsono dan Farid tersendiri.
Darsono sendiri dikabari oleh Amin si penjaga sekolah bahwa putranya tak ditemukan setelah jam istirahat. Farid serta 4 kawannya tengah bermain petak umpetdi sekeliling sekolah, 3 temannya ditemukan sedang bersembunyi di perumahan warga dekat sekolahan, sedangkan Farid bersembunyi ke arah belakang sekolah. Disitulah muncul spekulasi bahwa Farid telah di gondol Genderuwo .
***
“Bapak-bapak... si Farid sudah ditemukan dirumahnya, tugas kita telah selesai, ayo kita semua bubar” ucap Margono, guru kelas 5 SD tersebut.
Margono telah dikabari oleh Jan tetangga Marik lewat telepon.
“Ketemu dimana Pak Guru?” tanya seorang warga.
“Dirumah Pak, si Farid ternyata tak pernah di gondol atau disembunyikan sama Genderuwo Pak, dia memang main petak umpet, tapi saat main dia lapar dan dia lupa nggak bawa uang, takut diketahui temannya dia pulang lewat jalan belakang makanya warga tak ada yang tahu. Sampai rumah ternyata rumahnya terkunci. Dia lewat jendela, sehabis makan dia ngantuk. Jadi dia tidur di dikamar, dengar ada ramai-ramai dia kebangun terus keluar kamar” jawab Pak Gon sapaan akrabnya.
“Ealah... bocah satu itu ya pengen tak pites” sahut warga yang kesal.
“Ayo pak bubar.....” teriak warga yang kesal.
Margono tersenyum, batinnya bergumam si Genderuwo membuat keonaran di siang bolong, membuat warga pingsan, menangis, membubarkan jam pelajaran, membuat tontonan, membuat warga bergotong royong untuk membabat habis semak-semak yang ada di bantaran sungai belakang sekolah. Haruskah ada siswa yang di gondol dedemit dahulu baru warga mau gotong royong membersihkan sekolah tersebut. Terlepas dari itu semua, kini sekolahan tak lagi horor, sampah dan belukar juga telah di habisi warga, bersih tuntas. Meskipun tak terlihat dari depan, setidaknya hewan melata juga tak akan berdiam dibelakang sekolahnya.
***
Sesampainya dirumah Teguh berlari mencari ibunya.
“Buk... katanya adek di gondo lGenderuwo ya?” kata teguh sambil berteriak
Tapi kini raut mukanya tak yakin, ibu, bapak dan adiknya tengah berkumpul di ruang tengah. Menikmati teh moca.
Aku sudah meninggalkan ujian matematika dan sekarang si pembuat onar Farid ada di rumah. Petak umpet sialan!