Dari awal aku menyadari bahwa hidup tidaklah seindah yang dibayangkan. Dan aku tahu bahwa keberadaanku di dunia bukanlah sesuatu yang diharapkan.
— sejak menginjak masa pubertas, aku begitu paham apa artinya putus asa terhadap kelemahan diri sendiri —
Aku tidak bilang bahwa aku membenci kehidupanku. Tapi, jika kau bilang apa aku tak cukup mensyukuri tentang apa nikmat yang Tuhan berikan pada hidupku, maka aku akan menjawab, ya. Hidup ini menyedihkan— dan lagi-lagi itu tidak bisa menafsirkan tentang sebesar apa rasa ‘sedih’ yang dapat kalian bayangkan. Bukan tentang anggota tubuh yang tidak lengkap, segala bentuk kekurangan, atau pun dalam kamus anak-anak kebanyakan, keharmonisan keluarga yang berujung pada perceraian. Bukan. Yang menyedihkan adalah karena aku tidak dapat menikmatinya.
Aku lahir sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarga. Yang paling kecil, paling tidak bisa diandalkan, dan yang paling tertutup. Begitu kontras dengan kedua kakak kembarku yang dengan mudah menambat hati kedua orangtuaku yang sebenarnya tidak terlalu peka masalah isi hati maupun masa depan anak-anaknya. Kedua orangtuaku tidak mau ambil pusing masalah keinginan masing-masing anaknya, hanya berpesan singkat nan lugas, ‘capai apa yang kau inginkan dengan tanganmu sendiri, jangan terus bergantung pada orang lain.’
Baik. Aku harap hatiku bisa menerapkannya. Yang mengherankan adalah kenapa kedua kakakku dengan mudah dapat menjalankannya— toh, laki-laki memang memiliki kodrat untuk menjadi seorang pendengar— seperti kata guru-guru di sekolah. Namun apakah dengan semua kenyataan itu, aku dapat mengubah pandangan hidupku terhadap kedua orangtuaku?
Yah, hanya saja aku selalu menganggap diriku sebagai … sebuah penyakit. Aku selalu berpikir apakah kedua orangtuaku tidak pernah membutuhkanku sejak awal kelahiranku di dunia. Apakah mereka mengharapkanku, ataukah sekalipun pernah merasa bahagia dengan keberadaanku?
Tidak.
Meskipun kata-kata itu tak pernah sekali pun terucap dari mulut mereka, aku cukup tahu dengan pandangan mereka terhadap apa yang aku lakukan selama ini. Secara tidak langsung— tapi aku tahu dalam hati mereka selalu membicarakan semua kekuranganku, keburukanku, atau apapun bentuknya itu, tersirat begitu jelas pada paras mereka yang tiap kali terlihat begitu menyedihkan dalam pandanganku. Aku merutuk. Apakah sebegitu tak dibutuhkannya aku di dunia?
Kalaupun yang mereka katakan adalah kenyataan, walaupun yang mereka ucapkan adalah sebuah fakta dasar yang menggambarkan seperti apa perilaku buruk maupun kehidupanku …. tapi bagi seorang gadis yang baru menginjak enam belas tahun, kata-kata itu masih cukup sakit untuk didengar. Well, mungkin begitulah apa yang selama ini kupikirkan.
Hari itu adalah awal dari segala hal yang mengubah pandangan hidupku.
Hari itu adalah pernikahan Rafka, salah satu kakak kembarku, setelah kelulusannya dari universitas tekniksi setahun sebelumnya. Dengan wajah bahagia dia menggandeng pasangan hidupnya yang hari itu resmi menjadi istrinya. Aku menonton pada kejauhan, menatap seperti apa kebahagian yang tergambar pada paras tampannya. Dia menyalimi sanak keluarga, ayah ibu, sampai semua kerabat dan kenalan yang menyaksikan janji pernikahan mereka.
Aku duduk termanggu pada sebuah bangku di dekat pohon rindang yang dulu ditanam sejak pertama keluarga ini dibentuk.
“Sacha?”
Rasya, dengan baju formalnya, mengahampiriku yang masih sibuk menggeliat memperhatikan serbuk kering yang satu persatu rontok dari dahan kecil dandelion yang bermekaran di rerumputan. Duduk di bangku kayu di depannya, aku mememperhatikan Rasya yang sudah duduk di sesebelahku seraya menyeruput kopinya, menghembuskan asapnya, menyesap aromanya perlahan. Aku memperhatikan dari situ. Dia tampak menerawang memperhatikan awan yang berdayun merombak jalan di dasar biru langit jauh sana. Dia menoleh.
“Tidak terasa, ya. Padahal baru kemarin rasanya lulus SMP, tiba-tiba sekarang Rafka sudah menikah,” dia tertawa memperhatikan deret gigi putihnya. Begitu manis. Tapi aku tahu dia menyiratkan kekecewaan dari dasar matanya. Dia pasti merasa sudah terdahului. Aku lantas tersenyum mendengar perkataannya. Merespon singkat, padat.
“Ya, tidak terasa.”
Wangi bunga matahari yang baru mekar menyerbak di sekitar, menggelitik aroma hidung, membuatku sejenak terlena sebelum akhirnya menjawab pernyataan kecilnya. Aku tersenyum seraya menatapnya lamat, cukup lama— sama-sama menjejerkan deretan gigi putih meniru apa yang dia lakukan dengan jawabannya. “Apa kau tidak ingin menikah juga, Rasya?” tanyaku penuh selidik, sedikit tergelitik. Dia lantas tertawa dengan sekenannya, masih menganggap apa yang aku katakan hanyalah sebatas guyonan anak kecil. Sedetik senyumnya memudar, balas menatapku.
“…aku belum terpikirkan masalah itu, Sacha. Aku harap aku bisa bekerja terlebih dahulu sebelum memiliki keluarga.”
Hening. Suasana begitu lengang hingga suara angin pun dapat terdengar.
Lembayung sore mulai menerpa, semua tamu resepsi mulai bergilir pulang, mengucapkan selamat, menyalami mempelai, atau foto bersama. Beberapa sepupuku sedang membagikan souvenir di meja penyambutan tamu. Aku terdiam mendengar jawabannya.
Ya. Mungkin hal yang sama akan terjadi padaku.
Pernahkah kalian berpikir, apa arti sebuah keluarga bagi kalian?
Bagiku keluarga adalah …
“Rasya, apa menurutmu Rafka akan lebih bahagia dengan keluarga barunya?” Rasya menatapku yang sudah memandangnya dengan rasa penasaran, menunggu setiap kemungkinan jawabannya. Dia berhenti dengan kopinya, menatapku, mulai menjawab sekenannya.
“Rafka sudah memilih jalan hidupnya, Sacha. Dia sudah memilih wanita untuk jadi pendamping hidupnya. Sama seperti ayah dan ibu ketika mereka menikah dulu … Ketika mengikrarkan janji pernikahan, maka detik itulah, sepasang orang yang saling mencintai akan memulai hidup baru. Kita akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga yang kau ciptakan dengan orang yang kita cintai dibanding dengan keluarga tempat kita dulunya lahir. Kau juga akan merasakannya suatu hari nanti, Sacha.”
“Apa aku akan bahagia dengan itu?” “Ya, Sacha. Kau akan bahagia.” Aku membisu. Sekarang yang menggerogoti pikiranku adalah … apa sebenarnya guna kebersamaanmu dengan keluarga tempatmu dilahirkan jika pada akhirnya kau akan berpisah dengan semua itu dan mulai hidup bersama orang lain?
Maksudku, aku tidak membenci kehidupanku yang sekarang. Tapi bukan berarti aku menyukainya. Aku tahu, seburuk apapun hubunganmu dengan orangtuamu, pasti masih ada rasa sayang yang akan orangtua berikan kepadamu. Kalau tidak, kenapa kau bisa hidup sampai sekarang, bisa menjalani hari layaknya anak normal, dan menikmati setiap lika-likunya tanpa sedikitpun beban? Kecuali jika orangtuamu mengalami sedikit gangguan otak— benar-benar hanya menganggapmu sebagai sebuah hama yang tidak berguna dan perlu disingkirkan.
Apalagi ketika kau harus merasakan segala makian dan amarah yang orangtua berikan padamu. Rasanya sesak, dan ingin mati saat itu juga. Hanya karena sebuah kesalahan kecil— sebagian— yang mungkin dianggap sepele, atau memang kenyataannya masalah serius yang tak termaafkan sekali pun. Sifat orangtua masing-masing individu itu berbeda. Ada yang tidak pedulian, sabar, dan ada pula yang tak segan akan bermain tangan. Orangtuaku adalah tipe yang pertama. Walaupun rasanya aku seperti anak tak dianggap keberadaannya— yang malah menjerumuskan diriku sendiri untuk melakukan hal-hal negatif dan kenakalan lainnya, aku menyadari satu hal penting lainnya; bukan berarti orangtuaku membenciku. Tapi karena mereka percaya bahwa aku bisa menyelesaikan semuanya.
Aku begitu teringat ketika aku mengalami kecelakaan sekitar empat tahun lalu. Saat itu aku terlindas mobil, kakiku patah, untungnya masih bisa disembuhkan. Aku koma selama dua hari. Dan ketika aku bangun … kau tahu apa yang kudapatkan?
Tangisan pilu ibuku yang sibuk mengaitkan jemarinya pada tanganku; seolah tak mau lepas, begitu menggenggam tanganku erat dengan setitik air mata yang mengalir deras membasahi wajah berpeluhnya. Aku terpana. Bagiku itu adalah kali pertama ibu memperlihatkan kelemahannya di balik wajah tegas dan tidak pedulinya. Begitu rapuh; mengiba-iba memintaku tetap di sisinya seolah-olah detik itu aku akan pergi dari sisinya untuk selamanya. Dia menggumamkan namaku berulang kali.
“Sacha … jangan pergi … jangan pergi, Nak. Ibu berkata kasar bukan berarti membencimu. Ibu mencintaimu lebih dari apapun. Maafkan Ibu.”
Tangisan yang penuh sesal itu sukses melumpuhkan hati dan perasaanku— sambil menangis di tengah kesadaran yang menipis, aku menyebut namanya, berulang kali, melakukan hal yang sama padanya. Aku menggengam erat tangannya, menggumamkan sederet kata di tengah isakan pedih hatiku yang terasa sesak. Tidak! Aku tidak mau pergi.
“Sacha gak akan pergi ke mana-mana, Bu … janji.”
Bahkan aku bisa mendengar isak tangis Rasya yang terdengar sama-samar dan desahan khawatir Rafka di sebelahnya. Juga ayah, yang sama samarnya terlihat memandangku dengan perasasan pilu dan bersalah.
Nostalgia sederhana yang setiap mengingatnya, membuat pandangan burukku kepada mereka (yang selama ini) kuanggap tidak menghargai keberadaanku lenyap seketika. Detik itu aku menyadari satu hal; bahwa keluargaku begitu mencintaiku. Keburukan maupun kelebihannya. Satu keburukan tidak sebanding dengan berjuta kasih sayang yang akan aku dapatkan di kehidupanku bersama mereka. Aku mencintai keluargaku dari sisi baiknya. Walau kadang membuatku benci, menangis, dan marah pada diri sendiri; keluargaku adalah keluarga terbaik dan teristimewa sepanjang masa yang sekalipun tak akan pernah dua kali aku dapatkan.
“Sacha, Rasya!”
Benar, kan? Suara lengkingan Ibu dari kejauhan memecah lamunanku. Ibu melambaikan tangan, masih meneriaki kami, dari kejauhan altar pengantin. Seorang fotografer dengan wajah jutek ikut menunggu kedatanganku dengan Rasya— sepertinya sesi pemotretan sudah masuk giliran sesi pemotretan keluarga.
Aku segera menatap Rasya yang tak kalah terlonjak— tersedak minuman hitam yang sedari tadi sibuk diseruputnya. Untung dia membawa selembar sapu tangan pada kantung jasnya, segera menyambarnya dan mengelap ujung mulut yang tercecer kopi. Dia terbatuk, menatap ke arahku.
“Ukh, sepertinya Ibu memanggil, Sacha. Kita harus segera ke sana,”
Aku menanggapinya dengan seulas senyum yang sama; menuruti langkahnya menuju ke altar pengantin untuk melakukan sesi pemotretan sekeluarga. Tapi sebelum langkah kami benar-benar sampai pada tempat di mana Ibu meneriakkan nama kami, aku berkata dengan nada pelan yang mungkin hampir tidak didengar. Rasya menolehkan kepala tanpa menghentikan langkahnya.
“Aku harap aku bisa menemukan kebahagiaan yang tak kalah besar bersama keluarga yang akan kubuat di masa depan nanti.”
— selesai.
Cerpen Karangan: Nisrina Delia Rosa Blog / Facebook: Nisrina Delia Rosa