“Nang, lihat pancingmu sudah goyang, umpannya sudah dimakan ikan tuh” kata Ayah begitu ketika kami memancing. Ayah memang terbiasa memanggilku dengan ”Nang”. Itu merupakan panggilan sayang dari Ayah. Nang itu sebenarnya adalah Inang yang dalam suku kami artinya adalah mertua perempuan. Namun beda halnya jika seorang ayah memanggil anaknya dengan sebutan “Nang” yang berarti anak perempuanku. “Oh iya yah (sambil menarik pancing) tapi ikannya kecil yah” kataku sembari menatap ayah. “Yaudah gapapa, yuk pulang udah sore”.
Sore itu kami pulang dengan gembira sambil sesekali bersenandung ria. Hobi memancing ini tentunya kudapat dari ayah. Ayah selalu berpesan pada kami seperti ini “Nang kalian itu harus banyak-banyak makan ikan. Supaya bisa jadi anak yang pintar”. Jadi setiap ada kesempatan, ayah pasti selalu mengajakku untuk memancing.
Aku merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang dibesarkan oleh ayah dan ibu. Saat itu aku masih berumur 12 tahun. Bisa dikatakan aku masih polos dan ya masih bisa dikatakan lugu. Kebetulan saat itu aku dan adikku sedang libur sekolah karena sudah memasuki masa-masa natal. Jadi ibuku mengajak kami untuk mengunjungi ayah di perantauan. Ibu dan ayahku tidak bercerai. Karena tuntutan ekonomi, ayahku harus pergi merantau ke kota orang demi menghidupi kami. Ayahku memang tidak pernah berubah. Dia selalu memanjakan kami, mungkin karena kami perempuan dan kami hanya berdua.
Esoknya, ayah mengajakku berkeliling di area perkebunan sawit yang begitu luasnya. Jangan tanya kenapa adikku tak ikut. Dia lebih senang berada di rumah bersama ibuku. Tidak hanya itu, ayah juga mengenalkan aku dengan beberapa orang yang merupakan teman baik ayahku. Sama seperti hari-hari sebelumnya, perjalanan kami ini pun tidak pernah lepas dari canda tawa. Entah mengapa, momen-momen yang kulalui bersama ayah saat itu sangat berbeda. Ada yang lain, tapi aku sulit mengatakannya.
Sudah hampir seminggu kami berada di perantauan ayahku. Tapi tak sedikit pun ada rasa bosan yang menghampiri. Hari demi hari kulalui bersama ayahku dengan petualangan baru. Kali ini ayah mengajakku berbelanja. Ibu meminta ayah untuk belanja di pasar. Karena kami tinggal di area perkebunan sawit, jarak antara rumah kami dengan pasar sangat jauh. Ayah menyuruhku memakai jaket, karena kebetulan saat itu hujan baru reda.
Kupegang erat ayahku, saat ayahku berusaha mengendarai motor dengan begitu hati-hati melalui jalanan yang begitu beceknya. Ayah paling tidak bisa menawar. Kuamati wajah ayah saat bertransaksi dengan penjual. “Berapa ini bu?“ katanya “Oh itu murah aja pak ambil saja semua dengan harga 25 ribu. Bapak gak akan rugi. Tomat ini lebih dari 1,5 kilo pak” kata penjual dengan rayuannya. Namanya juga penjual, segala cara akan dilakukan supaya dagangannya habis. Kulihat ayahku mulai tergiur. Padahal pesan ibu dari rumah cukup beli tomat 1 kilo saja. Karena saat itu kami belum punya kulkas, jadi ibu malas menumpuk bahan makanan, katanya nanti cepat busuk. Dengan cepat ayahku mengeluarkan uangnya dan mengambil tomatnya. Aku sudah yakin pasti ibu akan mengomeli ayah. Semua yang ibu suruh beli, dibeli ayah dengan berlebih. “Yah, kenapa kok belinya segitu, kan kata ibu cuma segini” kataku. “gapapa nang, biar gak capek nanti ibumu bolak balik pasar”. Suami idaman sekali pikirku.
Yang kudapat saat menemani ayah ke pasar hanyalah roti dengan selai srikaya. Tidak masalah sebenarnya dengan selainya, karena aku juga suka dengan selai srikaya. Tapi sebelumnya aku melihat gulali. Aku meminta ayah untuk membelikannya, tapi ayah bilang “gak boleh nang, nanti gigimu cepat rusak”.
Perjalanan pulang ini berbeda dengan perjalanan saat kami pergi tadi. Motor kami oleng tepat di bagian jalan yang banyak airnya. Aku terjatuh dari motor dengan posisi setengah telungkup. Alhasil, jaket putih yang aku gunakan berubah warna jadi cokelat. Kalau ibu yang ada diposisi ayah saat itu pasti panik melihat putrinya terjatuh. Namun beda dengan ayah. Ayah tetap santai di atas motornya sambil membenarkan posisi duduknya. Ayah bahkan tidak turun dari motornya untuk membantuku berdiri. “Nang, ayo cepat naik. Nanti jaketmu makin basah, makin dimarahi ibu” kata ayahku dengan santainya. Dengan wajah cemberutku, aku naik ke motor ayah. Aku bahkan tidak memegang erat pinggangnya lagi. Sepertinya ayah mulai menyadarinya, sambil fokus ke jalanan ayah berusaha menghiburku dengan lelucon anehnya sambil tidak lupa menasehatiku “Nang, anak perempuan itu harus kuat. Apalagi kamu anak pertama. Anak perempuan itu harus mandiri. Masa kamu jatuh gitu aja harus ayah tolongin. Kan kamu udah besar. Nanti kalau kamu lebih dewasa, jatuh yang kamu alami juga akan lebih besar dibandingkan jatuh yang tadi. Lagian ga ada yang sakit kan?”. “Enggak yah” sautku dengan kesal. Begitulah ayah, sulit ditebak dan masih sulit kupahami.
Dengan senangnya ayah menunjukkan hasil belanjaannya pada ibu. Ibu dengan raut penasaran dan kaget melihatku jaketku yang sudah berubah warna. Tentunya aku mengadu pada ibu. Aku menuduh ayah tidak hati-hati membawa motor. Ibu menatap ayah dengan kesal dan dengan santainya ayah hanya tersenyum. Dari kamar mandi, dapat kudengar ibu memarahi ayah. Dalam hatiku mungkin ibu sudah tahu apa isi kantong belanjanya. “Kenapa tomatnya busuk-busuk? Ayah gak pilihin tomatnya ya? Kenapa juga belinya banyak segini? Ayah pengen makan tomat aja seharian? Udah tahu gak punya kulkas, beli tomatnya segini banyak”. “Itu tadi dapat harga murah bu, 25 ribu kata penjualnya lebih dari 1,5 kg kan lumayan ibu gak perlu bolak balik ke pasar” jawab ayah sambil mencari remot tv. “Murah apanya? Udah gak bagus gini iyalah dikasi murah sama penjualnya. Gak ditawar rupanya? Makanya yah kalau belanja itu ditawar. Rugi berapa kalau gini”. Aku tersenyum bahagia mendengar ayah diomeli ibu.
Natal hampir tiba. Ayah meminta ibu untuk membelikan kami gaun yang cantik karena kata ayah, ayah ingin memamerkan istri dan anaknya pada teman-temanya. “Yah.. lihat ini. Kami menunjukkan gaun baru kami pada ayah, yang kebetulan gaun yang kupakai memang kembar dengan adiku. Ayah memang meminta ibu untuk membelikan gaun kembar untuk kami berdua. Kata ayah biar kelihatan lebih kompak. Bisa kuliat ada raut bahagia di wajah ayahku. Natal saat itu sangat berkesan. Karena untuk pertama kalinya kami bisa merayakan natal bersama. Kulihat ayah dan ibuku tampil kedepan. Mereka memang sangat serasi. Saling melengkapi, yang satu gemuk, yang satu lagi kurus. Ayah berambut lurus, ibu berambut keriting. Ayah berkulit hitam, ibu berkulit putih. Paket yang komplit memang. Sesekali ayah memintaku untuk tampil kedepan, tapi apalah daya rasa maluku lebih besar daripada rasa beraniku. Ternyata sifat ibuku yang pemberani tidak turun kepadaku. Tanpa kusadari, ternyata itulah natal yang pertama dan terakhir kalinya buat kami bersama ayah.
Libur sekolah ternyata sudah hampir selesai. Waktu berlalu begitu cepat. Ayah tidak ikut pulang ke tanah kelahiran. Kata ayah, dia harus lebih giat cari uang supaya aku bisa masuk sekolah kedokteran. Itulah impian ayah. Saat perjalan pulang, entah mengapa terbersit di benakku “selamat tinggal kota perantauan, ini untuk pertama dan terkahir kalinya aku kesini”. Seperti sudah ada tanda bahwa perjalanan itu adalah yang terkahir kalinya.
Aku ingat sekali, waktu itu saat malam minggu. Seperti pasangan yang sedang ldr pada umumnya, ayah dan ibuku asik mengobrol melalui telepon seluler. Bahkan sesekali kami ikut bercanda bersama. Jarak hanya mampu memisahkan kota, tapi tak mampu memisahkan jiwa. Begitulah yang kudengar dari ayahku saat berusaha merayu ibuku. Ayah meminta ibu untuk memberikan teleponnya sebentar padaku. Sebenarnya aku paling malas untuk berbicara melalui telepon. Karena aku sangat cengeng apabila sudah berbicara dengan ayahku melalui telepon.
Malam itu ayah menanyai bagaimana dengan sekolahku, bagaimana kegiatanku sehari-hari, bagaimana aku menjaga adikku. Belum sempat aku bercerita, air mataku sudah membasahi pipiku. Aku rindu ayahku, namun gengsi mengalahkan rinduku. Aku menangis sambil menjawab satu persatu pertanyaan ayahku. Kukatakan pada ayahku bahwa aku ingin sekali memancing. Bentuk lain pernyataan rinduku. Percakapan kami malam itu sangat lama, tapi lebih lama percakapan antara ibu dan ayahku.
Minggunya, kami memang tidak ke gereja karena sepupuku mengundang kami untuk menghadiri pesta ulang tahunnya. Ayahku juga sempat menelepon ibuku, katanya dia juga tidak ke gereja, ayah juga minta ijin sama ibu ingin pergi sehabis sarapan ke bidan karena dadanya tiba-tiba terasa sakit.
Tepat jam 10 pagi ibu mulai khawatir karena ayah sulit dihubungi. Ibu mulai menelepon tetangga yang berdekatan dengan tempat tinggal ayah minta tolong untuk mencarinya. Dua jam penantian tanpa ada kabar, tiba-tiba berderinglah telepon ibu dari nomor yang tidak dikenal. Entah apa yang dibicarakan orang itu, ibu tiba-tiba terjatuh menimpaku yang tepat ada dibelakangnya. “Ibu…” teriakku. Kulihat wajah ibuku pucat, dengan air mata mulai bercucuran. Aku bingung dan mulai dag dig dug. Sambil memegang kepala ibu dengan tangan gemetar.
Ibuku yang setengah sadar dibopong ke ruang tamu. Ibu tiba-tiba terisak dan teriak “ayah…” Sambil memelukku dan adikku dengan erat. “Ayah udah gak ada kak” tangis ibu. Jleb. Aku terdiam. Lama sekali. Tanpa sadar tanganku gemetar dan memeluk ibuku dengan erat. Air mataku belum juga turun. Aku masih bingung dan tidak percaya.
Kudengar suara ambulan sudah mendekati rumah kami. Betul sekali ayahku yang diam membisu dengan tubuh kaku dan wajah yang pucat ada didalamnya. Ayahku pulang dari perantauan dengan cara yang berbeda. Kali ini semua orang menunggunya. Kulihat petinya mulai diturunkan. Ibuku jatuh pingsaan berkali-kali. Adikku yang lugu bingung melirik kanan kiri. Aku yang terdiam masih tidak percaya akan kejadian itu. Kulihat wajah ayahku yang masih sama gantengnya saat aku berjumpa dengannya diperantauan. Namun kali ini berbeda, senyumnya tak ada lagi. Wajahnya yang biru lebam akibat terjatuh mengingatkanku kembali atas kejadian yang terjadi di perantauan. Aku menangis sejadi-jadinya mengingat semua kenangan itu.
Begitulah cara Yang Kuasa mengambil kembali ciptaan-Nya. Tanpa perencanaan tanpa pemberitahuan. Semua tergantung kita, apakah kita kuat menerima semuanya. Kita memang harus kuat, seperti kata ayah, anak perempuan itu harus kuat dan mandiri.
Cerpen Karangan: Bella Sitanggang Blog / Facebook: Maria Bella Anjani Sitanggang
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 16 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com