Di balik rumah megah berpagar besi terdapat rumah kayu berkelilingan pohon kelapa dan mangga. Rumah kayu sederhana yang masih layak pakai itu dihuni oleh Pak Aleh dan putrinya Alin. Istri Pak Aleh sudah tiga setengah tahun lalu meninggal. Pak Aleh tak lagi gagah perkasa, tapi Alin putrinya seorang remaja menginjak usia tujuh belas tahun.
Meski jalan agak membungkuk Pak Aleh tak mengenal kata letih. “Abah ke ladang dulu nak, menyiram cabe.” pamit Pak Aleh usai shalat subuh. “Alin ikut bantu abah mengambil air dari sungai, biar abah tak susah bolak-balik naik turun mengangkutnya.” kata alin ramah. “Alin masak makanan pagi saja lalu antar nanti ke ladang. Mengangkut air itu urusan gampang, biar abah saja nak, tak usah risau.” tolak Pak Aleh lembut “Ya sudah, hati-hati abah di jalannya.” Alin menghampiri Pak Aleh yang telah berada di pekarangan rumah untuk bersalaman.
Pagi buta tanpa sinar bulan Pak Aleh tetap melangkah di jalan setapak antara sawah dan sungai. Menuju tempat tujuan dengan menenteng ember, dayung dan senter. Jarak rumah Pak Aleh dan ladangnya sekitar dua puluh meter. Tanpa terasa hari semakin siang, matahari memancarkan sinar di balik bukit.
Tanpa menunggu waktu lama Alin datang membawa hilangnya dahaga dan lapar Pak Aleh. “Mari abah, makan dulu.” ajak Alin. Hidangan seperti biasanya, nasi, sayur dan ubi. Sehabis makan mereka berbincang-bincang, tetapi kali ini Alin yang banyak bicara. Alin tampak bingung dan khawatir akan sikap yang ditunjukkan Pak Aleh.
“Abah ada apa? masakan Alin asin dan tidak enak?” Pak Aleh menggeleng lalu tersenyum dan menjawab “Alin, abah dengar dari orang-orang sekarang harga cabe murah di pasar. “Alin pun ikut kecewa mendengarnya. “Yang biasanya membawakan cabe abah juga tidak menerima sekarang. Nak, kita juga tidak punya tempat berdiri di pasar. Penghasilan kita juga dari hasil ladang cabe ini sumbernya.” ucap abah lemah. “Maaf Alin abah, Alin juga tidak punya solusi, tidak bisa bantu apa-apa.” jawab alin sedih. “Tidak masalah Alin, utama sekali kita wajib selalu usaha, doa dan bersyukur akan hasil ladang ini. Nak, tetaplah sekolah, semiskin apapun abah kamu wajib sekolah. Untuk biaya biar nanti abah cari pinjaman. Kalau Alin tidak sekolah kapan lagi kita maju? Kapan kita seperti orang diluar sana? Nanti abah cari pekerjaan lain untuk kecukupan hidup kita.” ucap Pak Aleh sambil menatap mata Alin serius.
Pak Aleh tidak pernah menangis di depan anaknya dan Alin anak yang pemberani sangat menyayangi abahnya, orangtua satu-satunya yang selalu bekerja keras untuk kehidupannya. Alin memeluk dan ikut menguatkan Pak Aleh. Tanpa diketahui orang lain menguping ucapan mereka. Dia berjalan mendekati tempat Pak Aleh dan Alin berada.
“Selamat siang Pak.” Pak Aleh dan Alin melihat keasal suara “selamat siang.” jawab mereka. “Perkenalkan saya Abra.” Pak Aleh ikut mengenalkan diri. “Saya Aleh dan ini putri saya Alin.” mereka saling berjabat tangan. “Saya tinggal di dekat sini, saya lihat-lihat kebun bapak cukup luas dan buah cabenya bagus berkualitas. Saya punya tawaran menarik untuk Pak Aleh, bagaimana kalau setiap hasil panen ini bapak serahkan kepada saya. Saya akan menampung setiap hasil panen bapak. Saya akan membayar dua kali lipat dari harga biasanya. Tenang saja Pak Aleh saya tidak akan menipu bapak. Saya penampung setiap hasil pertanian orang-orang di sekitar sini. Bagaimana Pak Aleh?” Tawar Pak Abra meyakinkan.
Yang awalnya disimpan sekarang mengalir begitu saja di pipi. Mereka menangis gembira akan kebaikan dan tawaran Pak Abra yang tidak disangka-sangka. Tanpa lama Alin langsung sedikit menundukkan diri. “Terima kasih pak, terima kasih” ucapnya begitu bahagia. “Terima kasih, kami memang sangat memerlukan bantuan tawaran Pak Abra.” jawab Pak Aleh tersenyum berlinang air mata. “Alhamdulillah” ucap Pak Abra dan melanjutkan kembali perkataannya.
“Saya beberapa hari ini selalu melihat bapak di kebun saat pulang shalat shubuh dari mesjid. Melihat kegigihan, usaha keras, kegiatan rutin bapak dan anak membuat saya termotivasi dan maaf saya tadi sempat mendengar perbincangan bapak dan nak Alin. Jujur saya bangga dan kagum akan orang pekerja keras seperti bapak dan anak.” Pak Abra merangkul hangat Pak Aleh.
Setelah lama berbincang Pak Abra memamitkan diri untuk pulang. “Pak Aleh, untuk komunikasi saya akan sering-sering kesini. Saya pamit dulu, harus mengunjungi kebun yang lain. Bapak tidak usah risau soal penjualan hasil panen ladang bapak. Baiklah saya pergi dulu Assalamualaikum.” “waalaikumussalam hati-hati di jalan Pak Abra.” balas Pak Aleh dan Alin.
Kemudian untuk tahun berikutnya Pak Aleh selalu menjalin kerjasama dengan Pak Abra. Pak Abra tidak pernah curang akan uang dan timbangan hasil panen Pak Aleh. Alin tetap fokus akan pelajarannya. Karena dia selalu ingat akan pesan abahnya dan paham akan usaha kerja keras abahnya. Alin berjanji akan membanggakan abahnya dengan prestasi yang diraihnya.
Cerpen Karangan: Y. Nurafifah Blog / Facebook: Yulianurafifah Pelajar SMP
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com