Suci telah lama duduk seorang diri sejak 1 jam yang lalu, selepas melepas kapal suaminya berlabuh ke laut, maka lepas pula rindunya bersama lelaki itu. Ombak berderu menghantam tepian, meninggalkan buih dan mengering. Keresahan mulai bertumbuh dalam dada suci, selepas kapal itu hilang dari pandangan. Akankah sang suami akan kembali? selamat dalam pelayaran? serta baik-baik saja dalam perjalanan? Begitulah keresahan bergumul dalam hatinya.
Sejak juan tiba-tiba ingin meminta izin kepadanya perihal pekerjaan yang ditawarkan kepada suaminya itu, ia merasa hari-hari semakin muram, semuram perasaannya yang kian karam. “Bu, bapak boleh berlayar kan? Kebetulan ada pekerjaan yang pas. Guna memperbaiki ekonomi kita bu, lagian kan ibu tahu sendiri, pekerjaan di kampung ini tidak memadai, belum lagi biaya hidup yang makin meningkat” suci hanya menghela napas berat tanpa menjawab ucapan suaminya sambil melipat pakaian kering. Juan mendekat perlahan, sambil memegang pundak suci guna meyakinkannya. “Aku tahu kau benci jika orang yang kau cintai pergi ke laut, juga kenangan lama selalu menghantuimu, tapi bisakah sekali ini lawan ketakutan itu bu” dengan nada yang begitu halus ia berusaha membujuk. Perempuan itu menghentikan pekerjaannya, ia menatap wajah juan dengan seksama. “Bapak tahu kan, laut itu telah memakan anak kita, apa bapak ingin bernasib sama dengan Jenni?” “Buk, itu sudah takdir Tuhan, Jenni bukan ingin membahayakan dirinya, dia hanya ingin mencari pekerjaan yang …” “yang tak berguna, iya. Tak berguna. Pekerjaan di laut hanya menjual nyawa, selebihnya akan datang kabar tentang kematian, apa itu yang bapak mau?” suci semakin meninggi, sedangkan juan semakin bingung meyakinkan istrinya itu. “Bu, saya mohon, sekali ini saja ya. Insya Allah saya akan baik-baik saja. Ini demi laras juga, dia harus segera diobati. Bagaimanapun. Biaya pengobatannya tak akan cukup, mau cari ke mana lagi kita” Sekali ini suci menunduk sedih, ia menatap laras yang terbaring lemah di atas dipan yang terbuat dari bambu, serta kasur tipis yang sudah puluhan tahun tak terganti. Laras mengidap tumor di bagian kepala kananya. Sehingga harus membutuhkan biaya yang besar demi kesembuhan dan biaya operasi yang akan dilakukan.
“Aku tahu kau benci laut, tapi bisakah sekali ini kau berani melepasku berlayar untuk bekerja bersama pak shahid. Dia berjanji akan menanggung biaya perobatan laras, asal aku mau ikut berlayar dengannya menuju suatu pulau.” Dengan tertunduk lemah, suci akhirnya menyetujui keputusan juan, tak ada pilihan lagi. Sebab pekerjaan mereka sebagai buruh yang bekerja serabutan sangat tidak mencukupi. Mau tidak mau, maka pagi itu juga. Ketika matahari kekuningan, suci harus rela melepas suaminya berlayar bersama pak shahid. Tentu saja itu semua membuat peristiwa lama yang membuat hatinya terluka kembali terbuka. Saat ia melepas kepergian Jenni, anak pertamanya bersama juan. Karena biaya hidup yang kian sulit, jenni memutuskan ikut berlayar dan bekerja di sebuah kapal milik saudagar di kampung itu, namun sayangnya. Sebulan setelah kepergian jenni dari hadapan suci, terdengarlah kabar bahwa kapal yang membawa anaknya berangkat telah karam dan jasad jenni tak ditemukan oleh siapa pun. Begitu hancur hati suci, semenjak itulah ia benci sesuatu yang bersangkutan dengan laut. Baik di pantai maupun berlayar. Maka ketika juan meminta izin untuk berlayar, ia merasa peristiwa kelam itu akan kembali lagi. Namun mengingat laras anak bungsunya yang harus segera dioperasi, suci menjadi lemah. Sebenci apa pun ia terhadap laut, namun kehilangan orang yang dia cintai lebih sakit. Maka antara melepas juan berlayar dan melihat laras yang terbaring lemah, ia sangat bimbang. Keduanya berisiko besar, maka oleh sebab itu dengan melapangkan dada. Suci akhirnya melepas suaminya di dermaga pada pagi ini, untuk pertama kalinya pula ia menjejakkan kaki di sebuah pantai setelah sekian tahun trauma dengan peristiwa yang menyakitkan.
Matahari kian meninggi, semenjak kapal itu pergi, suci terus menatap laut lepas, sambil berdoa. Berharap Tuhan menjaga juan dan memohon agar laut tak lagi merenggut nyawa orang yang ia cintai, setelah jenni anaknya yang hilang dalam lautan tanpa kabar dan sepotong tubuh pun tak kembali padanya.
Kondisi laras kian memburuk, dari hari ke hari ia mengeluh sakit, suci tak mampu berbuat banyak. Sudah hampir sebulan, belum juga ada kabar dari juan. Bahkan sepotong pesan dari para pelaut maupun yang pulang pergi berlayar saja nihil, uang hasil bekerja juan juga tidak ada sampai di tangannya. Belum lagi janji keluarga pak shahid yang katanya ingin menanggung biaya perobatan laras tidak terpenuhi hingga kini, alasan mereka selalu mengarah pak shahid. “itu kan kata pak shahid bu, buka kata saya. Saya mah hanya di rumah saja dan tak tahu menahu soal perjanjian antara suami saya dan keluarga anda” ucap istri bu shahid suatu hari ketika suci memberanikan diri dan menebalkan muka untuk bertanya mengenai rencana pembiayaan laras. Faktanya sampai sekarang, sepeser pun tidak ada uang yang ada padanya untuk membantu keluarga mereka. Manusia hanyalah manusia, suka berjanji lalu gemar mengingkari. Suci harus menelan kepedihan seorang diri, tanpa suaminya yang tanpa kabar.
Malam itu kondisi laras kian memprihatinkan. Dengan pertolongan beberapa warga, laras dilarikan ke rumah sakit besar dan akan dioperasi malam itu juga, sebab tumor di kepalanya sudah mulai menyebar. Laras agak gemetar memegang lembar kertas atas persetujuan operasi yang akan dilakukan pada anaknya malam itu, ia bimbang sebab biaya dari mana ia dapat untuk biaya operasi tersebut yang bernilai 15 juta rupiah, namun ketakutan akan kondisi laras membuatnya terdorong kuat, tanpa kebimbangan, suci menandatangani surat persetujuan itu. Maka dimulailah operasi dilakukan. Suci hanya tertunduk lunglai di sebuah kursi panjang. Ia menumpahkan kesedihannya yang terpendam, bagaimana pun. Ia berharap sekali ini akan ada cara Tuhan memberikan pertolongan, terutama biaya operasi laras. Namun sayangnya, takdir manusia siapa yang tahu, meski sudah berjuang keras. Laras akhirnya tak mampu diselamatkan. Guncangan kedua bagi dunia suci, kini ia telah sendiri. Sedangkan juan telah hilang kabar, seperti ditelan rimba.
Di dermaga sana, sebuah kapal merapat. Seorang laki-laki terlihat turun dengan membawa banyak barang, berhari-hari ia terombang-ambing di lautan lepas, setelah dihantam badai seminggu setelah berlayar, sebab Tuhan masih menyayanginya. Selama 5 hari juan terbawa arus lautan hingga terdampar pada sebuah perkampungan, untungnya ia diselamatkan dengan baik oleh warga setempat, lelaki itu sempat mengalami demam selama seminggu, kemudian berangsur pulih, di perkampungan asing itu tiada satu pun sanak keluarga, juan berusaha keras ingin memberi kabar kepada istrinya serta menanyakan kabar anaknya. Namun sayangnya, telepon satu-satunya milik suci telah terjual, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari selama ia di pergi untuk berlayar, juan tinggal bersama dengan seorang petani yang bekerja pada sebuah sawahnya yang luas, di sanalah ia diperkerjakan dengan upah yang lumayan selama setahun penuh. Timbul keresahan hati juan, ia mengenang kampung halaman beserta istri dan anaknya yang ia tinggal.
Setelah cukup biaya upah dari pak petani yang menolong keselamatannya. Juan meminta izin untuk pulang menemui keluarganya, dengan berat hati, pak petani itu melepas juan berangkat dengan sebuah kapal yang berlayar membawa barang, ia akan menumpang di sana untuk menuju kampungnya. “Aku sebenarnya berat melepasmu pulang nak, selama setahun kau bekerja. Tak kutemukan cacat dalam pekerjaanmu” ujar petani tua itu sambil memberikan banyak bekal kepada juan. “Terima kasih banyak pak, saya sungguh tidak akan melupakan kebaikan bapak selama ini, apalagi selama setahun ini saya hidup dengan bapak tanpa mengeluarkan biaya sedikit pun, tapi maafkanlah saya, saya harus menemui istri dan anak saya yang di kampung, dan entah bagaimana nasib mereka.” Ucapnya dengan sedih. “Pulanglah nak, jangan pernah lupakan bapak.” Juan mengangguk haru, selepas memeluk erat pak petani itu, juan pun berangkat meninggalkan kampung tersebut untuk menemui keluarganya.
Suci merengkuh juan dan tangisnya pecah berderai, ia tak menyangka. Bahwa suaminya selamat dan kembali. Setahun lebih, ia berpikir mungkin sudah tiada atau malah melupakan dirinya, atau menemui nasib sama seperti jenni. Anak mereka yang hilang di tengah lautan. Juan menceritakan semuanya peristiwa yang terjadi kepadanya hingga ia dapat kembali ke kampung. Suci pun demikian, ia menceritakan perihal laras yang tak bisa diselamatkan, serta biaya rumah sakit sebab pertolongan pak kepala desa yang berbaik hati, sedangkan keluarga pak shahid telah membekam di penjara, sebab menipu banyak penduduk dengan mengadakan arisan, dan uangnya dimakan begitu saja. Janji yang mereka janjikan untuk biaya pengobatan laras adalah kebohongan, pak shahid telah tewas di tengah lautan tanpa ditemukan jasadnya. Begitulah manusia yang hanya memanfaatkan kesempatan seseorang, demi kepentingannya. Ia tidak akan kekal, suatu saat akan tenggelam bersama kebohongannya itu.
Juan hanyalah alat untuk dijadikan bahan bagi pak shahid. Agar mau membantu pekerjaannya di suatu pulau, sebuah bangunan pariwisata, kebetulan juan adalah ahli dalam masalah pembangunan, dengan bermodal kebohongan yaitu pembiayaan mengenai anaknya laras, juan terjebak ke dalam perangkap pak shahid. Sedangkan kenyataannya, sepeser pun tidak ada mereka keluarkan, mengenai biaya pariwisata tersebut adalah hasil uang arisan warga dan juga bunga dari hutang-hutang warga sekitar yang membutuhkan. Maklumlah, pak shahid adalah warga terkaya di kampung ini, hanya saja dia kalah dalam masa pemilihan kepala desa, sebab warga lebih memilih kebijaksanaan pak ilham sebagai kepala desa meskipun tidak memiliki kekayaan yang melimpah seperti keluarga pak shahid. Namun, ia siap membantu warganya kapan pun. Meski pun demikian, masih banyak warga yang terikat hutang dengan keluarga pak shahid. Sebab ia akan menjadi pahlawan dengan janji-janji manis demi mendapat keuntungan. Namun Tuhan telah menghukum keluarga itu.
Di sebuah pemakanan, juan dan suci saling mendekap. Seusai membaca surah Yasin. Kerinduan yang memuncak dihatinya, kepada laras yang tak sempat ia temui, namun satu hal yang harus ia syukuri. Suci yang terbilang rapuh ternyata mampu bertahan selama setahun dalam kesendiriannya. Hingga mereka bertemu kembali, matahari di ufuk barat kian memudar. Senja itu tampak temaram, juan belum beranjak dari pemakaman laras, meski malam kian gelap. Barulah ia beranjak meninggalkan pemakaman yang sunyi itu, sehelai daun gugur di sebuah pemakaman tersebut, pertanda bahwa masa usianya telah usai. Sempurna pula matahari menenggelamkan tubuhnya.
Keesokan hari, juan dan suci memantapkan hati untuk menuju perkampungan di mana tempat suaminya pernah diselamatkan. Di sana, juan kembali kepada pak petani tua yang sudah ia anggap sebagai seorang ayah, di sanalah kehidupan baru mereka bermulai, untuk bangkit dari kesedihan yang pernah menjerat.
Riau, 2021
Cerpen Karangan: Riska Widiana Blog / Facebook: Riska Widiana Nama Riska widiana, berdomisili di Riau kabupaten Indragiri hilir. Aktif menulis sejak tahun 2020 hingga sekarang, karyanya pernah tergabung ke dalam media cetak ataupun media online. Kini tergabung ke dalam komunitas menulis yaitu kepul ( kelas puisi alit) dan kelas menulis bagi pemula. Alamat email tembilahanriska[-at-]gmail.com facebook. Riska widiana dan instagram riskawidiana97
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 24 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com