Rintik hujan terdengar bergemericik lirih seolah berteman dengan dinginnya udara malam yang semakin menusuk hingga ke tulang. Sayup-sayup terdengar lagu “Bertaut” Nadine Amizah. Aku masih termenung di sini. Ingin menutup tirai jendela tapi tidak disangka sudah 15 menit lamanya aku terpaku memandang kosong keluar jauh sekali. Jauh ke masa itu. Iya, dinginnya malam ini sudah membawa ingatanku melayang jauh ke masa itu.
17 tahun yang lalu Seorang anak SMU dengan seragam batik khas sekolah unggulan di kota ini dan rok putih di bawah lutut tampak sedang menunggu angkot di depan sekolah. “Dera, nanti kita buat tugas kelompok di rumahku saja ya, jam 3”, teriakan Eva mengagetkanku yang sedang menunggu angkot.
Temanku yang satu ini kadang-kadang memang suka ngegas, tapi sudah terbukti hatinya baik. Iya, jika ada yang mau berteman akrab denganku di sekolah ini tanpa pamrih, maka ketutusan hatinya sudah teruji. Bagaimana tidak. Aku bersekolah di sekolah yang mayoritas siswanya adalah anak “pintar” dan berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Sementara aku. Aku bukanah siapa-siapa. Ayahku hanyalah pekerja serabutan yang kadang memiliki pekerjaan kadang tidak. Dan ibuku yang semula adalah penjahit, sudah tidak mampu bekerja lagi karena penyakit epilepsy yang dideritanya. Secara social ekonomi, aku merasa sangat kecil berada di antara teman-temanku. Dan meskipun di SMP aku cukup berprestasi dengan mendapat juara umum tapi begitu masuk SMU favorit ini aku hanya menjadi siswa penghuni “papan tengah” dalam hal prestasi. Inilah yang membuatku cukup merasa insecure. Tapi meskipun begitu masih ada sahabat seperti Eva yang mau tulus berteman denganku.
“Hei, kok bengong? Jangan lupa nanti jam 3 ya?” suara cempreng Eva membuyarkan lamunanku. Akupun mengangguk cepat sambil naik ke angkot yang sudah berhenti di depanku.
Sesampai di rumah. Aku langsung terkejut melihat pemandangan di depanku. Tubuh ibuku sudah rebah di tanah, dari dahi kirinya mengucur darah. Kulempar tas dan langsung kuhampiri ibuku. Dengan semampunya dan dengan caraku aku berusaha mengngkat tubuh ibu ke kemar tidur. Kubersihkan dan kuobati luka di keningnya. Aku bersihkan badannya yang kotor oleh tanah. Ibuku sudah sadar dan sekarang beliau tertidur.
Ini bukan pertama kalinya kudapatkan kejadian seperti ini. Semenjak terserang epilepsy, ibu memang sering kejang dan pingsan. Saat pingsan terkadang tubuhnya yang rubuh ke tanah membentur sesuatu sehingga menyebabkan luka seperti tadi. Hal lain yang baru aku ketahui dari penderita epilepsy adalah munculnya rasa ketakutan yang tiba-tiba tanpa penyebab yang jelas, kadang disertai serangan panik, atau marah tiba-tiba tanpa penyebab yang jelas. Itulah yang terjadi pada ibuku. Terkadang aku memang cukup kesulitan meredam emosinya yang tidak stabil. Tapi aku berusaha untuk memahami kedaannya. Tidak jarang ada tetangga yang salah paham dengan emosi ibuku dan akulah yang selalu menjadi penengah mereka.
Keesokan harinya “Maaf ya va, kemarin aku tidak jadi datang, ibuku kumat lagi,” aku menhampiri Eva di depan kelas. “iya, tidak apa dera, sekarang bagaimana keadaan ibumu?” “sudah mendingan Va” “Syukurlah Dera, kamu tidak mengajak ibumu control ke dokter?” Aku menggeleng pelan. Ada keperihan di relung hatiku yang terdalam. Ibuku memang semestinya sudah diajak kontrol ke dokter lagi. Tapi biaya berobat ke dokter saraf benar-benar tinggi. Sementara bapakku belum mempunyai cukup uang untuk mengantarkan ibu ke dokter. Seandainya ibuku mengkonsumsi obat yang biasanya diberikan, tentu kejadian kemarin tidak perlu terjadi.
“aku duluan masuk ke kelas ya Va”, “Ok Dera”
Bulan ini adalah bulan terakhir kami di SMU. Tidak terasa kami sudah mengelesaikan Ujian Praktik, Ujian Sekolah, dan Ujian Nasional. Kamipun sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang sibuk mencari Perguruan Tinggi dengan jalur PMDK. Ada yang sibuk mengikuti bimbingan belajar untuk menghadapi tes masuk PTN favorit. Dan apa kabarnya dengan aku? Aku tidak punya pilihan lain. Aku sangat ingin melanjutkan pendidikan tinggi. Tapi untuk saat ini melanjutkan pendidikan adalah hal yang mustahil bagiku. Hingga kemarin aku seperti mendapat jalan dari Tuhan. Eva membawa persyaratan masuk sekolah ikatan dinas. Hanya ini satu-satunya jalan untukku bisa melanjutkan pendidikan secara gratis. Namun aku berkendala dengan persyaratan masuknya. Aku perlu biaya untuk menjalani serangkaian tes seperti tes kesehatan, tes bebas narkoba, serta mengurus SKCK, sementara aku tidak punya biaya untuk itu.
Aku mencoba menghubungi keluarga bapakku untuk meminta bantuan, tapi hasilnya nihil. Yang ada, mereka malah mencemoohku dan mengatakan aku berkhayal terlalu tinggi. Keluarga yang lain juga mengatakan aku hanya akan membuang-buang uang saja jika tidak yakin lulus tes.
Saat aku berpikir untuk mundur saja, sahabatku Eva datang lagi dengan pertolongannya. Dia membantuku menyiapkan segala keperluan untuk tes. Memang terkadang benar kata orang. Kadang yang menorehkan luka paling dalam adalah orang terdekat kita. Dan mereka yang ada untuk kita adalah justru orang lain yang tidak ada hubungan darah dengan kita.
Akhirnya tibalah saatnya aku mengikuti tes. Aku tidak memiliki modal apa-apa saat tes selain keyakinanku akan pertolongan Tuhan. Aku hanya yakin jika memang sudah waktuku dan jika Tuhan sudah berkehendak, apapun bisa terjadi. Sebulan berlalu dari saat tes, tibalah hari pengumuman kelulusan. Dicari 3 besar di daerahku. Dan akhirnyaa. Aku peringkat 3 dan itu artinya. Aku lulus.
“Terimakasih ya va, untuk segalanya” kupeluk Eva saat mengantarkanku ke bandara. “Sukses selalu ya Dera” Kulambaikan tanganku ke mereka yang menggantungkan seluruh harapannnya padaku. Ibu dan bapakku, aku berjanji, aku akan membuat keadaan di rumah menjadi lebih baik.
Suara ranting pohon yang jatuh membuyarkan semua lamunanku akan masa yang lalu. Tidak terasa dua bulir air mata mengalir lembut di kedua pipiku. 17 tahun sudah berlalu. Saat ini aku sudah menduduki posisi penting di salah satu Kementerian. Tapi satu hal yang membuatku menyesal adalah belum bisa membahagiakan ibuku. Iya, ibuku meninggal saat aku baru melanjutkan pendidikan ikatan dinas selama 2 tahun. Ibuku meninggal saat aku belum sempat mengajaknya berobat ke dokter. Tanpa sempat aku membelikannya kasur yang bagus. Tanpa sempat aku mengganti lantai rumah kami yang masih berlantaikan tanah. Beliau meninggalkanku tanpa aku sempat melakukan semua itu. Ada rasa sesak yang mengharu biru dalam dadaku setiap aku mengingat itu.
“Mama! Mama kenapa nangis?” suara anakku Cysara mengagetkanku “Mama sedih?” “Nggak nak, mama ga sedih” Kuusap lembut rambut anakku. Seolah member sebuah inspirasi untukku melakukan sesuatu.
Sebulan kemudian Aku menghadiri peresmian Rumah Berbagi, sebuah yayasan yang kubuat untuk memberi tempat konsultasi dan pengobatan bagi penderita epilepsy. Di akhir acara peresmian, kuberbisik dalam hatiku “Ibu, aku harap engkau bisa tersenyum sekarang. Mudah-mudahan ini bisa menghapus rasa bersalahku padamu. Ibu, beristirahatlah dengan tenang. Terimakasih karena memberiku kesempatan untuk terlahir di dunia dan menikmati hidup yang sungguh indah ini. Aku bersyukur pernah terlahir dari wanita hebat sepertimu”
Cerpen Karangan: Made Kartika Sari Blog / Facebook: Made Kartika Sari TTL: Denpasar, 25 Agustus 1988 adalah guru IPA di SMP Negeri 3 Denpasar. Memiliki hobi menulis sejak SD
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com