Hari Minggu besok. Merupakan Hari dimana aku bersama keluargaku libur ke tempat kakek dan nenekku di desa. Ekspresiku sangat biasa mendengarnya. Karena bayanganku, di desa tidak ada yang menyenangkan. “Sangat membosankan.”
Aku melihat sedari tadi, Ayah sedang mencuci mobilnya. Dia menampakkan ekspresi muka yang senang, terlihat dari caranya menggosokkan mobil diiringi dengan nyanyian yang terbilang fals. Namun, aku tak menghiraukannya. Mungkin itu merupakan hiburan tersendiri bagi ayahku.
Ayah menyuruhku untuk mengambilkan sabun di belakang. Saat itu aku sedang seru-serunya bermain game di-smartphoneku. “Bayu, tolong ambilin sabunnya sebentar. Ayah kehabisan sabun,” ucap Ayah. “Iya, sabunnya segera dikirim,” teriakku yang bangkit dari kursi dengan malas. Aku mem-pause game yang aku mainkan, dan segera mengambil sabun.
Aku memberikan sabun ke ayah. Lalu ayah menyuruhku untuk menyiram mobil. “Siramnya pakai apa yah?” tanyaku. Ayah merespon dengan alis yang dinaikkan. “Pakai sendok, ya pakai selang lah. Kamu gak liat ada selang di sana,” ucap Ayah sambil menunjuk ke arah selang. Aku terkekeh mendengar candaan ayah. Ayah memang suka melawak, mungkin lawakannya bisa mengalahkan para pelawak yang ada di-tv, kurasa.
Setelah menyirami mobil, aku beristirahat dengan baju yang basah. Tanpa berpikir lama, aku melepaskan bajuku dan kulanjutkan dengan bermain game. Ayahku menggelengkan kepalanya.
“Bayu-bayu, kerjaan kamu main game terus.” Aku menoleh ke arah Ayah dengan tangan yang masih bergerak memainkan game. Aku sudah pro dalam hal bermain game. Tanpa melihat pun aku sudah jago. “Masih mending main game, daripada main cewek,” ucapku sambil tertawa. Ibu yang sedang menyapu teras melotot ke arahku. Aku menjadi merinding melihatnya. “Hehehe, canda Bu. Mana mungkin Bayu main cewek. Cewek aja nggak punya,” ucapku dengan ekspresi senyum yang dipaksa. Ayah tertawa melihatku. Kemudian Ibu melanjutkan menyapu, dengan sigap aku langsung masuk dengan alasan ingin mandi. Padahal aku menghindar dari mata Ibu seperti mata elang yang siap menerkam mangsa.
Malamnya, setelah makan. Aku melihat Ibu sangat sibuk menyiapkan pakaian kami. Tentunya dibantu oleh kedua adik perempuanku. Aku bersama adik laki-lakiku asik bermain game. Aku sangat hobi bermain game, malah aku mendapatkan semboyan. “Lebih baik bermain game 1 jam, daripada chattan sama cewek 1 menit.” Sungguh semboyan yang sangat aneh.
“Bayu, Aldy. Cepat tidur, besok harus bangun pagi,” ucap Ibu yang menghampiri kami berdua di ruang tamu. Adikku mengangguk dan segera pergi ke kamarnya. “Bentar lagi Bu, lagi asik nih,” ucapku sambil menatap layar hp dengan seru.
Ibu menggeleng pelan. Dia mengatakan kalo aku harus bangun pagi. Aku mengangguk, dan kemudian ibu melanjutkan menyiapkan persiapan untuk ke tempat kakek nenekku di desa.
Waktu sudah menunjukkan pukul 8. Sebenarnya itu hanya tipuan dari Ibuku. Dia membangunkanku dengan cara seperti itu agar aku cepat bangun. Setelah aku lihat jam yang sebenarnya, ternyata masih jam 5. Aku mengeluh sambil mengucek mataku.
“Ibu, aku masih ngantuk. Lagi enak-enak mimpi malah dibangunin,” ucapku dengan kepala yang naik turun. Ibu menghela napas. “Kalo gak dibangunin dengan cara itu nanti kamu gak bakalan bangun. Udah, cepat cuci muka sana, ambil wudhu, lalu sholat subuh. Liat tuh Ayah sama Aldy sholatnya di masjid.” Aku mengangguk pelan dan beranjak dari tempat tidurku.
Setelah selesai sholat subuh. Aku bermain game sebentar, hanya sekedar untuk menghilangkan hawa dingin. Ibu teriak di kamarku, aku yang berada di ruang tamu menjadi kaget. “Bayuu! Kalo bangun tidur itu tempat tidur diberesin. Kebiasaan,” ngomel Ibu sambil memegang pinggang. “Iya Bu.” Aku langsung membersihkan tempat tidur dan setelah itu mengambil handuk untuk mandi.
Byurr byurr… Airnya terasa sangat dingin. Biasanya, aku selalu mandi di atas jam 10. Berhubung karena bepergian, aku terpaksa harus mandi di jam 6. Aku menggigil tak berkutik. Sampai-sampai, aku tidak bisa merasakan sakit di tangan ketika aku mencubit diri sendiri.
Kami sekeluarga akhirnya berangkat. Di pertengahan jalan, Ayahku menyetel lagu sholawat. Lantas kami satu mobil ikut menyandung sholawat. Apalagi Ibuku, dia sangat senang mendengar lagu sholawat. Sebenarnya, itu atas protes dari Ibuku. Pasalnya, Ayahku sering memutar lagu Minang. Ibuku kurang suka karena lagu Minang banyak mengandung tentang cinta. Kurasa Ibu hanya cemburu, tapi itu malah membuatku senang, berarti Ibu sayang sama Ayah.
Hp-ku disita oleh Ibu. Dia menyuruhku untuk melihat pemandangan di sekitar perjalanan. Aku mengeluh kesal, sangat bosan jika diperjalanan tidak bermain game. Yang kumainkan hanyalah safety belt yang kutarik-tarik.
“Coba Yu, lihat di sana,” ucap Aldy sambil menunjuk. Ternyata, kedua adik perempuanku yang telah menunjukkannya.
Aku berdecak kagum melihatnya. Pemandangan yang sangat indah, gunung menjulang tinggi. Sehingga membuat mata menjadi kagum untuk memandangnya. Aku mulai tertarik untuk melihat-lihat alam sekitar. Ibuku tersenyum lebar melihatku yang mulai tertarik dengan hal lain.
Kami berhenti di salah satu rumah makan. Aku kira kami akan mampir dan makan di sana, ternyata Ayah menyuruhku untuk turun membeli nasi bungkus.
“Ayam goreng 2, ikan bakar 3, dan telur dadar 1,” ucap Ibuku sambil mengeluarkan uang di dompetnya. Aku mengangguk dan langsung keluar untuk membeli nasi bungkus. Tak lupa, atas inisiatif diriku sendiri, aku membeli air mineral.
Setelah membeli nasi bungkus, kami melanjutkan perjalanan. Aku berpikir, ini mau makan di mana? Masa di dalam mobil, nanti goyang-goyang dong. Batinku.
Kemudian kami berhenti di pinggir jalan. Aku menghela napas, tidak ada kursi bahkan meja. Hanya beralaskan bumi dan batang kayu yang lapuk. Tangan sebagai meja yang menopang nasi bungkus.
“Kita makan di sini Yah?” tanyaku. Ayah mengangguk riang, dengan muka yang ceria. Aku tahu Ayah seperti itu karena dia rindu dengan kampung halamannya. Aku membayangkan, ketika aku jadi Ayah nanti. Pasti aku melakukan hal yang serupa. “Ahh, apa yang aku pikirkan, aku fokus belajar dulu,” ucapku sambil menepuk-nepuk pipi.
Luar biasa, ternyata di sana menyimpan pemandangan yang luar biasa. Rumah makan bahkan restoran sekali pun akan kalah dengan keindahannya. Air terjun besar di seberang sana yang membuat mata dimanjakan. Aku menyantap nasi bungkus itu dengan lahap, saking terpesonanya dengan pemandangan itu.
Kami sekeluarga bersenang ria. Tidak buruk juga, selama di perjalanan tidak memainkan hp. Ibuku lalu mengambil hp dari tasnya, dan kemudian mem-foto kami yang sedang makan.
Kami telah sampai di desa. Aku menyalimi kakek dan nenekku yang telah menyambut kami. Sangat dingin berada di desa. Aku tidak melepaskan jaketku. Ibuku memberikan hp-ku. Aku sangat senang, akhirnya derita yang aku alami selama perjalanan terbayar sudah. Namun, aku kecewa, sinyal di-hp tidak ada. Maklum, di desa minim untuk mendapatkan sinyal. Jangankan ber-internetan, mau nelpon saja sulit.
Aku sangat bosan, aku duduk di depan teras dengan secangkir teh hangat. Jika diminum, teh itu tidak terasa panas karena dinginnya suhu di sana. Bingung mau melakukan apa, aku hanya memandang sawah luas membentang dan bukit yang berbaris-baris.
Sorenya, aku masih setia duduk di tempat dudukku. kali ini menunya adalah kue bolu. Nikmat sekali, ditemani dengan secangkir kopi hitam, menambah nikmatnya kehidupan.
Aku melihat gerombolan anak kecil yang sedang bermain di lapangan samping mushola. Di sana banyak sekali kegiatan. Ada lembu yang sedang memakan rumput, ada yang bermain layang-layang, kejar-kejaran, dan bermain kelereng.
Aku terasa dibawa kembali ke masa kecilku. Aku sangat bernostalgia, melihat permainan lama yang zaman sekarang sudah jarang dimainkan. Sekarang semua serba di-hp. Mau main bola, layang-layang, dan kejar-kejaran. Semua tersedia di-hp.
“Aldy, coba lihat di luar. Ada yang main kelereng,” ucapku yang memanggil adikku di dalam. Sekejap, adikku langsung keluar. “Mana yu?” Aku menunjuk dan kemudian mengajak adikku ke sana. Aku membawa hp untuk mengabadikannya.
Aku menghampiri bersama adikku. Aku melihat anak kecil sedang asik-asiknya bermain. Tawa yang menyenangkan serasa membawaku kembali mengenang masa kecil.
“Dik-dik, boleh gak abang ikutan?” tanyaku sambi memperhatikan mereka bermain. “Boleh dong bang,” ucap anak kecil itu dan kemudian memberikan satu dua butir kelereng. Aku sangat senang, dan kemudian kami bermain kelereng.
Rasa kebersamaan sangat terasa hangat, melihat senyuman tanpa berdosa mereka. Membuatku sadar, ternyata diriku selama ini dibutakan oleh teknologi, sehingga permainan zaman dulu yang mengajarkan kebersamaan yang perlahan lenyap.
Hanya bermodalkan emosi, karena tim kalah. Tidak ada asik-asiknya ketika memainkan permainan di-hp. Aku dapat menyimpulkan, ternyata di desa itu mengasyikkan, ya.
Cerpen Karangan: Bayu A.P Facebook: facebook.com/bayu.akbarpratama.12
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 24 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com