Rembulan mulai hadir menemani senyapnya malam, bintang pun turut ikut serta menghiasi langit nan gelap gulita. Aku duduk di teras menunggu sang malaikat hati kembali. Hati ini sangat risau mengkhawatirkan ibu, sudah malam begini ibu tak kunjung kembali. Aku beranjak dari tempat duduk lalu menutup pintu dan bersiap untuk mencari ibu. Aku berdiri di depan rumah, menatap pintu yang baru saja kututup. Aku berpikir sejenak. “Aku harus jaga ibu, hanya dia yang sekarang kupunya.” Seperti itulah kenyataannya, aku anak tunggal dan ayah entah dimana keberadaannya sekarang. Aku tak pernah tahu dan tak pernah mencari tahu.
Aku melangkah dengan keadaan cemas. “Farhan, kamu mau kemana malam-malam gini nak?” Tanya ibu. Kedatangan ibu sangat membuatku tenang. “Loh, ibu dari mana aja sih. Aku khawatir bu, hari ini ibu pulangnya gak kaya biasanya.” Lalu aku dan ibu masuk ke dalam rumah. Aku tahu ibu pasti sangat lelah, apalagi sebentar lagi aku harus membayar biaya ujian kelulusan. Ingin sekali rasanya aku membantu ibu mencari uang, tapi ibu tak pernah mengizinkanku. “Nak kamu harus fokus belajar, masalah biaya itu biar ibu saja yang memikirkan. Kamu gak boleh berhenti sekolah, pendidikan itu penting nak, selagi ibu masih ada ibu akan tetap menyekolahkanmu sampai kamu jadi sarjana.” Begitulah kata ibu ketika aku mengatakan hal tersebut. Ibuku banting tulang setelah ayah pergi meninggalkan kami, entah dimana dia sekarang aku tak peduli. Saat ini aku hanya mementingkan kehidupanku dan ibu.
Malam semakin larut, aku masih belum bisa memejamkan mataku. Sesekali aku beranjak dari tempat tidurku untuk melihat ibu di kamarnya. Aku tersenyum bahagia saat memandang perut ibu yang masih naik turun saat tidur lelapnya. Aku sangat takut jika ibu meninggalkanku, aku belum siap kehilangannya. “Bu, Farhan akan jadi laki-laki yang selalu ada disamping ibu. Bagaimanapun nanti keadaannya, aku tak akan pernah membiarkan ibu sendiri.” Ucapku sembari menutup pintu kamar ibu.
Aku kembali ke kamarku, kuluruskan tubuhku ini di atas bilah bambu yang menjadi tempat kasur kecilku melekat. “Aku harus cepat tidur, pokoknya besok aku harus bantu ibu bikin kue. Semoga saja kue bikinan ibu banyak yang beli, jadi ibu gak sedih terus deh.” Gumamku. Ibu selalu menginginkan agar aku bisa jadi sarjana. Tapi, aku juga tak tega melihat ibu yang selalu kelelahan seperti ini.
Saat kubuka mataku, aku mulai berjalan keluar, kuambil air wudhu dan menyegerakan sholat tahajud. Aku mengangkat kedua tanganku. “Ya Allah, berilah aku petunjuk, langkah mana yang harus kulaluai agar aku bisa membahagiakan ibuku. Aku ingin dia bisa menikmati kesuksesanku dimasa tuanya nanti. Hanya kepada-Mu aku berlindung dan hanya kepada-Mu lah aku memohon pertolongan.”
Aku melihat ibu sudah berada di dapur dan terlihat sudah bahan-bahan kue yang sudah tertata rapih di atas meja. “Farhan, kamu udah bangun nak.” Tegur ibu. “Heheh iya bu, tadi Farhan habis sholat tahajud. Farhan bantuin ibu bikin kue ya bu.” Balasku. “Aduh nak, gak usah ibu bisa kok bikin sendiri. Mending kamu siap-siap aja buat nanti sekolah.” Ucap ibu dengan senyum manisnya itu. “Kan udah Farhan siapin bu tadi malam, gak papa bu aku bantuin aja lagian ini kan masih gelap. Kalo mandi sepagi ini nanti Farhan bisa beku bu, hahaha….” Aku mulai meledek ibu. Tawa ceriapun terdengar di dapur kecil kami, memang sederhana namun sangat berarti bagiku masih bisa bercanda tawa dengan ibu seperti ini.
Ketika matahari mulai tersenyum pada langit, aku mulai melangkahkan kaki kecilku ke sekolah setelah berpamitan ke malaikat hati, ibuku tentunya. Tak lupa kubawa keranjang berisi kue buatan ibuku, yah kue ibuku ada di kantin sekolah makannya aku bawa sekalian. Jalanan terlihat sangat ramai, aku melihat laki-laki dewasa berdasi dengan gagah, dia menggandeng soerang wanita tua memasuki mobil mewah. “Suatu saat nanti aku juga akan seperti kakak itu, aku tak akan melupakan ibu ketika aku sudah sukses nanti.” Saat ini aku hanya bisa menghayal hal-hal indah seperti itu. Aku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan. “Hmm, andai aja aku udah besar pasti udah kubantu ibu mencari uang. Biar ibu duduk manis di rumah dan aku yang kerja buat ibu.” Tapi sayangnya, dewasa juga butuh proses dan penantian tak langsung menjadi secepat itu.
Seperti biasa, di jalan aku menemui sahabatku dulu, Arif namanya. “Woy, kusut banget tu muka. Eh, nanti ikut futsal yuk di lapang biasa.” Kata Arif. “Gak buat hari ini deh, lain kala aja yah.” Jawabku. Perjalanan kami menuju sekolah penuh canda tawa, sampai-sampai tak terasa kalo udah sampe di depan sekolah. “Rif, lo masuk kelas dulu deh gue mau ke kantin nganter kue dulu.” Ucapku. “Ya udah gue duluan.” Balas Arif.
Aku sangat berharap kue ibu laris di kantin sekolahku, begitu juga yang di warung-warung luar. Setidaknya dari kue ini aku dan ibu masih bisa makan. “Assalamu’alaikum bi, ini kuenya aku taro sini yah.” Ucapku pada bi Imah, ibu penjaga kantin di sekolah. “Wa’alaikumsalam, eh tumben bukan ibumu yang nganter.” Kata bi Imah. “Heheh… ya gak papa bi, kan rasanya juga gak akan beda kalo yang nganter.” Balasku tertawa meledek bi Imah. Setelah bel pulang berdering, akupun bergegas menggendong tasku. Melangkahkan kaki kecilku menuju ke masjid, karena hari ini hari Jum’at. Maka aku tak langsung kembali ke rumah, aku sudah membawa baju ganti untuk berjaga-jaga saja takutnya baju yang kukenakan kotor saat di sekolah. Tidak baik kan menghadap Sang Pencipta dalam keadaan kotor.
Selesai melaksanakan sholat Jum’at aku duduk termenung, entahlah apa yang sedang kupikirkan. Hanya saja perasaanku tak nyaman, seperti ada sesuatu yang akupun tak tahu. Sampai pak ustad menghampiriku. “Han, gimana dengan hafalanmu?” Tanya pak ustad sembari menepuk pundakku. “Alhandulillah masih lanjut pak.” Banyak hal yang kuperbincangkan dengan pak ustad.
Tiba-tiba pak Parmin mengejutkanku. “As… assalamu’alaikum, Han pul… pulang sekarang Han.” Ucap pak Parmin dengan nafas yang terengak-engak. “Wa’alaikumsalam Wr. Wb.” Balasku bersama pak ustad. “Pelan-pelan Min, jangan buru-buru kaya gitu. Coba jelasin ada apa? Kok kamu sampai pucat gitu.” Tegur pak ustad. “Iya pak ada apa sih, jangan bikin orang panik gini deh.” Sambungku. “Itu lo Han, eee… kamu yang sabar yah, yang tenang yang ikhlas.” Ucap pak Parmin gemetar. “Sabar? Ikhlas? Ada apa sih pak?” Tanyaku penasaran. Aku mulai geram dan sedikit takut mendengar ucapan pak Parmin, perasaanku pun sudah gak karuan dari tadi. “Ibu kamu Han, ibu kamu meninggal.” Ucap pak Parmin sembari mengusap pundakku. “Innalillahi wainnailaihi roji’un, Han ayo kerumah sekarang.” Ajak pak ustad. Aku berlari walau langkahku gemetar, aku menangis dan aku madih tak menyangka ini semua terjadi. Dalam langkahku aku selalu bergumam bertanga. “Apa ini mimpi? Atau kenyataan? Tidak, ini gak mungkin terjadi. Tadi pagi ibu baik-saja, kenapa sekarang. Ini gak mungkin gaaak..”
Seperti mimpi yang tak pernah kualami sedikitpun dalam tidurku, benar saja sudah banyak orang berkerumun di teras rumahku. Bendera yang tak kuinginkanpun sudah terpasang. Air mata tak bisa kutahan, sejenak aku menjadi laki-laki yang cengeng. Dalam benakku penuh tanya. “Apa yang telah kulewati?” Aku memeluk tubuh ibu yang sudah terbujur kaku dengan tubuh yang mulai mendingin. Tubuhku gemetar seolah menolak kenyataan ini, sampai ibi dikuburpun aku masih merasa tak percaya dengan apa yang telah kulihat. “Bu, kita kan baru bercanda tadi pagi ibu juga gak papa kok tadi. Kenapa ibu cepat banget perginya bu, ibu kan udah janji mau nemenin aku sampai aku selesai pendidikan.” Aku berbicara seolah sedang menolak takdir. “Farhan, kita tidak bisa menentang takdir, Allah juga tidak akan menunda apa yang sudah menjadi kehendak-Nya. Apapun dan dimanapun, kalo itu sudah takdirnya pasti terjadi, Farhan kan tau itu nak.” Ucapku pak ustad.
Dua tahun telah berlalu, setelah ibu meninggal dunia aku tinggal di pondok pesantren milik pak ustad. Setelah menyelesaikan ujianku aku juga masuk SMA lewat jalur beasiswa. Akupun tetap melanjutkan hafalanku di pesantren. “Alhamdulillah ustad, akhirnya aku bisa menyelesaikan hafalanku.” Ucapku penuh syukur. “Ibumu pasti sangat bangga nak, dengan hafalanmu ini kamu bisa menghadiahkan kado terindah untuk ibumu di surga.” Bahagia sekali rasanya, walaupun ibu tak ambil peran dalam perjalananku ini. Aku kembali ke tempat dimana tempat itu menjadi saksi perjuangan ibu membesarkanku, rumah yang selama ini kutinggal demi pendidikanku. Aku mendatangi makam ibu, tak lagi meneteskan air mata. Aku bukan lagi anak laki-laki seperti dua tahun lalu, kuusap batu nisan yang bertuliskan nama ibu.
Kehilangan memanglah menjadi hal yang paling ditakuti banyak orang, tapi percayalah bahwa di balik kepedihan akan ada hal indah. Cinta kasih ibu memang tak akan pernah tergantikan oleh apapun dan siapapun. Entah secantik apapun wanita lain, setangguh apapun wanita lain, tetaplah “ibu” sosok wanita yang selalu ada di benak seorang anak. Kehilangan sesosok ibu bukan berarti kehilangan arah hidupmu, justru kita harus menjadi lebih kuat dengan adanya hal tersebut. Kita memang tak bisa memberikan segalanya, tapi setidaknya kita telah berusaha. Berikan apapun yang bisa kita lakukan untuk orangtua kita.
Cerpen Karangan: Iva Anggraini Blog / Facebook: Iva Anggraini
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 30 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com