Ara duduk diatas karang yang cukup besar pada tepian pantai, kakinya memainkan butiran pasir gelap dengan perlahan. Wajahnya tak bersinar, baru kali ini ia terlihat begitu suram. Sorot matanya sendu, hanya menatap ujung dari garis laut dengan sesekali menghembuskan nafas beratnya. Tangannya mulai merangkak mengambil bingkai foto yang ia letakan disampingnya, nanarnya tak hidup sama sekali, seperti ada sesuatu yang mati dalam dirinya, ada yang kosong dan tak bertuan. Tangannya dengan perlahan mengusap bingkai foto kayu berwarna coklat itu, matanya seakan berbicara banyak hal yang tak dapat dilontarkan oleh mulutnya. Ya memang begitu bukan? Banyak sekali hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, banyak perasaan yang dijelaskan oleh tatapan mata. Seperti apa yang dilakukan oleh Ara saat ini.
“Waktunya sudah habis ya?” Ara mulai tersedu, didekapnya bingkai foto yang tak begitu besar itu dengan erat. Ada sesuatu yang hilang dalam hatinya, baru saja hilang tepatnya dan ini adalah masa-masa yang jika boleh.. tak ingin Ara alami dan rasakan dalam hidupnya. “Waktunya sudah habis ya?” Ara kembali meracau, ia mulai terduduk pada hamparan pasir gelap dan sesekali uraian rambutnya tersapu angin pantai yang tak begitu kencang.
“Ayah? Masih banyak sekali hal yang belum aku ceritakan” Ara menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangkup wajahnya sendiri dan kembali menangis setelah berhasil berbicara walau ia rasa lidahnya telah kelu untuk sekedar mengeluarkan suara. Tangisnya semakin kencang saat suara ombak menderu, dilihatnya kembali bingkai foto yang sempat ia letakkan, ayahnya tersenyum disana.
“Kau ingin bercerita perihal apa, Ananda?” dilihatnya dari kejauhan seseorang yang paling ia kenal dan inginkan ada disampingnya saat ini berjalan mendekatinya dengan pakaian yang kerap dikenakan semasa hidupnya. Itu ayahnya. Ara bangun dengan sigap, tangisnya semakin menjadi-jadi, “Kenapa baru datang sekarang? Ara sudah menunggu lama sekali.” Ara mengusap air matanya dengan cepat, kakinya yang lemas dipaksa berlari mendekati sang ayah, dipeluknya raga yang terasa nyata itu dengan erat bak tak ingin berpisah untuk kedua kalinya.
“Sebentar lagi aku lulus kuliah.” Isaknya dalam dekapan sang ayah, ayah mengusap puncak kepala anak gadisnya dengan tenang. “Seperti kata ayah, ayah ingin lihat aku lulus kuliah kan? Aku sudah hampir sampai digaris finish, yah” isakannya semakin keras, ayahnya hanya terdiam dan mengusap kepala Ara dalam diam. “Anak ayah sudah berhasil ya” Ara mengeratkan pelukannya, andai ia benar-benar bisa mendekap dan mengucapkan hal ini secara langsung pada ayahnya, rasanya seperti ia dapat membuktikan dengan nyata pada ayahnya bahwa ia bisa dan kuat sampai akhir.
Ayah menepuk pundak Ara dengan perlahan, mengisyaratkan Ara untuk berjalan pada tepian pantai dengan pasir yang basah. Ara menurut, digenggamnya tangan sang ayah dan mulai berjalan perlahan. Ara menatap sang ayah dalam diam, irit sekali bicaranya sedari tadi. “Ayah, aku masih belum sempat bilang seberapa aku sayang ayah.” Ara makin menggenggam tangan ayahnya dengan erat, diingatnya beberapa hari kebelakang seberapa beratnya ia harus menerima kenyataan pelik yang menamparnya dengan tidak santai.
“Tak bilang pun ayah tau kamu sangat sayang ayah” Ayah terkekeh perlahan menatap Ara yang masih sedikit tersedu. “Ara, kehilangan itu adalah sesuatu yang pasti dan tidak akan bisa kamu hindari. Tak semua hal yang kamu lewati akan sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Setidaknya, kamu harus bersahabat dengan waktu, kamu tau bukan? Waktu menyembuhkan banyak hal. Seperti kosongnya hatimu saat ini.” Ayah tersenyum, itu adalah senyum yang Ara rindukan beberapa hari ini.
Ara masih terdiam bergelut dengan pikirannya sendiri. Banyak hal yang ia pikirkan dan bayangkan termasuk skenario ‘kalau saja…’. Ara berhenti dan menatap wajah ayahnya yang tersenyum melihatnya. Kalau saja diberikan waktu untuk mengulang kembali, Ara juga rasanya tidak akan sanggup. Mana mungkin ia mengulang untuk berpisah kembali. Ya, ini memang sudah jalannya kan?
Pada akhirnya, ini semua hanya sebuah permulaan. Ara yang harus berdamai dengan keadaan serta waktu, Ara yang harus berdamai dengan dirinya sendiri, Dan Ara yang harus berdamai dengan kenangannya bersama ayah.
“Ayah, dari banyaknya hal yang aku lalui bersama ayah dan keluarga kita.. aku bersyukur bisa berada di keluarga ini. Dari banyaknya cerita, tawa, sedih, marah dan segala emosi yang aku rasakan.. Ayah tetaplah ayahku. Ayah tetap menjadi laki-laki pertama yang aku cinta.” Ara kembali terisak, air matanya mendesak keluar hingga matanya memerah dan bulir-bulir itu jatuh begitu saja tanpa dapat dibendung.
“Ayah, aku tidak ingin mengulang lalu. Meskipun hati kecilku ingin sekali merasakannya kembali. Sejauh apapun ayah saat ini, ayah hanya akan menjadi ayahku dan selalu menjadi ayahku.” Ara menepuk pundak sang ayah. Ditatapnya ayah dengan tatapan sok tegar, ya setidaknya meskipun menangis, ia tak begitu terlihat terpuruk. Ya setidaknya itu kepercayaan Ara.
“Ara, ayah tidak pergi jauh. Ayah selalu ada disini, terpatri dalam hati dan jiwamu. Ayah sejatinya dekat dan tetap melekat untuk mengasihimu. Seperti kasih sayang seorang ayah, ayah akan tetap melindungimu, jadi jangan terpuruk terlalu lama.. karena ayah tak kemana-mana” Ayah tersenyum tipis dan mendekap Ara yang yang menangis dalam diam, dibalasnya pelukan sang ayah dengan erat.
“Ara! A-ara!” Ara mengerjapkan matanya beberapa kali, sangat berair. Diusapnya kedua kelopak matanya lalu segera duduk melihat sekeliling kamarnya. Yang pertama kali ditangkap oleh nanarnya ialah bunda yang nampak khawatir, matanya berkaca-kaca dan mengguncang pundak Ara. “Bunda?” Sedikit bingung melihat bunda, bunda kenapa ya? “Ara tidak apa-apa kan?” Ara terdiam, dilihatnya sebelah kiri kasur ada bingkai foto sang ayah dan kakinya yang sedikit berpasir. Dahinya berkerut, matanya mulai berair kembali.
“Bun, waktunya sudah habis ya?”
Cerpen Karangan: Anindita Satya Blog: satyanandawashere.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 30 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com