Matahari telah menunjukkan eksistensinya, ibu bergegas menata meja di depan rumah. Meja dipenuhi sebakul nasi kuning dan berbagai lauk menggugah selera yang dimasak sedari jam tiga. Saat kebanyakan orang masih bermesraan dengan guling dan kasur empuk, ibu sudah bergelut dengan asap dapur yang begitu pedih di mata. Ibu rela bangun lebih awal untuk memenuhi kebutuhannya bersama seorang putri yang hidup di bawah istana rapuh pada sebuah pinggiran kota dengan padi hijau membentang sepanjang kanan kiri jalan.
“Bu, Ajeng berangkat dulu ya”, seru gadis berambut keriting sambil tergesa memakai sepatu. Ajeng, anak ibu satu-satunya yang sedang menempuh pendidikan SMA kelas 11. Gadis berkulit kuning langsat itu merupakan siswa paling cerdas di sekolah, banyak juga kejuaraan olahraga voli yang dimenangkan bersama timnya. “Sarapan dulu, nak. Biar kuat nanti latihan volinya”, ucap ibu sambil membungkus nasi kuning untuk putrinya yang tidak sempat sarapan di rumah. “Terima kasih ibu bidadari, semangat bungkusin nasi kuningnya hahaha”, goda Ajeng. “Dadah ibuku!”, belum sempat ibu membalas dengan lambaian tangan, Ajeng sudah ngebut bersama sepeda birunya.
Di jalan menuju sekolah, Ajeng tidak sengaja menabrak kucing mahal berbulu halus yang sedang berkeliaran di komplek yang dilewati. “Waduhh!!! Kucing siapa ini ya ampun, kucing mahal lagi. Cing (kucing) kamu tidak apa-apa kan? Sudah hampir jam tujuh! Kamu ikut ke sekolah saja yang Cing, nanti lukamu diobatin di UKS, let’s go!!!”.
Kring!!!!! Bel istirahat berbunyi, “Rara, temenin aku ke UKS yuk, obatin Cing kasian kakinya luka”, ajak Ajeng. “Boleh, ayo Ajeng cepetan”, jawab Rara. Rara, gadis mungil berambut lurus teman sebangku Ajeng. Tinggi Rara hanya sepundak Ajeng sang atlet voli. Sudah empat tahun Rara menjadi teman yang sangat akrab bagi Ajeng.
“Kamu ini nyulik di mana, Jeng? Ini kucing mahal lho, nanti kamu dipenjara gimana? Hahaha”, tanya Rara yang penasaran. “Kamu jangan gitu dong, aku jadi ngeri. Tadi tuh aku naik sepeda ngebut, terus belum sempet ngerem pas kucing ini nyeberang, dan terjadilah kecelakaan lalu lintas, hahaha. Nanti aku balikin lagi kok ke komplek tempat kucing ini ketabrak”, jelas Ajeng. “Nanti aku ada latihan voli, jadi aku ngga bisa boncengin kamu ya Rara mungil, hahaha”, ucap Ajeng sambil tertawa. “Mungil gini tapi lucu kan, hahaha”, ucap Rara percaya diri.
Selepas latihan voli Ajeng bergegas meninggalkan lapangan. Matahari sudah tak menampakkan senyumnya, ia mengayuh sepeda tua menuju komplek untuk mengembalikan kucing putih yang begitu lucu. Ajeng kebingungan, siapa pemilik kucing mahal ini. Namun Ajeng tak sengaja melihat kucing itu mengenakan liontin berwarna silver. Rio, ya liontin silver itu bertuliskan “Rio”. Entah itu nama pemiliknya atau justru nama si kucing menggemaskan.
Dari kejauhan nampak laki-laki berbadan tinggi seperti sedang mencari sesuatu. Laki-laki itu terlihat sedikit frustasi, seperti orang yang tengah patah hati ditinggal pujaan hati. “Halo, kak. Sedang cari apa?”, tanya Ajeng tanpa basa-basi. Dengan wajah terkejut laki-laki itu menjawab, “Sedang cari kucing kesayangan, dari pagi belum kelihatan. Kucingnya sama kaya ini”, tunjuknya ke kucing yang digendong Ajeng. Benar! Laki-laki itu patah hati ditinggal pujaan hati, yaitu seekor kucing. “Lho, ini persis kucing saya, coba lihat liontinnya. Wah, benar. Kamu nyulik kucingku ya?, lanjut laki-laki itu. “Maaf kak…” “Jadi benar kamu nyulik kucingku?”
“Jadi gini kak… Tadi pagi saya buru-buru ke sekolah, terus saya tidak sengaja menabrak kucing ini. Saya lihat dia luka, jadi saya bawa ke sekolah buat diobatin di sana karena saya sudah terlambat”, jelas Ajeng dengan percaya diri. “Kamu tidak bohong kan? Terima kasih ya, kamu tidak kabur begitu saja. Saya tidak menyalahkan kamu kok. Kamu masih remaja tapi rasa tanggung jawabmu hebat. Ngomong-ngomong, hari sudah gelap, kamu baru pulang sekolah?” “Iya kak, saya latihan voli dulu jadi pulangnya agak terlambat. Kalau gitu saya pergi dulu ya kak, sekali lagi maaf sudah melukai kucing kesayangan kakak.” “Iya tidak apa-apa, lagian kelihatannya kucingku baik-baik saja, terima kasih ya. Rumah kamu di mana? Biar saya antar.” “Rumah saya deket sini kok, tidak perlu diantar kak, terima kasih”, Ajeng mengakhiri.
Minggu pagi adalah hari untuk Ajeng membantu ibu berjualan nasi kuning yang cocok menemani hari libur keluarga. Banyak pembeli mengerubungi ibu dan Ajeng, namun para pembeli tetap sadar budaya antri. Ketika warung mulai sepi terdengar suara laki-laki, “Bu, saya nasi kuning sama ayam goreng satu, makan sini ya bu.” Ajeng mendatangi sumber suara untuk menanyakan apa minuman yang akan dipesan. “Mau minum apa kak?” Keduanya bertukar pandang dan terkejut. “Saya minum teh anget tawar saja. Lho, kamu yang waktu itu kan?”, tanya laki-laki itu sambil menarik ujung bibirnya. “Iya, kak. Saya Ajeng, yang nabrak kucing kakak sekaligus anak Ibu Asih nasi kuning hehehe”, jawab Ajeng. “Oh, halo Bu Asih, saya Rio”, ibu membalas senyum berseri. “Ini pemilik kucing yang Ajeng tabrak bu, yang Ajeng ceritakan semalam”, bisik lirih ke ibu. “Kamu naksir ya, nak?”, goda ibu yang berakibat pada pipi Ajeng merah seperti tomat.
Tiba-tiba, “Ajeng!!! Eh maaf Bu Asih, Rara terlalu semangat.” “Rara emang ceriwis banget nih”, ucap ibu sambil membereskan baskom yang sudah kosong. “Ajeng, itu siapa yang lagi makan? Bersinar banget kaya idol Korea Kim Taehyung,” “Emang kamu pernah lihat Kim Taehyung hah? Jadi dia tuh orang komplek Davinci. Dia pemilik kucing yang aku tabrak, Ra. Untung dia baik, tidak menyalahkanku, beruntungnya Ajeng cantik ini.” “Kamu mau kusentil, Jeng?”, protes Rara kepada Ajeng.
“Jadi berapa bu?” “Nasi kuning, ayam, sama teh tawar anget, jadi 13 ribu, nak Rio.” “Ini saya bayar ya bu. Mari Bu Asih, Ajeng dan temannya, saya pamit.” “Iya kak, hati-hati’, jawab Ajeng dan Rara serempak. Ibu hanya memberikan senyumnya yang begitu hangat. “Ajeng, ayo ke kamar kamu, kita siap-siap berenang, biar tinggiku sama kaya atlet voli kebanggaan satu ini”, bujuk Rara sambil kesulitan merangkul pundak Ajeng.
Malam hari, saat hanya terdengar suara jangkrik saling bersahutan adalah waktu yang paling tepat untuk mencurahkan kasih sayang antara ibu dan anak. Dua perempuan yang saling menguatkan, saling mengasihi dan menyayangi duduk berdampingan di pinggiran kasur yang jauh dari kata empuk. Wajah letih ibu tidak dapat disembunyikan, oleh senyuman manis mengandung gula sekalipun. Ajeng hanya membisu, menatap bidadari bernama ibu. Juga ibu, diam tanpa kata menatap peri kecil bernama Ajeng. Istana rapuh yang ditinggali, tak pernah sepi meski hanya ada dua penghuni. Begitu ramai, damai, tenang, dan hangat. Ramai sebab keceriaan Ajeng, sesekali dibumbui keceriwisan Rara yang hampir setiap hari berkunjung. Begitu damai dan tenang sebab ibu yang begitu lembut. Hangat sebab kasih sayang tak terbendung antara Ajeng dan ibu.
“Ajeng anakku sayang, ibu istirahat dulu ya cantik”, ucap ibu memecah keheningan. “Iya ibu bidadari. Selamat istirahat ya”, ujar Ajeng sambil mengelus pipi ibu. “Badan ibu panas sekali, ibu sakit ya? Ayo ke puskesmas saja bu”, “Tidak apa-apa nak, belikan obat di warung saja ya”, ucap ibu dengan senyum khasnya. “Iya ibu, Ajeng langsung ke warung ya.”
Ajeng bergegas menuju warung untuk membeli obat. Ajeng begitu khawatir akan kesehatan ibu. Di perjalanan ke warung, meneteslah air mata Ajeng yang begitu takut terjadi apa-apa kepada ibunya.
Ajeng terbangun dari tidurnya sebab suara yang begitu sibuk di dapur. Ternyata ibu sedang berperang dengan sutil, wajan, dan teman-temannya. Ajeng terbengong ketika melihat ibunya yang begitu bersemangat memasak untuk berjualan. Ibu sangat bekerja keras menghidupi keluarganya. Keluarga yang hanya ia dan Ajeng di dalamnya. Tanpa suami ataupun ayah. Sudah dua tahun terakhir Ajeng dan ibu tinggal berdua. Ditinggalkan oleh pangeran yang amat dicintai untuk selamanya. Pak Broto, ayah Ajeng yang begitu berwibawa dan gagah namun dilemahkan oleh sakit yang dideritanya. Sepeninggal ayah, Ajeng menjadi anak yang kuat untuk menjaga ibunya, juga bersemangat untuk meraih mimpi. Mimpi untuk menjadi atlet voli yang mengharumkan nama bangsa dan membanggakan ibu tercinta.
Hari ini, hari yang menjembatani menuju mimpi Ajeng. Pertandingan voli tingkat nasional yang menjadi langkah untuk go internasional. Ajeng berlari membawa kemenangan menghampiri ibu, Rara, dan Rio. Ya, Rio!
Sudah enam bulan berjalan Ajeng dan Rio menjadi sepasang kekasih yang saling melengkapi. Rio adalah mahasiswa semester awal jurusan hukum di universitas negeri bergengsi. Sejak awal bertemu, Rio begitu kagum terhadap Ajeng gadis berambut keriting. Ia mengagumi keceriaan, kebaikan, dan ketulusan yang ada pada diri Ajeng. Rio berasal dari keluarga yang berada, ayahnya seorang pengacara dan ibunya menjalankan bisnis kosmetik merek ternama.
Berawal dari kemenangan Ajeng dan tim volinya pada tingkat nasional, Ajeng menjadi salah satu atlet kebanggaan yang mengharumkan nama Bangsa Indonesia selama bertahun-tahun. Kini usia Ajeng sudah 25 tahun dan ibu jelas tidak muda lagi juga sakit-sakitan. Ajeng memutuskan untuk menikah dengan Rio, kekasih yang selama ini setia bersamanya. Ibu sangat bersyukur melihat putri cantiknya begitu dicintai oleh laki-laki yang baik.
Pada pagi sebelum akad nikah berlangsung, ibu duduk dengan mempelai pria yaitu Rio, bicara dari hati ke hati. “Nak, Rio. Ibu sangat menyayangi Ajeng putri ibu satu-satunya. Ajeng begitu ceria, hangat, dan tulus kepada ibu. Ajeng tidak pernah sekalipun menyakiti ibu, justru kebahagiaan terus mengalir darinya. Ibu bangga kepada Ajeng yang terus bekerja keras dan pantang menyerah. Dia menggunakan kemampuannya dengan begitu baik. Ibu terharu akan betapa baiknya putri ibu. Ibu bersyukur, Ajeng bertemu dengan Rio laki-laki baik pula. Jadi ibu tidak perlu khawatir akan kebahagiaan dan kenyamanan Ajeng nanti. Tolong jaga, sayangi, dan bimbing Ajeng ya nak Rio. Ibu percaya, ibu sangat percaya kamu bisa melakukannya. Terima kasih, nak’, ucap ibu terbata karena menahan air mata meluncur di pipinya. “Iya, bu. Itu kewajiban saya sebagai laki-laki yang sebentar lagi menjadi suami anak ibu. Saya janji akan menyayangi Ajeng dengan setulus hati, ibu tidak perlu khawatir”, Rio meyakinkan ibu.
“SAH!!!!!”, kata itu terdengar memenuhi seluruh ruangan. Kini putri kecil ibu sudah menemukan pangerannya. Pangeran yang akan membimbing dan menyayanginya. Ibu sangat lega, hanya kebahagiaan Ajeng yang menjadi kebahagiaan ibu di masa-masa tuanya.
Seminggu berselang, kesehatan ibu menurun yang diharuskan rawat inap di rumah sakit. Sudah dua hari Ajeng tidak tidur, hanya sibuk menatap ibunya yang tak kunjung beranjak dari masa kritis. Rio juga setia menemani Ajeng yang begitu rapuh melihat keadaan ibunya. Kerapuhan itu semakin menjadi tatkala pukul 03.10 WIB datang, waktu di mana ibu menghembuskan nafas terakhir dengan senyum berseri. Mungkin ibu pergi dengan lega, putrinya kini telah bahagia.
Rumah tangga Ajeng dan Rio begitu harmonis, kebahagiaan terus tercipta dari keduanya. Rio menjadi suami idaman yang nyaris sempurna. Sering memberikan kejutan-kejutan kecil namun sangat berarti. Di akhir pekan menghabiskan waktu bersama Ajeng, entah di rumah, nonton di bioskop, ataupun jalan-jalan ke tempat yang damai. Semua dilakukan berdua dengan sepenuh hati.
“Istriku sayang, aku berangkat kerja dulu ya. Kamu di rumah saja, kalau mau kemana-mana bilang ya sayang”, kata yang begitu manis terucap dari suami idaman. “Iya sayang, ini bekel kamu, jangan lupa dimakan yaa”, ucap Ajeng sambil menyiapkan kotak makan. “Nanti Rara mau dateng ke rumah? Boleh kan?”. Persahabatannya dengan Rara masih terjalin dengan baik. “Iya boleh, biar kamu ada teman di rumah”, ucap Rio.
Hingga suatu ketika kelembutan dan ketulusan hati seorang Rio suami idaman yang nyaris sempurna berubah 180 derajat, begitu berbanding terbalik. Rio sudah mulai membentak Ajeng istrinya. Namun Ajeng berusaha berpikir positif, “Mungkin suamiku terlalu capek bekerja sampai malam”, yakinnya.
Namun hari demi hari, semakin parah perlakuan Rio kepada Ajeng. Begitu banyak luka memar di kulit Ajeng yang begitu halus. Kulit selembut itu tidak pantas mendapat perlakuan kasar. Entah apa yang melandasi Rio melakukan perbuatan keji itu. Ajeng sudah cukup baik menjadi istri yang nurut suami, perhatian, dan selalu terbuka dengan suaminya.
Suara pukulan menyakitkan yang terdengar di kamar mandi sangat mencabik-cabik perasaan. Ajeng begitu lemah di hadapan suaminya yang sangat brutal. Brengsekkk!!! “Tolong berhenti!!!! Aku salah apa sama kamu??!! Kita bisa bicara baik-baik tanpa kamu memukuliku berkali-kali. Aku sudah muak dengan perlakuanmu, aku tak berdaya”, Ajeng terisak meringis kesakitan. “Aku capek. Capek!!!! Aku Cuma pengen melampiaskan rasa capek aku ke kamu! Dengan aku pukulin kamu, capekku hilang terbayarkan”, ujar Rio dengan suara dan wajah psikopat.
“Aku sudah selesai memukulimu, bangun!!! Aku mau cari udara dan kamu diam di kamar, jangan lapor siapa pun, atau kamu akan habis ditanganku!” Ajeng tidak habis dengan perubahan sikap Rio yang begitu kejam.
“Ibu, Ajeng kangen. Ajeng kesulitan, menderita, dan tersiksa. Ingin rasanya menyusul ibu dan ayah. Ajeng kira, Ajeng akan hidup bahagia dan damai. Ajeng kira, akan disayangi dan dibimbing oleh suami yang aku pilih. Menantu yang ibu ajak bicara dari hati ke hati sebelum akad bahwa ibu sangat percaya kepadanya akan kebahagiaan dan kenyamanan Ajeng. Namun, kaki-laki itu mengabaikan kepercayaan yang diberikan ibu, dia menghancurkan bungkusan kepercayaan ibu. Tapi ibu tidak perlu khawatir, Ajeng akan selalu kuat dan bangkit melepas jeratan siksa dari laki-laki brengsek ini”, yakin Ajeng dengan air mata dan darah yang sama mengalir.
Cerpen Karangan: Nur Hikmah Blog / Facebook: Nur Hikmaah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com