“Mereka harus pergi dari desa ini. Ini bukan desa mereka!”, ucapku. “Ya, mereka tidak bisa seenaknya tinggal di desa orang!”, sahut Dio. “Benar sekali, Nando. Kita harus mengusir mereka!”, Alam menambahkan.
Di tengah malam yang dingin, di salah satu teras rumah yang ada di desa, aku berbincang dengan dua sahabatku, Dio dan Alam. Ini adalah perbincangan kesekian kalinya tentang ketidaksukaan kami dengan pendatang yang datang tempo hari.
Perkara ini berawal dari kejadian seminggu yang lalu. Ketika ada satu keluarga yang datang dari kota besar. Keluarga ini terdiri dari sepasang suami-istri dan satu putranya, seumuran dengan kami bertiga. Aku sangat tidak suka dengan mereka. Hei, mereka sangat berbeda. Maksudku, lihatlah! Kulit kami coklat kekuningan seperti sawo matang, sedangkan kulit merka warnanya putih pucat seperti mayat. Mata mereka sipit, sedangkan kami tidak. Mereka sangat berbeda, bukan?
Semenjak kedatangan mereka, kami bertiga selalu berdiskusi dan menyusun rencana agar mereka pergi dari desa kami. Sudah berbagai cara kami lakukan, seperti melemparkan batu kedalam rumah mereka, mengucapkan ucapan kasar kepada mereka, serta mencoret-coret tembok rumah mereka dengan kata-kata kasar. Namun mereka hanya diam. Hal ini membuatku merenung, apakah yang kami lakukan masih belum cukup untuk mengusir mereka?, ucapku dalam hati.
“Hei, bagaimana kalau kita lemparkan petasan saja ke dalam rumah mereka? Pasti mereka akan merasa terancam dan pergi dari desa kita.”, usul Alam. “Ide yang bagus! Baiklah, besok pagi kita akan pergi mencari petasan di pasar. Malam harinya, kita akan berkumpul lagi dan melaksanakan aksi kita.”, Alam membalas. “Baiklah, itu yang akan kita lakukan.”, ucapku sembari menutup percakapan di malam ini.
Esok harinya, kami bertiga pun berjalan menuju pasar. Kami menghabiskan uang tabungan kami hanya untuk membeli petasan. Sangat aneh, bukan? Tapi itulah yang kami lakukan. Kami membeli satu plastik besar berisi petasan. Lihat pendatang, kalian akan selalu mengenang kejadian malam hari ini, gumamku sambil tersenyum jahat. Aku membawa plastik besar itu dan membawanya pulang.
Di perjalanan pulang, kami pun membayangkan bagaimana ekspresi pendatang itu Ketika kami melemparkan petasan ke rumah mereka. “Pasti mereka akan pergi dari desa ini.”, ucapku. “Benar sekali, kawan. Mereka akan pergi dan tidak akan kembali lagi.”, Dio membalas. “Yah, ini adalah desa kita. Kita bebas melakukan apa saja kepada mereka. Mereka hanya pendatang. Salah mereka sendiri kenapa pindah ke desa kita. Hahaha.”, ucap Alam sambil tertawa. “Ahahahaha.”, kami pun tertawa bersama.
Di tengah perjalanan pulang, kami melewati jalan setapak yang letaknya persis di sebelah sungai. Aliran air yang cukup deras serta bebatuan besar yang ada di sungai membuat orang-orang enggan untuk beraktivitas di sungai walau hanya sekedar mandi. Sungai itu bukan sungai yang dalam, namun tetap berbahaya. Kami menyusuri jalan setapak yang ada disitu dengan berlari. Kami tidak sabar untuk menyusun rencana kami ini.
Saat kami sedang berlari sambil tertawa terbahak-bahak, aku terpeleset. Tubuhku masuk ke dalam sungai dan terseret arus deras. Aku pun sontak berteriak minta tolong. Dio dan Alam yang sudah jauh berlari di depan masih mendengar teriakanku. Mereka kaget dan berusaha menolongku. Namun apalah daya, tubuhku terseret arus deras sungai itu. “NANDOOOO!!!!”, teriak Dio. “NANDOOO!!! BERTAHANLAH! KAMI AKAN MENOLONGMU!”, ucap Alam.
Tubuhku menghantam bebatuan yang ada di sungai. Sakit sekali rasanya. Seketika aku tidak bisa menggerakkan badanku karena kehabisan tenaga. Kepalaku menghantam salah satu batu yang ada disitu. Tidak besar, namun cukup membuatku hampir kehilangan kesadaranku. Di saat aku kehabisan tenaga, aku melihat kedua sahabatku menghampiri tubuhku dan berteriak minta tolong. “TOLONG! ADA YANG TERLUKA!”, teriak Alam. “BERTAHANLAH, NANDO! PERTOLONGAN AKAN DATANG.”, ucap Dio menguatkanku. Di ujung kesadaranku, aku melihat orang yang menggendongku dan membawa tubuhku. Dan aku pun pingsan.
Aku terbangun di puskesmas desa. Aku melihat kedua orangtuaku menangis dan sontak memelukku ketika aku bangun. Kedua sahabatku juga memelukku erat. “Nando, kamu masih hidup. Syukurlah.”, ucap Papa. “Nando, jangan tinggalkan kami. Kami ingin kamu masih hidup.”, ucap Dio.
Di tengah-tengah keharuan dan tangisan kedua orangtuaku, masuklah Pak RT dan keluarga pendatang itu. Hei, apa yang ingin mereka lakukan disini? Aku tidak suka dengan kehadiran mereka, ucapku dalam hati. “Nando, perkenalkan. Beliau adalah Pak Dirga. Beliau pengusaha yang selalu membantu desa kita. Apakah kamu tahu balai desa kita? Beliaulah yang mendanai pembangunan balai desa itu. Beliau juga mendedikasikan hidupnya sepenuhnya untuk desa ini.”, ucap Pak RT.
“Halo, Nando. Perkenalkan, nama saya Dirga. Alasan saya mendedikasikan hidup saya untuk desa ini tidak lain dan tidak bukan karena papa kamu. Papa kamu dulu pernah menyelamatkan hidup saya ketika saya pertama kali datang di desa ini. Waktu itu, mobil saya mogok dan hujan turun dengan deras. Papa kamu menolong saya dengan memberikan tempat tinggal selama dua hari dua malam. Semenjak hari itu, saya mendedikasikan hidup saya untuk desa ini.”, Pak Dirga memperkenalkan dirinya. “Dan satu hal lagi, Nando. Yang menolongmu ketika kamu terluka tadi adalah Denis, anak dari Pak Dirga.”, ucap Pak RT. “Halo, Nando. Salam kenal.”, Denis menyebutkan namanya kepadaku.
Hei, selama ini aku selalu berprasangka dan berbuat buruk kepada mereka. Namun mereka hanya diam dan selalu tersenyum kepadaku. Apakah selama ini aku yang jahat? Apakah selama ini ternyata aku yang lebih buruk dibanding mereka. Aku menangis dan menahan malu. Mereka selalu berbuat baik kepadaku, namun apa yang aku lakukan?
“Oiya, satu lagi Nando. Kami semua tahu tentang semua yang kalian bertiga perbuat terhadap keluarga Pak Dirga. Namun Pak Dirga menyuruh kami diam. Kami juga tahu alasan mengapa kalian melakukannya. Hari ini, semoga kalian paham arti dari perbedaan ini. Mereka memang berbeda dengan kita. namun mereka juga sama dengan kita, yaitu kita semua adalah manusia. Seseorang tidak dinilai dari fisiknya, Nando. Namun dinilai dari sikap dan tingkah lakunya.”, Papa menambahkan.
Hari ini, kami bertiga paham arti dari perbedaan. Perbedaan sejatinya menyatukan, bukan memisahkan. Aku menyesal dengan semua perbuatanku kepada Pak Dirga dan keluarganya. “Hai, Nando. Tadi aku melihat plastik berisi petasan di pinggir sungai. Sepertinya kalian akan bermain petasan. Tapi sayang sekali petasannya basah dan tidak bisa dipakai lagi. Jika kalian ingin bermain petasan lagi, apakah aku boleh ikut?”, ucap Denis. Aku pun menunduk dan menahan malu.
Cerpen Karangan: Faris Mu’taz Blog / Facebook: Faris
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com