Kurasa aku menyukainya. Setelah beberapa hari berdebat dengan pikiranku, akhirnya kuputuskan untuk menganggap ia spesial.
Jujur aku bahagia. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan seperti ini. Dia berhasil membuatku jatuh. Teman sekelas yang sejak lama kukenal, tak kusangka jika aku akan menaruh rasa padanya. Dan semakin tak kusangka pula saat ia menyatakan perasaannya yang sama denganku.
Kami memutuskan untuk bersama. Sebelum itu, kurasa kami sudah cukup dekat. Dia sering menggoda dan menjahiliku. Sesekali dia memberiku gombalan buaya yang herannya kenapa kubalas pula?
Kami sering menghabiskan waktu setelahnya, seperti menonton film, bercengkerama, sampai belajar dan mengerjakan tugas. Benar-benar kejadian yang membuat hatiku membuncah hebat kala kami melakukan hal-hal itu. Terdengar klise, karena kebanyakan pasangan memang melakukan hal itu. Tapi karena melakukannya dengan orang yang aku suka, entah kenapa rasanya berbeda.
Kami bahagia. Ya. Setidaknya itu yang pernah kukatakan pada diriku sendiri saat aku baru saja bersama dengannya. Nyatanya semua tak berjalan semulus itu.
Perlahan, kami mulai menjauh. Kami mulai asing dan tidak mengobrol lagi. Jarak semakin tercetak jelas seolah menjadi sesuatu semu namun sangat terasa. Dia sibuk dengan urusannya, begitu juga denganku.
Sejujurnya, aku selalu berusaha untuk tak berharap banyak padanya. Karena dia adalah tipe lelaki yang suka bermain-main dengan wanita. Aku juga heran dan merutuki kebodohanku yang bisa-bisanya terjerumus dalam ke-playboyannya. Untuk mengantisipasi kebodohanku, kuputuskan menjauhinya perlahan. Memang sakit dan sulit, tapi aku akan terus melakukannya demi keamanan hatiku sendiri.
Harusnya, dia paham akan kodeku yang mendadak menjauhinya. Seharusnya dia paham kenapa aku perlahan menjaga jarak dengannya. Seharusnya ia tahu itu. Tapi tidak. Dia tidak tahu. Entah dia memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu.
Hingga suatu hari, semuanya terkuak. Kutemukan dia bermesraan dengan gadis lain dibelakangku, yang notabenenya adalah adik kelasku.
Sontak aku tertawa pada diriku sendiri. Aku tertawa sendirian, tawa sangat keras keluar dari mulutku di malam saat aku sendirian di kamar. Namun tawaku berubah dan berakhir menjadi tangisan pilu. Aku bagai orang gila saat itu. Bagaimana bisa aku tertawa? Tentu aku menertawakan diriku sendiri. Diriku sangat bodoh. Lalu bagaimana bisa pula aku menangis? Ya karena aku kalah. Aku kalah dengan perasaanku. Kuakui itu. Harusnya aku lebih mengedepankan logika. Harusnya aku juga tahu, jika akhirnya akan seperti ini.
‘Huh? Apa yang kau harapkan? Apa kau berharap kau bisa mengubahnya? Hei, dia jauh lebih berpengalaman soal hal seperti ini dibandingkan dirimu, sadar bodoh.’
Ya. Terima kasih. Aku sudah sadar sekarang.
Nyatanya, perkataan itu terucap dari lisanku sendiri dan kutujukan untuk diriku sendiri pula. Kejam, karena itu pertama kalinya aku memaki diriku sendiri.
Waktu demi waktu berlalu, tak ada yang berubah setelah itu selain status kami. Kami menjadi teman seperti sedia kala. Tak ada hubungan, komitmen, atau sesuatu yang menjeratku lagi. Sakit. Namun disisi lain, bersamaan dengan rasa sakit itu, kurasakan juga rasa lega yang amat luar biasa.
Hembusan napas panjang kukeluarkan, Akhirnya, aku bebas. Tak ada lagi yang menjeratku, tak perlu lagi memikirkan sesuatu yang harus kupikirkan mengenainya. Tak ada lagi. Cukup. Kami selesai.
Tidak kukecap sedikitpun rasa manis, karena aku tak bisa merasakannya. Semua telah tertutupi dengan rasa pahit luar biasa. Namun setidaknya aku bisa mengambil banyak pelajaran dari pengalamanku ini.
Komitmen bukanlah hal yang bisa dipermainkan. Dan kami, masih terlalu dini untuk memahami itu.
Selesai.
Cerpen Karangan: oRenjuice
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com